Bertengkar dengan cinta

Dulu pertengkaran saya dan suami biasanya selalu tidak sehat alias main ‘kasar’. Kasar bukan dalam artian saling melecehkan, dan kami juga tidak pernah menyumpah-nyumpah selain di dalam hati. Kami bertengkar layaknya pasangan yang sudah cukup lama bersama-sama, sehingga setiap argumen sama saja seperti pertengkaran sebelumnya, bahkan setelah pokok permasalahannya sudah ‘kadaluwarsa’ sekali pun. Setiap kesalahan dilebih-lebihkan, setiap pelanggaran berubah jadi mengungkit-ungkit ketika pertengahan tahun 1999 (atau pertengahan tahun sebelumnya, ya?) mungkin merupakan kali terakhir saya cuci piring atau bersih-bersih. Saya juga tahu, itu kali terakhir dia membersihkan toilet. Suami saya biasanya jadi defensif ketika kami bertengkar. Saya akan menatapnya tajam, berteriak-teriak padanya di kepala saya, berharap ia bisa membaca apa yang ada di kepala saya. “Aku kan nggak bisa baca pikiranmu,” katanya. O ya? Pikir saya. Coba baca, dong. Kami jadi saling bersikap sarkastis. Kami saling menguji batas kesabaran. Secara verbal, kami jadi saling menyakiti. “Bukannya kolesterolmu naik lagi?” tanya saya kalau melihat dia masuk ke rumah sambil membawa pepperoni pizza. “Toh kamu juga nggak punya banyak teman di sini,” katanya, menggarisbawahi kesendirian saya ketika kami berunding tentang rencana kepindahan ke kota lain. Kami jadi ahli berperilaku pasif-agresif. Saya bertanya ketika saya sudah tahu jawabannya. Makin berantakan kamar kami, suami saya makin berisik ketika merapikannya. Saya jarang mengatakan apa yang sebenarnya saya maksud—ini kesalahan yang sangat fatal, mengingat komunikasi semestinya menjadi salah satu kekuatan di dalam perkawinan kami. Ucapan saya terbungkus selubung. Saya senang melontarkan sindiran-sindiran tajam yang saya tahu akan langsung menancap tepat di sasaran, menohok perasaannya. Dia pun sepertinya tak merasa perlu menyaring kalimat-kalimat yang dia lontarkan. Entah dia tahu atau tidak bahwa kalimat-kalimatnya itu terdengar menyakitkan di telinga saya. Pendeknya, sedikit kesempatan saja, entah itu ketidakberesan atau hal-hal lain, akan membuat kami seolah siap untuk saling menabuh genderang perang pertengkaran. Saya tidak ingin memberi kesan kami selalu bertengkar, meski kalau dilihat-lihat kenyataannya sepertinya memang begitu. Saya tidak yakin kami lebih sering bertengkar dibanding pasangan-pasangan lain. Ketika percekcokan selesai, kami masih bisa, kok, mencari jalan untuk kompromi. Kami saling meminta maaf (walau tidak ahli bertengkar, paling tidak kami sangat ahli soal minta maaf). Dan untungnya, kami memang bisa saling memaafkan. Kami bertengkar soal waktu—kami tidak punya cukup banyak waktu. Kami bertengkar soal uang—alasannya juga sama, kurang uang. Kami bertengkar soal kepindahan ke Boston—saya menolak pindah. Kami juga berdebat soal biaya perawatan rumah, yang tidak setinggi perawatan diri saya dan, kalau kami telaah lebih dalam, sebenarnya semua itu juga perdebatan soal waktu. Setelah putra kami lahir, kemudian disusul putri kami, pertengkaran kami lebih parah lagi soal waktu, hal yang makin lama makin terasa langka di rumah. Seperti biasa, kami mengisi pertengkaran dengan tatapan sebal dan kelakuan-kelakuan tidak sportif, saling menyerang dengan argumen-argumen baru sementara argumen lama belum terselesaikan. Lalu, suatu kali salah satu dari kami (saya tidak ingat tepatnya siapa, meski inginnya sih saya yang mengatakannya), melontarkan kata-kata yang biasa kami gunakan pada anak-anak, ketika mereka mulai tidak logis di tengah letupan amarah atau kekecewaan: “Coba, deh, bicara yang jelas.” Kami berhenti, bahkan di tengah-tengah pertengkaran, dan mengagumi ironi tersebut. Coba, deh, bicara yang jelas. Tentu saja. Jelas sekali kan, solusinya? Tapi kami belum pernah menerapkannya. Selama tiga tahun terakhir kami berusaha membantu anak-anak memilah-milah emosi mereka dan menemukan kata-kata yang tepat untuk menyatakan apa yang mereka rasakan terhadap kami secara tenang dan kalem. “Jangan cuma teriak-teriak,” begitu kata saya kepada putra saya, ketika tubuhnya mendadak kaku dan wajahnya tegang di depan ‘pintu ajaib’ di supermarket. “Bilang, ‘Ma, aku ingin buka pintu sendiri.’” Eh, ternyata di saat yang sama ketika saya dan suami terlibat dalam percakapan yang, lebih kompleks dalam penggunaan tata bahasa dan kosa kata, seringkali menjadi tidak jelas juga kalau emosi sedang tinggi. Padahal seharusnya kami bisa belajar mengomunikasikan pendapat kami dengan tenang dan jelas, terlebih karena itulah yang berusaha kami ajarkan kepada anak-anak. Jadi, anak-anaklah yang telah mengubah pandangan kami, membuat kami terkagum-kagum (juga menambah konsumsi jus apel kami), dan telah mengubah cara kami bertengkar.             
Pertengkaran kami kini berlangsung lebih kalem. Dan juga lebih singkat—ini bagus, mengingat kami berusaha memastikan pertengkaran itu terjadi setelah anak-anak tidur, namun sebelum kami sendiri juga tidur. Kalimat-kalimat yang kami lontarkan kini juga lebih sederhana dan lebih jelas. Kalimat-kalimat itu kini tidak lagi diwarnai oleh kata-kata yang 'kasar' dan menyakitkan. Tepatnya, kami berusaha mengerem diri untuk tidak asal bicara setiap kali emosi. Kini muncul kesadaran, tidak perlu lagi melontarkan kalimat terselubung yang bisa saling melukai hati. Toh, dengan kalimat biasa kedengarannya akan lebih menyenangkan. Kami juga bisa menangkap maksud setiap ucapan dengan lebih baik. “Rasanya aku nggak enak, deh, pinjam uang pada orangtuamu.” “Aku perlu minta tolong kamu untuk mengajak anak-anak keluar selama satu jam karena aku mau mandi. Nanti air panasnya keburu dingin.” Kami saling memberitahu apa yang kami butuhkan, meski rasanya lebih memuaskan kalau pasangan kita sudah tahu tanpa harus kita beritahu—bukannya seperti cenayang, tapi lebih pada kesadaran yang makin terasah. Semua itu butuh proses. Begitu juga dengan perkawinan. Ketika pertengkaran kami selesai, saya dan suami naik ke tempat tidur. Saya berbaring di sisi ranjang saya dan ia meletakkan tangannya di pinggul saya. Saya pun meletakkan tangan di atas tangannya. Ada kehangatan di sana, dan kekuatan, dan perasaan yang sangat nyata bahwa kami tidak butuh kata-kata. Tapi toh kami tetap memakai kata-kata.

PAR 0307

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia