Perjalanan yang pantas

Ketika adik perempuan suami menelepon untuk memberitahu tentang hari perkawinannya beberapa bulan lalu, saya dan suami langsung memberinya ucapan selamat. Tapi, begitu telepon ditutup, kami langsung berpandang-pandangan. Ada sedikit perasaan tak enak. Kami ikut berbahagia untuk Anne. Kami senang dia akan segera menikah. Masalahnya, dia ingin kami datang ke pesta perkawinannya, dengan membawa serta anak-anak kami –  semuanya tiga orang, termasuk seorang bayi yang baru belajar berjalan, dan yang selalu menganggap car seat-nya seperti alat setan yang diciptakan mama untuk mencegah dia mengeksplorasi dunia yang menakjubkan.

Ada berjuta alasan untuk tidak membawa anak-anak ke pesta perkawinan yang diadakan di sebuah tempat yang jaraknya begitu jauh. Perjalanan mengendarai mobil itu sendiri pasti sangat berat dan melelahkan. Belum lagi kalau ternyata tempat yang dituju punya sejarah tempat menginap yang tidak nyaman buat anak-anak. Selain itu, urusan menghadiri acara-acara yang harus menggunakan pakaian rapi dijamin pasti akan membuat anak-anak bertingkah. Anda bisa bayangkan, deh, semua itu pasti tiket menuju bencana. Apa tidak lebih baik, usul saya kepada Haywood, untuk pergi berdua saja, sekalian mengenang bagaimana rasanya tidur di tempat tidur tanpa ada ‘gangguan’ dari tubuh-tubuh mungil yang berdesakan?

Kami berdua sekaligus juga bisa memperbaharui janji perkawinan, saat duduk menyaksikan upacara pemberkatan nikah berlangsung. Lebih baik, kan, daripada harus bergantian mondar-mandir ke sana-kemari mengurusi tiga anak yang berisik, sementara upacara di gereja tengah berlangsung? Lalu, kalau ternyata pengasuh yang kami percaya sedang berhalangan, apa tidak sebaiknya Haywood sendiri saja yang pergi. Pasti pengantin wanita malah akan bersyukur, deh, karena video perkawinannya tidak dicemari oleh adegan anak tantrum.

Tapi sayangnya, pengantin wanita tak ingin seorang pun di dalam keluarga besar yang disayanginya melewatkan perayaan sekali seumur hidupnya itu.  Di dalam keluarga kami, bila adik perempuan suami ingin agar seluruh keluarganya hadir di hari bahagianya, dijamin seluruh keluarga pasti datang. Saya berharap bisa bercerita bahwa perjalanan dengan mobil itu tak seburuk yang dibayangkan. Tapi, yang bisa saya katakan adalah, saya senang tidak ada kamera video yang merekam kegiatan kami di dalam mobil, sementara saya terus-menerus memasukkan manisan ke mulut si 1 tahun Joe, selama beberapa jam perjalanan. Giginya yang baru berjumlah 8 buah pasti akan rusak sebelum yang lain muncul. Tapi yah, daripada dia menangis jejeritan, paling-paling dia hanya akan menangis pelan kalau ada permen di mulutnya. Bisa jadi kamera pengaman di tempat fast food, di mana kami makan siang, akan menangkap dia melepeh permen di sela-sela kentang gorengnya.

Tapi, tak seorang pun anggota keluarga kami sempat memperhatikan hal itu. Rasanya juga tidak menguntungkan bahwa kami harus bermobil di tengah hujan badai sepanjang hari. Jarak yang seharusnya bisa ditempuh sekitar 7 jam, molor menjadi 9 jam. Pada puncaknya, mobil kami terpaksa diam tak bergerak di tengah kemacetan. Sementara itu, seorang supir truk melongok dari jendela mobilnya dan berteriak, ada kecelakaan agak jauh di depan dan mungkin butuh waktu berjam-jam sebelum akhirnya jalanan bisa dibersihkan.

Pada saat itu, tiba-tiba saja saya merasa sebal pada pria yang saya nikahi – karena kata-katanya yang jelas-jelas bernada riang, “Yah, setidaknya kita bisa istirahat dan meregangkan badan biar tidak pegal, anak-anak.” belum lagi permainan-permainan bodoh yang dia mainkan (Papa bisa mencium jejak sesuatu yang merah dan bersuara sangat keras, dan itu bukan adikmu, kan?) Begitu pun keyakinannya bahwa segera setelah kami tiba dengan selamat di tengah-tengah keluarga kami yang menyenangkan, semua yang harus kami lewati ini akan terasa pantas.

Huh, ingin rasanya mengumpulkan tiga karung penuh mainan, buku mewarnai dan lolipop, mengikatnya jadi satu dan menggantungkannya di lehernya. Tapi, saya tidak melakukannya. Ajaibnya, hujan berhenti tak lama sesudah itu. Mobil mulai bergerak, dan si 7 tahun Sam mengajak main cilukba, dan membuat Joe dan Henry (3 tahun) tertawa. Ketika kami tiba, semua saudara  menyambut, merengkuh anak-anak ke dalam pelukan mereka, dan mengatakan betapa gantengnya mereka, lalu memeluk kami semua lagi. Saudara-saudara juga memaklumi dan penuh pengertian ketika suatu kali Henry salah masuk ke kamar mereka dan menjerit ketakutan.

Sam tidak protes ketika dia harus pakai dasi. Dan prosesi perkawinan ternyata berjalan begitu singkat, sehingga bahkan Joe berhasil melewatinya tanpa sempat mengamuk. Baru ketika saat pengambilan foto tiba, saya mengerti kenapa kami harus datang. Ada satu sesi dimana pengantin dikelilingi oleh seluruh keponakannya. Salah satu kaus kaki Henry melorot hingga ke pergelangan kakinya, dan Anne memegang tangan Joe agar tidak terus-menerus mengusap hidung. Anne terlihat begitu ‘cemerlang dan bercahaya’ di tengah-tengah anak-anak yang mengelilingi bagian bawah gaun sutranya yang mengembang.

Perkawinan adalah awal dari kehidupan baru bagi pasangan pengantin pria dan wanita, dan itu juga awal dari sebuah keluarga baru, yang pasti diharapkan akan dimiliki oleh setiap pasangan suatu hari kelak. Bukan oleh mereka saja, tapi juga oleh keluarga besar mereka yang pasti akan dengan senang hati memberikan dukungan. Ah, itulah mengapa saya senang kami sudah datang.

Satu hari nanti, saya berharap anak-anak akan melihat bahwa berada di dalam satu keluarga juga berarti saling berbagi perayaan yang mengubah kehidupan. Itu juga berarti tetap bersatu dalam menghadapi saat-saat tak menyenangkan (termasuk bermobil dengan seorang bayi yang menjerit-jerit). Itu juga berarti tak hanya sekadar berfoto, tapi menyimpan kenangan dari orang-orang yang saling menyayangi satu sama lain dalam keadaan apa pun.

Bila kelak, salah satu dari mereka menikah, dan yang lain sudah berada terlalu jauh, atau terlalu sibuk, atau terlalu terjebak dalam kehidupan keseharian mereka sehingga tak bisa melakukan perjalanan, saya tetap ingin agar mereka bisa datang. Karena anak-anak saya adalah saudara sekandung, saya ingin mereka semua bisa datang dan merayakan kebahagiaan saudaranya.

PAR 0107

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia