Diagnosis Anak Berkebutuhan Khusus

Diagnosis dari anak berkebutuhan khusus memang sangat subjektif sifatnya.


Tidak ada tes jaringan atau darah untuk mendeteksi apakah anak mengalami autisme (masalah perkembangan pada anak yang ditandai dengan masalah pada interaksi sosial timbal balik, komunikasi, dan pola tingkah laku repetitif dan minat yang sempit), gangguan bipolar (gangguan jiwa yang ditandai perubahan suasana hati, pikiran, energi, dan perilaku yang dramatis), ADHD (gangguan yang ditandai dengan kesulitan memusatkan perhatian, kesulitan menahan, atau kesulitan mengendalikan keinginan, dan mengendalikan gerakan), dll.


“Gangguan ini memang ada, namun diagnosis yang dilakukan seorang profesional, seperti dokter atau psikolog, sekalipun mungkin saja salah,” kata Scott Shannon, M.D., psikiater anak, founder Wholeness Center di Fort Collins, Colorado, dan penulis Please Don’t Label My Child. Biasanya, orang tua langsung mengisi pertanyaan saat assessment.


“Ada ‘jutaan’ pertanyaan, dan semuanya kelihatan berulang,” kata Christine Utoro, mama yang tinggal di Tangerang. “Bisa jadi, diagnosisnya Andrew terjadi akibat jawaban yang saya berikan. Misalnya, apakah Andrew ‘marah dan frustasi’ atau apakah ia ‘menunjukkan kefrustrasiannya dengan cara yang agresif’?


Ketika diagnosis seperti ADHD dicap pada suatu folder, menurut Dr. Shannon, orang tua dan para profesional akan berhenti mencari solusi lain. Dan ketakutan terbesar para orang tua adalah guru anakakan melihatnya sebagai penderita ADHD, bukan sebagai anak. Ia percaya bahwa ada banyak cara untuk membantu anak ini.


“Begitu anak dilabel, orang tua menerima bahwa ada sesuatu yang ‘salah’ dengannya dan cenderung memilih pengobatan sebagai jalan keluar.”


 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia