“Sayang, Kamu Lahir Dari Hati Mama…”

Kekhawatiran orangtua dari anak hasil adopsi memang sangat besar. Terutama ketika dihadapkan pada kapan saatnya ‘to tell the truth’ pada anak tersebut. Anda mungkin bisa mengambil hikmah dari kisah 2 ibu berikut ini.

Layaknya wanita yang telah menikah, hati Pia Melania Simanjuntak dan Diena Haryana sangat mendambakan datangnya si buah hati. Namun ketika penantian itu tak kunjung berakhir, keduanya memutuskan mengambil langkah adopsi. Keduanya juga mengambil langkah yang boleh dibilang tak terlalu popular dilakukan di Indonesia, yakni memberitahu status adopsi kepada anak, di saat usia mereka masih terbilang dini. Bagaimana cerita mereka?

Keterbukaan terbatas

Walau sejak awal memutuskan untuk sedini mungkin terbuka pada Fernando Goklas Pong Masak (8) soal status adopsinya, Pia Melania Simanjuntak (38), memilih untuk membatasi keterbukaan itu pada orang-orang terdekat saja dengan alasan ingin melindungi putranya dari pertanyaan-pertanyaan jahil. Selain pertanyaan tentang latar belakang anak, Pia juga kerap mendapatkan pertanyaan yang lebih ‘heboh’ lagi, seperti “Apa nanti kalian akan mewariskan harta kepada anak adopsi?”

Lantaran sejak awal sudah mempersiapkan diri, semua pertanyaan itu dijawab dengan enteng saja. “Suami saya pernah bilang, kenapa harus cemas, karena harta kami adalah buku-buku,” kata Pia yang bersuamikan, dosen Bahasa Prancis, Tanete Pong Masak, sambil tertawa renyah.

Soal sifat buruk yang mungkin diwarisi oleh anak dari orangtuanya pun tak membuat hati Pia gundah. Toh berbagai literatur pendidikan dan psikologi yang dibacanya sebagai guru prasekolah, mengindikasikan ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengajarkan hal-hal baik pada anak.

Atas dasar pemikiran itu, Pia ‘menyekolahkan’ Fernando ke sebuah lembaga pendidikan prasekolah, saat ia baru berusia 14 bulan. Selain membacakan buku tentang keluarga, Pia juga mengajaknya menonton program edukasi anak seperti Barney and Friends. “Di salah satu episodenya diceritakan tentang berbagai jenis keluarga di AS. Misalnya ada anak yang tinggal dengan ayah-ibu, nenek-kakek, hanya dengan salah satu orangtuanya, dan ada juga yang bersama orangtua adopsi.” Pia dan suaminya juga mengajarkan tentang proses anak dikandung dan dilahirkan lewat buku-buku dan gambar.

Ketika Fernando mulai bertanya tentang warna kulitnya yang berbeda dengan kulit Pia yang kuning, Pia pun jadi sering browsing di internet, untuk mendapatkan jawaban. Akhirnya dari sebuah situs berbasis di AS,  Pia mendapatkan data yang menyatakan 80% ahli berpendapat bahwa usia yang paling tepat untuk memberitahu soal adopsi pada anak adalah di usia 5 tahun.

“Saat itu usia Nanan - panggilan Fernando - sudah hampir 5 tahun. Sebelum menyampaikan kenyataannya, saya menekankan bahwa ia adalah anak kesayangan kami. Hanya bedanya, Nanan lahir dari rahim mami yang lain.” Kenang Pia dengan haru.

Fernando, diakui Pia, terlihat sempat syok dan menangis. Ia bertanya tentang siapa orangtuanya, dan mengapa mereka menyerahkan dirinya pada orang lain. Pia dan suaminya lalu mencoba membangun citra positif tentang orangtua kandung Nanan. “Saya bilang, mungkin mami yang melahirkannya punya anak banyak, sehingga dia merasa perlu mencari orangtua yang bisa memberikan kasih sayang, sandang dan pangan yang cukup, supaya Nanan tumbuh jadi anak yang sehat dan pintar.” 

Kemurungan Fernando ternyata berjalan selama 2 minggu. Selama masa-masa itu, ia banyak bertanya soal masa kecilnya. Untunglah, Pia cukup rajin membuat catatan harian tentang perkembangan Fernando yang ternyata membuat Nanan senang. "Dan suatu hari… boom… Nanan tiba-tiba saja bilang ‘Mami, aku sudah mutusin untuk tetap ikut mami’!”

Kini, Fernando yang sudah duduk di kelas 3 SD, tumbuh sebagai anak yang penuh percaya diri. Pia juga sudah memperlihatkan dan menerangkan padanya surat adopsi dari pengadilan. “Dia sadar betul kalau secara hukum statusnya jelas sebagai anak kami. Memang sesekali kalau sedang ingat pada orangtuanya dia akan bilang ‘Mami, saya mau cari uang yang banyak, untuk saya kasih ke ibu (sebutan Nanan untuk mami kandungnya).”

Meski tak merasa terganggu dengan statusnya sebagai anak adopsi, Nanan meminta ibunya untuk hanya membicarakannya dengan orang-orang tertentu saja. “This is a family matters, Mom,” begitu katanya suatu kali. Pandangan itu belakangan berubah total, setelah ia sempat tinggal beberapa bulan di Prancis, mengikuti ayahnya yang mengajar di sana. Di Prancis, Nanan melihat anak-anak dari Asia yang diangkat oleh orang Barat.  “Pikiran Nanan jadi cepat terbuka, dan sekarang, sudah semakin bertambah pede. Apalagi di Prancis banyak anak-anak suka melihat kulitnya yang sawo matang. Waktu saya minta izin padanya untuk berbagi cerita dengan Parenting-Indonesia, dia dengan cueknya bilang: ‘Nggak apa-apa mami, ceritakan saja. Kan aku bisa jadi ngetop!” Kisah Pia sambil tertawa tergelak-gelak.

Utamakan Self Image-nya

Sejak memutuskan untuk mengadopsi anak, Diena Haryana dan mantan suaminya Andrew Trigg, sudah memutuskan untuk bersikap terbuka soal status adopsi, kepada Nadia. “Saya tak ingin dia tahu soal adopsi dari orang lain, misalnya ketika dia sudah mulai sekolah. Maklum, Andrew kan orang Inggris, sementara kulit Nadia kan gelap. Pasti akan timbul pertanyaan,” kata Diena yang dalam kesehariannya sibuk menggawangi Yayasan Sejiwa. Sebuah yayasan yang menyediakan pelatihan nilai-nilai keluhuran pada para guru dan pendidik.

Proses pengenalan tentang konsep adopsi pun dimulai sejak usia yang sangat dini. Diena menggunakan berbagai media, seperti buku cerita anak-anak yang mengisahkan tentang anak-anak adopsi. Diena mengaku, ia dan Andrew juga sangat senang memberikan sentuhan fisik yang menunjukkan kasih sayang mereka pada Nadia. “Kami juga bercerita tentang proses mengandung dan melahirkan, sehingga dia punya dasar untuk mengetahui tentang proses kelahiran seorang anak.”

Beberapa saat sebelum Nadia masuk prasekolah, Diena mengajak Nadia berbicara. “Pengetahuan soal proses mengandung dan melahirkan itu saya jadikan basis untuk bercerita soal status adopsinya. Dia jadi mengerti bahwa makna dari adopsi adalah ia tak lahir dari rahim saya, namun kami berdua sangat menyayanginya. Saya bilang ‘You are an adopted child, and we love you.’ Saya pakai kata ‘and’ bukannya ‘but’ untuk menunjukkan betapa kami menyayanginya,” kenang Diena.

Kata adopsi itu terus diucapkan dalam berbagai kesempatan oleh Diena selama setengah tahun. Entah itu sambil makan bersama, jalan-jalan, sambil membacakan cerita, atau saat mengunjungi keluarga lain yang juga memiliki anak adopsi. "Lama kelamaan, otak bawah sadarnya bisa menerima kata adopsi sebagai hal yang biasa saja.”

Ketika Nadia sudah semakin besar, Diena merasa makin perlu untuk membentuk self image yang kuat pada diri putrinya. Ia masih ingat apa yang terjadi ketika Nadia di usia 6 tahun bertanya soal ibu kandungnya. “Waktu saya tanya mengapa ia ingin tahu, Nadia bilang dia hanya penasaran. Spontan saya bilang bahwa saya tidak keberatan kalau suatu saat Nadia ingin bertemu ibunya. Saya juga tekan-kan bahwa ibunya pastilah seorang wanita yang baik dan cantik, karena ia juga memiliki anak sebaik dan secantik Nadia. ”

Langkah yang diambil Diena ternyata memang tepat. Nadia kini tumbuh menjadi anak yang penuh percaya diri. Self image dan self esteem yang kuat, membuatnya sangat tahan banting dalam menghadapi gunjingan miring yang terkadang muncul dari teman-temannya. “Pernah suatu kali ada yang usil, menanyakan apa Nadia tahu kalau dia anak adopsi. Nadia dengan cueknya menjawab: ‘I know… so what?’. Teman yang usil itu pun, langsung bungkam. Hahaha…,” kata Diena geli. 

Walau sudah cukup mempersiapkan diri, Diena mengaku ia tetap sempat merasa sedih ketika harus memberitahu Nadia di usia yang begitu dini. “Saya sempat menangis, lho… berat rasanya, tapi demi kebaikan Nadia, kami harus melakukannya. Sekarang, lega rasanya melihat kami bisa melaluinya dengan baik. Suatu saat nanti kalau dia ingin bertemu ibunya, saya tetap akan bersikap positif dan mendukung.”

Kapankah usia yang ideal?

Dr. Steven L. Nickman dari Child Psychiatric Clinic di Massachusetts General Hospital, Boston, menganjurkan usia yang ideal adalah antara 6-8 tahun. Pada saat itu anak umumnya sudah memiliki dasar hubungan yang kuat dengan keluarga adopsinya sehingga tak merasa terancam saat harus memahami soal adopsi. Nickman tak menganjurkan orangtua menunggu sampai anak memasuki masa dewasa untuk memberitahu status adopsi. “Berterus terang pada usia itu akan sangat merusak self-esteem si anak, juga kepercayaan mereka pada orang tua,” tegas Nickman.
    Sedikit berbeda dengan Nickman, Denrich Suryadi, M. Psi dari Pusat Bimbingan dan Konsultasi Psikologi Universitas Tarumanagara beranggapan, usia ideal bukanlah dasar yang tepat dalam mengungkapkan status adopsi anak. Hal itu disebabkan setiap anak memiliki perkembangan kematangan psikologis masing-masing. Dalam hal ini, orangtualah yang perlu mengamati dan melihat taraf kesiapan anak untuk menerima kenyataan yang sebenarnya.

Langkah-langkah menjatuhkan ‘bom’

Ibarat sebuah bom yang dijatuhkan dari pesawat, menyampaikan pada anak bahwa ia adalah anak adopsi sungguh mengguncang dunianya. Denrich menganjurkan beberapa langkah berikut:

  1. Memperhatikan kondisi yang mungkin terjadi, serta konsekuensi positif-negatif yang mungkin terjadi.
  2. Perhatikan juga kesiapan psikologis anak untuk menerima kenyataan tersebut. 
  3. Siapkan langkah-langkah untuk selalu memperhatikan anak karena mereka akan cenderung menjadi lebih sensitif setelah mengetahui statusnya sebagai anak adopsi. 
  4. Orangtua mesti bersikap adil serta berempati terhadap perasaan anak, terutama apabila ia punya kakak/adik yang merupakan anak biologis dari orangtuanya. Siapkan pula kakak/adik untuk tidak bersikap negatif terhadap anak adopsi tersebut. Langkah keempat ini memang sulit dan harus dipersiapkan dengan baik sebelumnya. 
  5. Beritahukan serta minta bantuan anggota keluarga besar untuk membantu proses ‘penyembuhan batin’ si anak setelah mengetahui kabar tersebut. Cukup dengan tidak mengubah bentuk perhatian, serta bersikap lebih peka terhadap anak. 
  6. Terakhir, bila orangtua membutuhkan pendampingan lebih pada si anak, ada baiknya meminta bantuan profesional dari seorang psikolog yang bepengalaman.

PAR 0208

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia