Pikiran Negatif, Dirasakan atau Disangkal?

Sebuah penelitian psikologi menemukan bahwa ketika seseorang diharapkan untuk tidak merasakan emosi negatif, ia justru akan lebih sering dan lebih dalam merasakan emosi negatif. Misalnya, orang dengan self-esteem rendah yang dipaksa berulang kali membuat pernyataan positif soal dirinya (misal: “Saya orang yang disukai teman”), bisa merasa lebih buruk dibanding orang-orang yang ‘tidak memaksa’ untuk berpikir positif.

Menurut para peneliti, itu karena tekanan untuk berpikir positif membuat orang tersebut menyalahkan diri sendiri (“Saya tidak bahagia karena saya tidak mampu berpikir positif”).

Berpikir positif juga bisa menjadi kamuflase untuk menghindari tindakan yang perlu dilakukan.“Orang yang menggunakan pikiran positif sebagai mekanisme pertahanan, berusaha untuk tidak merasa resah di saat memang seharusnya resah,” ujar Mark Banschick, psikiater dan kolumnis di beberapa media di AS.

Dalam kondisi tertentu, rasa resah dan khawatir itu perlu juga, karena akan mendorong kita untuk berbuat sesuatu mencegah hal yang ditakutkan terjadi. “Lebih cepat kita bertindak mengatasi masalah, maka lebih cepat rasa resah dan khawatir akan hilang,” ujar Julie Norem, profesor psikologi dan pengarang buku The Positive Power of Negative Thinking.

Penelitian psikologi lainnya menemukan bahwa pikiran negatif akan membuat kita lebih hati-hati dan bekerja lebih keras demi memastikan bahwa hal-hal negatif yang dipikirkan tidak akan betulan terjadi.

Nah, kalau Anda termasuk yang sering merasakan negativisme dan berpikir negatif, tidak usah disangkal atau ditekan, dan memaksa diri berpikir positif. Akui saja emosi negatif itu, kemudian biarkan berlalu, atau bertindaklah untuk mencegah hal-hal negatif yang Anda pikirkan terjadi.


Foto : Foto Search

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia