Anak Belajar Bersikap Adil

Anak usia balita umumnya sudah mengerti konsep keadilan. Penelitian bahkan menunjukkan bahwa anakcenderung tidak menyukai situasi yang tidak adil. Elizabeth Tricomi, PhD, asisten profesor psikologi dari Rutgers University, menyebutkan bahwa ada peran serotonin—zat kimia otak yang menimbulkan perasaan senang—yang menyebabkan anak-anak ini merasa tak nyaman ketika berada dalam situasi tak adil. Tapi masalahnya, meski anak-anak tidak menyukai ketidakadilan, mereka belum memahami cara merespons situasi tersebut.

Seperti contohnya, “Ahh…, nggak adil, dari tadi Kakak terus yang main ayunannya,” keluh Kendra (4) suatu hari di sebuah taman bermain. Sang mama, Adina Prima, sedikit kaget mendapati si bungsunya telah mengerti konsep ‘adil’, langsung berkata kepada sang kakak, Rindra (6), “Kak, gantian, yuk, main ayunannya. Kendra belum kebagian giliran, tuh!”

Pada contoh kasus di atas, beberapa anak mungkin akan ‘merebut paksa’ ayunan yang sedang dimainkan oleh temannya, sedangkan beberapa yang lain hanya diam dan memilih mainan lainnya yang kosong karena tak mau berkonflik. Kendra, memilih mengadukan ketidakadilan ini pada mamanya, orang dewasa yang menurutnya bisa membantu memberinya keadilan. Nah, bagaimana dengan Anak?

Menurut Alzena Masykouri, MPsi, psikolog dari Bestariku, pusat edukasi anak dan keluarga, anak sudah mulai memahami kejadian yang terjadi di sekitarnya sejak berusia 3 tahun. Mereka mengamati apa yang terjadi dan bagaimana dampaknya dengan diri mereka.

Anak usia 3 tahun juga mulai dapat mengikuti peraturan sederhana, seperti mengantre, bergantian, bahkan berkompetisi. Nah, masalah adil dan tidak adil (fair play) ini sangat erat kaitannya dengan kompetisi. Dan, memang baru di usia 3 tahun inilah anak mulai dapat memahami makna kompetisi itu sendiri.

Kemenangan diasosiasikan dengan rasa senang atau nyaman, sedangkan kalah dianggap sebagai rasa tidak enak. Karena itu, wajar jika kemudian seorang anak menjadi sangat ‘sensitif’ untuk urusan menang-kalah atau adil-tidak adil ini.

Menginjak usia 3 tahun, anak sudah mulai bersosialisasi dengan teman sebaya. Dunia bermainnya tak sebatas pada mama, papa, dan pengasuhnya saja. Sejak itulah ia mulai akan bersentuhan dengan isu fair play. Anak mungkin akan mengalami konflik ketika mainannya direbut oleh teman bermainnya, atau ketika ia tak mau bergantian main ayunan dengan anak lain yang sedang mengantre. Bahkan, masalah mengenai menara balok siapa yang paling tinggi pun bisa jadi isu sensitif buat anak usia 3 tahun.

Di sinilah tugas orang tua untuk memperkenalkan konsep fair play. Dan, menurut Alzena, yang terlebih dahulu harus orang tua (dan orang dewasa lain di sekitar anak) perkenalkan adalah konsep senangnya bermain.

Jadi, yang ditekankan adalah perasaan senang saat bermain. “Jangan pernah menekankan keinginan untuk menang, karena ada, lho, anak yang lebih senang pada proses ‘merebut’ mainan daripada bermainnya sendiri,” kata psikolog yang juga mama satu anak ini.
Sebagai orang dewasa, orang tua sebaiknya bersikap santai dan tidak usah terlalu heboh menekankan pada konsep ‘fair’ itu sendiri.

Tekankan pada konsep ‘fun’ saat bermain. Jadi, anak akan mengerti bahwa bersenang-senang saat bermain jauh lebih penting dibandingkan berkonflik. “Kadang, respons orang tualah yang membuat si anak malah menjadi sangat sensitif dengan masalah adil-tidak adil. Sering, kan, melihat orang tua yang bereaksi luar biasa heboh ketika anaknya menang atau menjadi nomor satu, dan menggerutu ketika kalah. Nah, reaksi orang tua ini akan dengan mudah diserap oleh anak,” kata Alzena. 

Foto: TPG News

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia