Bagaimana anak Anda belajar

Apakah si kecil menyerap informasi dengan mendengar, melihat, atau langsung praktik? Inilah cara untuk mengetahuinya, plus ’memancing’ yang terbaik darinya.

Ketika mengajarkan Lara (5 tahun) berhitung, awalnya Yuni Raharjo merasa tidak perlu menerapkan teknik macam-macam. Cukup memakai teknik lama saja. Toh berhasil pada Sara (8 tahun), si sulung, begitu pikir ibu 2 anak yang tinggal di Tebet, Jakarta Selatan. ”Saya tinggal membeli buku panduan belajar berhitung, dan Sara pun belajar sendiri. Lain halnya dengan Lara. Perlu usaha ekstra untuk mengajarkannya berhitung,” cerita Yuni.

”Ternyata, panduan di buku tersebut tidak cukup menggugah perhatian Lara. Sampai-sampai saya harus mengeluarkan seperangkat koleksi sendok untuk mengajarkan penjumlahan,” tambahnya.  Untungnya, usaha itu membuahkan hasil. Lara jadi lebih antusias memerhatikan. ”Misalnya, untuk soal 1 ditambah 2. Saya meminta Lara mengambil 1 sendok, lalu mengambil 2 sendok lagi, baru kemudian menghitung jumlah sendok di tangannya,” jelas Yuni. ”Awalnya, ia agak tergantung pada benda-benda tersebut. Akhirnya, ia bisa kok berhitung tanpa bantuan apapun,” cerita Yuni lagi. Ini adalah contoh nyata dari fenomena perjuangan orangtua: Setiap anak punya cara belajar yang beda-beda. Tidak ada satu cara pun yang pas untuk semua – sekalipun dalam keluarga yang jelas-jelas sama DNA-nya.

”Biasanya, ketika menjelaskan sesuatu pada anak, kita hanya berpatokan pada cara yang cocok untuk kita, atau apa yang kita pelajari dulu,” kata Cynthia Ulrich Tobias, penulis The Way They Learn. ”Kemudian, kita menemukan bahwa apa yang efektif bagi satu anak belum tentu efektif bagi anak lain. Dan ini bisa benar-benar melelahkan.” Secara intuitif, kebanyakan orangtua tahu bahwa anaknya punya cara belajar sendiri, tapi tidak tahu bagaimana cara memanfaatkannya. Tidak sulit ,kok, untuk mengetahuinya. Yang pasti, ada 3 cara seseorang belajar: Dengan mendengar, melihat, atau melakukannya. Anak Anda mungkin hanya mengandalkan salah satu cara ini, namun bisa juga ia mengombinasikan ketiga cara. Berikut cara untuk mengetahuinya secara persis.

Belajar dengan mendengar

”Ketika Gea berumur 3 tahun, kami makan sate ayam di suatu restoran. Sambil menikmati satenya, tiba-tiba ia berseru lantang saat pelayan restoran membawa kecap di tangan. ’Hmmm..., sate ini enak.  Rasa memang nggak pernah bohong, ya, Ma?’” cerita Felicia Alamor, ibu dari Gea (4 tahun), yang tinggal di Sunter, Jakarta Utara.” Dari situ Felicia jadi tahu bahwa selama ini Gea terlalu banyak nonton TV.  Tapi dari situ diketahui pula kalau Gea punya kemampuan untuk menyerap informasi lewat apa yang didengarnya, atau yang dikenal sebagai tipe belajar via auditori (berdasarkan pendengaran).

”Anak saya, Klaus (6 tahun), lain lagi. Ia selalu ingin diceritakan apapun,” kata Angie Clarissa yang tinggal di Puri Indah, Jakarta Barat. ”Daripada menyuruhnya membaca buku pelajaran, kayaknya lebih efektif bila saya ikut-ikutan membaca buku pelajarannya, lalu menceritakannya kembali,” kata Angie lagi. ”Untuk mengetes apakah ia sudah paham atau belum, biasanya saya menyuruhnya untuk menceritakan semuanya lagi,” ujar sang ibu.

Karena cara belajar via mendengar kelihatannya cukup efektif untuk mengingat lagu dan menghafal, maka mengubah materi pelajaran sekolah menjadi lirik suatu lagu – seperti iklan – bisa jadi trik berguna untuk mengingat sesuatu nantinya ketika anak sudah lebih besar. Tapi, anak yang suka belajar dengan cara ini tidak hanya suka mendengar. Mereka juga suka bicara, lho. Bukti-bukti menunjukkan, banyak ’penganut’ tipe auditori ini lebih banyak mengobrol dibanding tipe lainnya. Mengulang informasi – kadang berulangkali – membantu mereka memroses informasi. Kebanyakan batita dan anak prasekolah suka melakukan hal ini sampai tahap tertentu, namun anak-anak yang punya cara belajar dengan mendengarkan akan lebih sering lagi melakukannya.

Cara mengoptimalkannya: Masih ada strategi lain yang bisa Anda terapkan pada si kecil. Simak saja pengalaman Mulan Sanjaya, ibu dari Maya (5 tahun) yang bermukim di Kelapa Gading, Jakarta Utara. ”Maya sangat suka main sekolah-sekolahan dengan boneka-bonekanya. Makanya, saya menyuruhnya berpura-pura jadi guru yang sedang menjelaskan pelajaran pada murid-muridnya. Mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata akan mendorong anak untuk memahami sesuatu dengan lebih baik lagi,” kata Mulan. Umumnya sih, tipe auditori butuh ketenangan untuk tugas-tugas yang membutuhkan konsentrasi. Solusinya? Musik klasik yang lembut bisa meredam suara-suara lain dan membantu anak lebih fokus belajar.

Belajar dengan melihat

Ita Fatmawaty yakin kalau putrinya, Monik (6 tahun), punya ingatan fotografik yang kuat. ”Ia bisa menjelaskan segala sesuatunya secara detail. Ia ingat persis hal-hal yang tidak terlalu kita perhatikan ketika berlibur ke Bali; cuaca waktu itu, sepatu kakaknya, dan semacamnya,” cerita Ita yang tinggal di daerah Pejompongan, Jakarta Pusat. ”Bila kami lupa menaruh sesuatu, Monik adalah satu-satunya orang yang ingat keberadaan benda tersebut terakhir kalinya,” sambung Ita. Anak-anak seperti Monik punya kemampuan untuk menyimpan gambaran nyata di otak mereka, lalu mengingat kembali informasi tersebut bila dibutuhkan. Mereka cenderung lebih mudah belajar dari gambar, video, peta, model, dan tabel. ”Berhubung Monik suka belajar lewat gambar, maka saya selalu menggambar berbagai hal agar ia lebih mudah mengingatnya. Ternyata, cara ini berhasil pada pelajaran hafalan,” kiat Ita.

Cara mengoptimalkannya: Kadang-kadang anak yang berorientasi pada visual bisa menangkap apapun yang dilihatnya secara mudah, sehingga ia tidak bisa memfokuskan pikiran pada 1 elemen. ”Pada pelajaran membaca, ternyata Monik lebih asyik melihat gambar-gambar ketimbang huruf-huruf yang ada dalam bukunya,” ujar Ita. Untuk membuat Monik lebih berkonsentrasi, Ita meletakkan potongan karton, dengan lubang berbentuk kotak kecil di tengahnya, di atas halaman buku, sehingga hanya 1 kata yang tampak. ”Kemampuan membacanya meningkat, karena Monik bisa lebih berkonsentrasi,” kata Ita. 

Anak tipe visual juga perlu ketenangan. Mencoba menyuruhnya mengingat sesuatu sambil Anda menonton TV di hadapannya? Dijamin upaya Anda bakal sia-sia. Makanya, Anda juga harus membantunya dengan cara menciptakan suasana yang tenang.

Belajar dengan tubuh

”Saya sulit mengajarkan Andika menghafalkan lirik lagu. Baru saja saya mengucapkan satu lirik, ia sudah lari lagi,” keluh Cassandra Thomas, ibu dari Andika (5 tahun), yang tinggal di daerah Palmerah, Jakarta Barat. ”Akhirnya, saya bilang saja kalau ia berhasil menghafalkan lirik suatu lagu, ia boleh bernyanyi sambil melompat-lompat di atas ranjangnya. Anggap saja ia sedang beraksi di atas panggung,” ujar Cassandra. Andika yang memang pada dasarnya hobi meloncat-loncat, menyambut ide tersebut dengan suka cita. Bonusnya: Demi mengejar ’permainan’ favoritnya, ia jadi lebih cepat menghafalkan lagu. Bisa dibilang, Andika memang termasuk anak tipe kinestetik. Artinya, ia lebih suka belajar dengan tubuhnya. (Sesungguhnya, kebanyakan anak kecil punya kemampuan kinestetik dalam kadar tertentu atau lebih.) Jadi, anak harus bergerak saat berpikir atau menggunakan jari-jarinya untuk menyerap sesuatu.

Cara mengoptimalkannya: Jangan bersikap tidak sabaran bila anak Anda tidak bisa duduk diam saat dibacakan sesuatu. Lebih baik, biarkan dia  memperagakan cerita yang Anda bacakan. Lalu, saat membaca atau mewarnai, jangan terlalu cemas bila ia berbaring santai dalam posisi telungkup di atas lantai. Bila ia merasa nyaman, ia lebih mudah memusatkan perhatian. Anda mungkin bisa membantu anak belajar mengenal huruf melalui permainan membentuk huruf dari play dough atau melompat di atas karpet yang bertuliskan alfabet. Tipe anak yang suka belajar aktif ini mudah dikenali karena ia selalu ingin ’memamerkan’ kebisaannya ini pada Anda.

Apa yang memotivasi anak untuk belajar?

Setiap anak punya alasan tersendiri untuk menyerap informasi. Dan alasan tersebut menunjukkan termasuk tipe belajar apa si kecil. Kebanyakan anak akan menampilkan kombinasi dari 1 atau 3 kecenderungan belajar. Berikut motivasi anak Anda belajar:

  • Membuat Anda senang Bagi beberapa anak, mendapat pujian dari orangtua, guru, atau pelatih adalah motivator utama dalam belajar. Berikan pujian bila diperlukan, tapi tekankan juga bahwa menyenangkan diri sendiri sama pentingnya.
  • Jadi perfeksionisAndre yang punya hobi menggambar selalu marah-marah kalau salah membuat garis atau lainnya. Ia akan mengulang gambarnya lagi dan lagi, sampai kertas gambarnya bertumpuk,” cerita Windy Surya, ibu dari Andre (6 tahun), yang tinggal di Permata Buana, Jakarta Barat. Kebiasaan perfeksionis seperti ini terkadang sangat menyebalkan dan benar-benar menguji kesabaran orangtua. Apalagi bila kita sedang sibuk. Setelah besar nantinya, kebiasaan itu bisa menunjukkan bahwa ia produktif – sepanjang Anda bisa memberitahunya bahwa kesalahan mungkin saja tak dapat dihindari dan menunjukkan cara-cara yang konstruktif untuk mengatasi rasa frustrasinya.
  • Kompetitif Kebanyakan orangtua yang mempunyai lebih dari 1 anak cukup familiar dengan kondisi ini – dan kadang-kadang mensyukuri hal ini. ”Keira selalu tak mau kalah dari Kayla,” cerita Ardita Tiara, ibu dari Kayla (5 tahun) dan Keira (4 tahun) yang tinggal di Perumahan Lippo Cikarang, Jakarta Timur. ”Kalau mau menyuruh Keira melakukan sesuatu, saya tinggal bilang kalau Kayla sudah melakukannya. Pasti deh dia langsung nggak mau kalah.” Ingat, ya, tak ada satupun cara belajar yang lebih baik dari cara yang lain: Dua anak bisa saja sama-sama pintar matematika, tapi masing-masing anak punya cara yang berbeda untuk mempelajarinya.

PAR 0107

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia