Menyekolahkan si anak ’spesial’

Di ajang curhat (mencurahkan isi hati) milis Putera Kembara, milis khusus untuk para orangtua yang anaknya autis, seorang ibu menulis, “Saya punya pengalaman tiga tahun menyekolahkan anak saya yang autis di sekolah umum, dari playgroup sampai TK. Dari segi perilaku banyak sekali kemajuan. Dia sudah care sama temannya, sudah banyak bertanya tentang apa yang dia dengar dari penjelasan gurunya, misalnya apa itu neraka, surga dan lain-lain, meski pun saat diterangkan dia sibuk dengan puzzle-nya.”

Ada lagi orangtua yang mengisahkan, anaknya juga masuk ke playgroup umum, melakukan speech therapy dan konsultasi ke psikolog, dan mengalami perkembangan luar biasa. Sekarang si anak sudah berusia enam tahun, lancar berkomunikasi meski kadang-kadang tak jelas dan harus diulang. Kemampuan akademis si anak juga luar biasa, walau soal maturity agak tertinggal.

Tapi, ada juga orangtua yang rupanya tidak terlalu ’beruntung’. Setelah si anak (4) dimasukkan ke TK umum selama beberapa bulan, mereka melihat hal itu ternyata tidak efektif. Si anak tidak mengalami kemajuan dalam kemampuan untuk berkomunikasi secara verbal, dan yang lebih parah lagi, tujuan agar bisa bersosialisasi seperti yang dicari banyak orangtua ketika menyekolahkan anaknya di sekolah umum ternyata tak tercapai. Maklum, sikap agresif yang kerap ditunjukkan anak autis, membuat anak-anak lain justru takut untuk mendekat.

Memang, anak-anak autis cenderung punya karakter hiperaktif, kurang fokus terhadap lawan bicara, dan membatasi interaksi mereka dengan lingkungan sekitar. Sebagian anak autis punya ingatan dan kemampuan bicara normal, tapi sebagian lagi tidak normal. Yang jelas mereka sulit berinteraksi dengan lingkungan, apalagi berteman. Tak heran kalau mereka seolah punya dunia sendiri, punya minat yang obsesif dan cenderung bersikap repetitif. Bahkan dalam kondisi yang agak parah, sekadar untuk bisa melakukan aktivitas dasar pun mereka butuh latihan intensif.

Meski tak tertutup kemungkinan bagi mereka untuk bersekolah di sekolah umum, dan sebagai orangtua Andalah yang paling berhak memutuskan, pertimbangan berikut mungkin bisa jadi masukan bagi Anda.

Kondisi anak
Bila setelah terdeteksi (autis) anak memperoleh penanganan baik dan mengalami kemajuan pesat, mungkin saja dia bisa disekolahkan di sekolah umum. Tapi, bila modal si anak dari awal sudah ’kurang’ atau kondisi autisnya memang lebih parah, tak bisa bicara misalnya, sebaiknya dia memang tak dimasukkan ke sekolah umum. Begitu pun bila anak autis ini sulit untuk berkonsentrasi di tempat ramai, mungkin sebaiknya orangtua tak memaksa si anak untuk masuk ke sekolah umum.

“Bisa-bisa dia malah benci belajar, hingga kemudian dia berkembang dengan konsep diri yang negatif karena selalu gagal, selalu berada di urutan paling bawah dan tertinggal dari teman-temannya,” kata Dyah Puspita, psikolog dan sekretaris Yayasan Autisme Indonesia (YAI) yang akrab dipanggil Ita ini. Anak boleh didukung untuk masuk ke sekolah umum kalau taraf autisnya terbilang ringan.

Menurut Vera Itabiliana, psikolog anak dan remaja, sebelum memutuskan apakah si anak perlu dimasukkan ke sekolah khusus atau tidak, orangtua perlu menguji anaknya dengan sejumlah pertanyaan, seperti: Bisakah si anak duduk diam di kelas selama jangka waktu yang lama, bisakah dia mengikuti aturan, bisakah dia memahami instruksi orang lain, atau bisakah dia mengendalikan emosinya ketika ada sesuatu yang tak berkenan terjadi? “Bila semua pertanyaan di atas jawabannya “tidak”, ya tidak ada positifnya memaksa anak masuk sekolah umum, lebih baik dia masuk sekolah khusus saja,” kata Vera.

Toh, hal itu terpulang lagi kepada orangtua. Sebagai psikolog yang juga terapis bagi anak-anak autis dan pengelola sekolah autis Mandiga, Ita tak pernah langsung menganjurkan agar seorang anak autis dimasukkan ke sekolah umum atau sekolah khusus. “Semuanya terserah orangtua si anak, saya hanya memberitahu kemungkinan-kemungkinan yang akan mereka hadapi sebagai konsekuensi pilihannya,” katanya.

Jadi, sah-sah saja, kok, kalau orangtua mau coba-coba dulu memasukkan anaknya ke sekolah umum. Siapa tahu si anak memang mampu. Tapi, bila si orangtua sejak awal memang menyadari si anak mungkin sulit menyesuaikan diri di sekolah biasa, sekolah khusus akan menjadi pelabuhan yang tepat. Ketika anak lain patuh saat disuruh latihan menulis misalnya, si autis mungkin akan ’membangkang’ dan asyik sendiri melakukan hal lain. Itulah yang mungkin akan menyulitkan mereka di sekolah umum.

Biasanya orangtua yang tak bisa memasukkan anaknya ke sekolah umum memang mengalami kebingungan. Tapi, menurut Ita, saat ini sudah cukup banyak pilihan. “Selain di SLB (Sekolah Luar Biasa), bisa juga dia dimasukkan ke sekolah reguler, di special wings dengan special needs, yang menerapkan kurikulum tersendiri, atau homeschooling saja. Orang belajar itu kan tidak harus selalu di sekolah umum. Kalau ada sekolah khusus, itu baik, tapi kalau nggak ada, kenapa nggak dibuat? Nggak punya tempat? Di garasi saja!” kata Ita.

Lalu bagaimana dengan guru-gurunya? Nggak ada, lho, guru yang siap pakai. Semua belajar lagi karena setiap anak berbeda karakternya. Tak ada satu anak autis pun yang sama persis dengan anak autis yang lain. Satu hal yang utama, guru itu harus punya niat untuk membaktikan diri terhadap tugasnya, karena urusan ilmu dan teknik bukanlah sesuatu yang tak bisa dipelajari.

Lingkungan kondusif
Di sekolah khusus, kebutuhan anak-anak ini memang lebih terpenuhi karena lingkungan fisik, pengajar maupun kurikulumnya sudah dirancang sedemikian rupa sehingga lebih cocok dengan kondisi anak. “Anak berada di lingkungan yang bisa memahami kondisi khusus mereka tanpa ada label ’anak aneh’ atau anak bandel. Maklum, anak yang hiperaktif sering dicap biang onar di sekolah-sekolah umum,” kata Vera. Akibatnya, kepercayaan diri anak lebih terjaga karena dia tidak merasa ’aneh’ sendiri atau tertinggal dari teman lain yang normal.

Itulah juga pertimbangan Aprilia, ibu dari Davina (4), ketika memilih menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah khusus untuk anak-anak autis. “Saya lihat perkembangan anak juga akan lebih optimal karena terapi bisa dilakukan sambil sekolah. Guru-gurunya juga mempunyai keahlian sebagai terapis,” katanya. 

Sebaliknya di sekolah umum, guru seringkali minim atau tak punya pengalaman sama sekali menangani anak-anak ’spesial’ ini. Bukan itu saja, guru juga sulit memberikan perhatian khusus kepada si anak autis karena rasio jumlah anak dan guru dalam satu kelas kurang ideal. Di sekolah umum, satu kelas biasanya berisi lebih dari 20 anak. Bandingkan dengan di sekolah khusus anak autis, di mana satu guru rata-rata menangani tiga anak. “Lebih dari itu, pasti sudah keteteran,” kata Ita.

Selain itu, menurut Ita, “Jangankan untuk anak autis, untuk anak normal pun kurikulum pendidikan nasional saat ini sudah lumayan berat.” Pantaslah kalau anak autis yang bersekolah di sekolah umum biasanya jadi lebih tertatih-tatih. Karena itu, menurut Ita, metode belajar di sekolah autis Mandiga dibatasinya hanya pada hal-hal yang bersifat aplikatif. 

Kiat memilih sekolah autis:

  • Pilih sekolah yang tak terlalu jauh. Anda bisa lebih menghemat waktu, biaya transportasi dan tenaga.
  • Program. Bila programnya membaca, menulis, atau berhitung, sementara anak Anda sudah bisa itu semua, untuk apa lagi, kan?
  • Bahasa pengantar. Jangan sampai anak dimasukkan ke sekolah bilingual, padahal orangtuanya tak bisa berbahasa asing. Bisa-bisa komunikasi dengan anak malah jadi tak nyambung.
  • Rasio jumlah murid. Bila satu kelas berisi 20 anak, agaknya guru akan sulit memberikan perhatian yang cukup buat si anak autis.
  • Biaya. Mengajarkan berbagai hal memang mahal, tapi tidak mungkin amat sangat mahal.

Setelah Anda mendata sekolah-sekolah pilihan, jangan enggan untuk melakukan survei, dan observasi pada saat proses belajar mengajar sedang berlangsung. Selain itu, jangan hanya bicara dengan pengelola sekolah saja! Informasi dari orangtua murid yang anaknya sudah bersekolah di situ akan sangat berguna bagi Anda untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan sekolah tersebut.

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia