Pesan uang untuk si kecil

Apa yang (tanpa sadar) Anda tularkan pada si kecil dan bagaimana menanamkan nilai-nilai yang paling berharga.

Suatu malam saat kami bersiap-siap untuk tidur, Rasyad (5 thn) bercerita pada saya, “Bunda, temanku Amar baru dibeliin N-DS sama Papanya. Wih, keren, lho...” Saya menanggapi dengan senyum. “Kapan-kapan aku mau beli juga, ya, Bun...” tukasnya penuh harap, sambil terus berceloteh tentang kecanggihan Nintendo DS – perangkat portable video game yang memang sedang tren di kalangan anak-anak. Hmm, belakangan ini, kalimat-kalimat berawalan “Kapan-kapan aku mau beli...” makin sering saja terdengar.

“Harganya mahal, sayang. Uang kita kan terbatas. Daripada beli video game, lebih baik uangnya ditabung untuk sekolah,” sahut saya. Rasyad hanya memandang dengan tatapan kecewa.

Kali lain saat kami berada di toko mainan untuk membeli kado ulang tahun seorang keponakan, Razan (3 thn), si bungsu, merengek minta dibelikan karakter kartun favoritnya. Belum sempat saya menjawab, dengan gaya dewasa kakaknya menukas, “Jangan, dede...Kasihan Bunda, uangnya kan sedikit..!” Beberapa mama yang kebetulan melintas melirik sambil tersenyum simpul. 

Ah, rupanya taktik saya untuk membuat anak-anak memahami pentingnya nilai uang tak tepat sasaran. Alih-alih tercapai, pesan saya justru terserap tanpa tersaring. 

Di tengah dahsyatnya serbuan iklan dan banjir pusat perbelanjaan, saya memang terhitung sering mendengang-dengungkan pentingnya ‘berhemat’, ‘menabung’ dan ‘bersyukur’  pada anak-anak. Tapi mungkin ada yang salah dengan cara saya mengemas nilai-nilai penting ini.

Sadar atau tidak, sebagai orangtua, ucapan dan perilaku kita membentuk cara anak ‘berhubungan’ dengan uang. “Sikap orang tua terhadap uang akan berdampak pada seluruh keluarga, dan bisa sangat berpengaruh terhadap nilai keuangan yang dianut anak,” ujar Sharon Danes, Ph.D., ekonom dan profesor di departemen ilmu-ilmu sosial, University of Minnesota.

Bukan berarti sikap kita dijamin bisa menjadi ‘peramal’ masa depan keuangan anak. Anak dari orangtua yang super hemat, misalnya, bisa saja tumbuh menjadi orang dewasa yang sangat berhati-hati dalam membelanjakan uangnya – atau sebaliknya amat gemar berbelanja. “Dua anak yang tumbuh di satu keluarga dan mengamati orangtua yang sama bisa menjelma menjadi dua orang dewasa yang amat berbeda,” tegas Rick Kahler, seorang perencana keuangan di Rapid City, South Dakota dan salah satu penulis buku Conscious Finance.

Tapi meski Anda tak kuasa mengendalikan masa depan anak (atau kondisi ekonomi) di masa mendatang, Anda bisa menyaring pesan-pesan tentang uang yang Anda berikan saat ini. Berikut tiga pesan yang tanpa sengaja mungkin sering Anda tanamkan di benak si kecil – dan bagaimana mengurangi dampaknya.

PESAN #1

“Kita tak mampu membelinya!”
Terdengar akrab dengan hari-hari Anda?

Dampak emosional: Terlepas dari niat untuk mendidik, menyatakan bahwa keluarga Anda ‘tak punya uang’ bisa jadi bumerang. Salah-salah, si kecil malah merasa Anda menganggapnya ‘serakah’. Lagipula, apa sih, makna dari pesan semacam ini? Bahwa untuk sekarang Anda tidak mampu membelinya? Bahwa Anda tak akan pernah mampu membelinya? Bahwa Anda mampu, tapi menganggapnya buang-buang uang belaka?

Untuk mengimbangi: Rambu-rambu finansial yang Anda tetapkan perlu diimbangi dengan cara menikmati uang yang sehat. Para pakar menyarankan untuk membuat rencana bulanan. “Kumpulkan seluruh keluarga dan tanyakan pada tiap orang, apa benda favorit mereka,” kata Danes. “Buat daftar, dan jelaskan hal-hal apa yang dianggap tidak realistis. Kemudian rencanakan pembelian secara bergiliran. Seminggu (atau sebulan) sekali, seorang anak berhak mendapatkan sesuatu. Minggu (atau bulan) berikutnya, giliran Papa atau Mama. Pesan penting yang ingin disampaikan adalah bahwa dalam keluarga, semua perlu dilakukan bergiliran; semua berhak mendapatkan sesuatu yang menyenangkan; dan bahwa menabung tidaklah mengurangi rasa senang saat kita berhasil membeli benda-benda yang diinginkan.”

Tentu saja tak semua keinginan bisa langsung dipenuhi. Jika harganya cukup mahal, anggota keluarga perlu menunggu beberapa waktu untuk bisa mendapatkan benda favoritnya.  

Bagaimana dengan anak yang lebih kecil? Mungkin agak sulit untuk meminta si batita mendaftar keinginannya (mobil-mobilan yang buanyaaak, robot-robotan, sepeda dan es krim cokelat). Tapi anak usia berapapun bisa turut duduk dan mendengarkan. Toh lambat-laun, mereka akan menangkap konsepnya. Danes menegaskan, “Tak ada kata terlalu dini untuk mengajari anak Anda konsep uang dan tanggung jawab.”

PESAN #2

“Pilih, saja sayang..”
“Orangtua saya benar-benar memanjakan saya,” ujar Daniar (bukan nama sebenarnya), mama dua anak perempuan usia tujuh dan empat tahun dari Tebet, Jakarta Selatan. “Dulu, saya punya segalanya. Kini, saya sering sekali membelikan anak-anak benda yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.”

Dampak emosional: Anak bisa menjadi manja. “Tiap kali pergi membeli hadiah ulang tahun untuk teman sekolah, akhirnya, kami pasti menenteng mainan baru untuk putri-putri saya. Ini terus terulang. Masalahnya, kini anak-anak tidak bisa terima kata ‘tidak’ - beberapa kali kami bertengkar heboh di department store. Karena malu, saya mengalah,” keluh Daniar.

Kahler berkomentar, “Jika Anda menunjukkan pada anak bahwa Anda selalu punya uang, atau bahwa harga bukanlah masalah, anak tidak akan mampu mengembangkan etos kerja yang baik. Bisa-bisa, mereka berpikir uang akan datang dengan sendirinya,” ujar Kahler.

Untuk mengimbangi: “Beberapa orangtua menganggap, menolak membelikan anak hadiah dan mainan sama saja dengan tidak menyayangi anak,” ujar Kahler. “Ubah pandangan ini, dan Anda akan bisa mengubah perilaku anak.” Terdengar ideal, memang, tapi kenyataannya pasti tak semudah itu. “Strategi terbaik adalah menghindari godaan,” sarannya. “Jika Anda harus pergi ke toko, tegaskan pada anak-anak bahwa Anda hanya akan membeli benda-benda yang ada dalam daftar.” Butuh waktu untuk mengubah anak yang biasa mendapatkan segalanya. “Tapi Anda akan tercengang melihat mereka cukup cepat beradaptasi,” tegas Kahler.

PESAN #3

“Tak usah membanding-bandingkan. Satu saja cukup, kan?”
“Sepulang dari rumah sahabatnya, Rara pasti langsung laporan ke saya. Mulai dari kulkas sang sahabat yang penuh cokelat, sampai koleksi Barbie dan Polly Pocket-nya. Saya lantas menegaskan, ia tak butuh mainan sebanyak itu. Biasanya ia langsung manggut-manggut sambil merengut,” papar Intan Afrizal, mama dari Rara (8 thn) di Setiabudi, Jakarta Selatan.

Dampak emosional: Masalahnya bukanlah budaya konsumtif, tapi asumsi instan Anda yang ‘menuduh’ anak serakah. “Apakah ia iri pada temannya, atau sekadar ingin bercerita pada Anda?” tanya Danes. Pahami bahwa anak memang sedang belajar tentang konsep ‘kekayaan’ dengan cara membandingkan. “Jika Anda bereaksi negatif, kemungkinan ia hanya akan melihat bahwa Mama marah padanya, tapi tak mengerti kenapa,” tegasnya.

Untuk mengimbangi:  Jangan bersikap defensif saat si kecil pulang dengan segudang cerita soal ‘harta karun’ teman-temannya. Sebelum Anda menguliahinya soal materialisme, berhentilah sejenak dan simak apa yang ingin ia katakan. Jangan langsung memotong-tanyakan apa pendapatnya. Hari ini, mungkin putri kecil Anda hanya akan bercerita tentang koleksi boneka temannya. Minggu depan, atau sepuluh tahun lagi, masalahnya akan lebih kompleks.

PESAN #4

“Mama harus bekerja untuk membeli barang-barang yang kalian inginkan”
Banyak sekali mama yang harus turut bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga. Rani Noviandry, mama dari Aura (6 thn) yang tinggal di Kedoya, Jakarta Barat dan bekerja sebagai penerjemah lepas bercerita, “Tiap kali Aura minta ditemani main, saya selalu bilang saya harus kerja supaya bisa beli mainan untuknya. Suatu hari, ia menangis, ‘Aku nggak mau mainan baru...Temani aku main, Ma!’ Sedihnya, lagi-lagi saya harus berkata tidak,” papar Shinta. “Beberapa hari kemudian, Aura mendatangi saya dan bilang, ‘Ma, aku pingin deh punya HP kayak teman-teman. Mama cari uang yang banyak, ya!’”

Dampak emosional: Meski Anda menjelaskan bahwa Anda bekerja demi keluarga, anak hanya akan melihat bahwa Anda tidak punya waktu untuknya.

Untuk menyeimbangkan: Daripada mengabaikan rengekannya, lebih baik Anda mengajak si kecil bicara. Anda bisa mengatakan, “Sepertinya kita perlu lebih sering main bersama. Yuk, atur waktu." Lalu, tetapkan waktu khusus untuk bermain dengan si kecil, tanpa interupsi apapun.

Easier said than done. Tapi, menumbuhkan komunikasi yang jujur dan terbuka dengan anak memang perlu. Hanya dengan begitu Anda bisa menyampaikan pesan-pesan sehat seputar uang untuk diri sendiri maupun keluarga. Ingat, Andalah ‘sekolah keuangan’ pertama si kecil!

PAR 0408

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia