Akhirnya, Senin datang juga…


Sabtu lalu saya bangun tidur disambut terangnya sinar matahari, kicau burung, dan aroma kopi yang menggoda. Melihat semua itu, saya pikir, wah, pasti saya bangun kesiangan, nih. Entah bangun kesiangan atau sedang mimpi. Sambil masih terkantuk-kantuk, saya mendesah senang dan mensyukuri hari itu: saya sendirian, akhir pekan, dan dua anak saya yang masih kecil ada di lantai bawah bersama papanya.
Lalu saya mendengar suara kursi diseret-seret di lantai dapur, dan tiba-tiba mata saya langsung terbuka lebar. Kalau anak-anak sedang berada di bawah pengawasan suami, seret-menyeret kursi biasanya berarti salah satu dari tiga hal ini:
1) Mereka sedang bikin benteng-bentengan.
2) Mereka sedang berburu lem glitter dan barang-barang seni terlarang lain yang biasanya disimpan di rak teratas.
3) Mereka sedang sibuk memasak.
Layaknya ibu-ibu rumah tangga lain yang tinggal di rumah, saya mengantisipasi datangnya akhir pekan dengan kerinduan yang nyaris mendekati obsesi. Dalam fantasi mingguan saya, beban kerja saya hari Sabtu dan Minggu bisa hanya separuh, dibagi bersama suami tercinta, Rich. Kami juga bisa berlama-lama menikmati makan malam keluarga yang tenang, dan obrolan yang lama tertunda. Rich mengurus putra-putri kami, dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan tenang, sementara saya membagi waktu luang saya untuk membaca buku, mandi berendam, dan menggosok punggung.
Ah, seandainya...
Mungkin sebetulnya Rich bermaksud baik. Hanya saja, sebanyak apapun bantuan yang ia berikan di rumah – dan nyatanya ia memang banyak membantu – semua itu tak cukup untuk mengimbangi segala kekacauan yang ia timbulkan sesudahnya. Contoh, acara memasak sarapan bersama anak-anak ini. Teorinya, itu menyenangkan, mendidik, dan mungkin bergizi. Kenyataannya, anak-anak malah berantem, telur orak-arik dan saus yang dimakan juga hanya sedikit, dan mereka bahkan ‘melukis’ di dapur dengan selai. Pakai tangan, tentunya, coba bayangkan!
Terserah deh, kalau saya dianggap reseh – toh saya pernah dicap lebih parah lagi – tapi saya berusaha untuk tidak mengacak-acak rumah hanya demi menunjukkan bagaimana bersenang-senang pada anak-anak. Saya penganut konsep bersenang-senang secara maksimal tapi juga meminimalisir kekacauan. Sementara Rich hanya percaya pada memaksimalkan kesenangan.
Biasanya, pada pagi hari di akhir pekan, Rich membangunkan anak-anak, lalu mendandani mereka dan menemani mereka makan. Saya mengikuti jejaknya, memungut piyama dan sikat gigi yang dilempar begitu saja, menutup lemari dan rak, dan membuang tutup yogurt yang lengket, pancake yang baru dimakan separuh, dan serbet kusut yang teronggok di meja. Selagi saya sibuk dengan semua itu, Rich bermain-main dengan anak-anak. Mereka mungkin memandikan anjing (di dalam rumah), bikin badai salju buatan (dengan tisu toilet yang disobek kecil-kecil), atau melukis wajah (dengan spidol non-permanen). Jadwal acara Rich termasuk makan es krim cokelat (padahal anak-anak pakai kaus putih), jalan-jalan di genangan air (pakai sepatu yang juga sepatu sekolah), dan makan donat bertabur meses warna-warni (di dalam mobil) – dan seringkali semua itu dilakukan sebelum makan siang, sehingga anak-anak sudah kehilangan selera ketika harus makan siang.
Minggu siang lalu, ketika mengepel lantai setelah salah satu acara mandi busa bareng a la Rich berakhir, tiba-tiba di dalam pikiran saya terbetik keinginan, meski diiringi rasa bersalah, sadar kalau saya ingin mendapatkan kembali kerajaan saya yang tenang dan rapi. Bukannya saya ingin Rich langsung ngantor lagi, (sambil memeras dan menggantung handuk terakhir, saya meyakinkan diri, saya tidak bermaksud ‘mengusir’-nya seperti itu). Saya hanya ingin ia lebih bisa mengendalikan diri.
Saya memikirkan dilema ini. Sebagai orang yang teratur, saya rindu rumah yang rapi. Sebagai ibu dan istri yang penuh kasih, saya ingin keluarga saya bersenang-senang. Mungkinkah medapatkan semua itu?
Ketika melepas kaus kaki yang basah, sebuah ide tiba-tiba terlintas di kepala saya. Alih-alih mengritik terus-terusan suami karena gaya bermainnya yang berantakan – saya bisa sekadar mengusulkan alternatif-alternatif lain yang lebih rapi. Saya memutuskan untuk menunjukkan padanya di mana kami menyimpan puzzle, mengenalkannya kembali dengan permainan tebak-tebakan, dan membuatnya kembali memperhatikan banyaknya koleksi buku bergambar kami.
Saya kemudian mencari Rich, mendapati ia sedang di ruang tamu bersama anak-anak, sedang pura-pura berada di restoran pizza. Mereka sudah membuat pizza, salad, dan spaghetti dari lilin mainan. Melihat robekan kertas, gunting, selotip, dan spidol di lantai, rupanya mereka juga sudah membuat menu bergambar. Di coffee table berserakan cangkir, piring, dan alat makan perak kami – semua alat makan betulan – dan Rich memakai topi chef dari kertas dan steples.
Kegembiraan anak-anak tampak meluap-luap. Tiba-tiba saya melihat suami saya melalui mata mereka yang bersinar dan – hati saya seolah meledak karena rasa cinta – saya pun memutuskan untuk tutup mulut. Dari ambang pintu, saya perhatikan Rich melenggang melintasi ruangan, menyajikan hidangan, dan menawarkan keju parmesan bohongan pada anak-anak.
Mana mungkin Anda tidak mencintai laki-laki yang melakukan hal-hal seperti itu?
Saya tersenyum dan berbalik meninggalkan ruangan. Tepat saat itu anak kami yang baru berumur 2 tahun melompat berdiri, menumpahkan jusnya, dan anjing kami pun langsung lari menjilati jus tumpah itu. Rich meluncur, berusaha menangkap anjing kami, tapi meleset, malah menginjak bakso daging dari lilin mainan warna merah jambu di karpet. Sambil menyalak-nyalak riang dan melacak ceceran jus apel di sana-sini, anjing kami melompat naik ke sofa, lalu ke kursi, kemudian balik lagi ke sofa. Dengan gigi gemeretak, saya menggelengkan kepala dan berlalu.
Mana mungkin kan, Anda tidak menunggu-nunggu datangnya hari Senin? ?
PAR 0408

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia