Emboli Ketuban

Seorang professor dari bagian Obstetri dan Ginekologi di Patan Academy of Health Sciences, Nepal, Dr. Alka Singh, menuliskan curahan hatinya, “Bagaimana caranya memberitahu kepada sebuah keluarga yang penuh harap, menunggu berita bahagia di luar ruang bersalin, bahwa orang tercinta mereka, yang bisa berjalan sendiri ke ruang bersalin untuk melahirkan, mendadak meninggal akibat komplikasi kehamilan yang jarang sekali terjadi namun fatal? Bagaimana mungkin mereka menerima kenyataan bahwa seorang perempuan hamil yang sehat tiba-tiba meninggal saat melahirkan?”

Ya, mungkin Dr. Singh pernah ‘ditinggalkan’ oleh pasiennya yang menderita emboli cairan ketuban, yaitu ‘keluarnya’ cairan ketuban melalui tempat implantasi plasenta dan masuk ke aliran darah calon mama. Hal itu akan menimbulkan berbagai komplikasi dan kegagalan organ. Peristiwa ini sebetulnya jarang sekali terjadi, perkiraan kasarnya hanya terjadi 1 di antara 80.000 kehamilan. Sayangnya, emboli jenis ini angka kematiannya bagi perempuan hamil sangat tinggi, yaitu 85 persen dengan 50 persen penderita meninggal dalam 1 jam sejak gejala muncul. Sebaliknya, kemungkinan si bayi bertahan hidup justru cukup tinggi, sekitar 70 persen.

Emboli cairan ketuban adalah kejadian yang tidak bisa dicegah juga tidak bisa diduga. Gejala mendadak muncul, lalu kondisi penderita akan terus menurun drastis. Perempuan hamil yang sehat dan normal ketika sedang bersalin tiba-tiba mengalami sesak napas, tekanan darah menurun, kejang-kejang lalu henti jantung dan perdarahan hebat. Komplikasi ini bisa terjadi saat persalinan normal maupun bedah caesar.

Apa penyebabnya? Tidak diketahui dengan pasti. Penelitian-penelitian pun belum bisa menyimpulkan penyebab pasti dan hanya menduga faktor risikonya. Beberapa di antaranya adalah:
• Hamil di atas usia 35 tahun
• Masalah pada plasenta, misalnya plasenta previa atau plasenta lepas
• Hamil kembar atau janin yang besar sehingga rahim ‘sangat mengembang’.
• Preeklamsia, tekanan darah tinggi dan kandungan protein yang tinggi dalam urin setelah usia kehamilan 20 minggu.
• Persalinan dengan bedah, forsep atau vakum. Prosedur-prosedur tersebut diduga dapat merusak ‘penghalang fisik’ antara ibu dan bayi.
• Genetik. Ada juga beberapa ahli yang percaya bahwa risiko terkena emboli cairan ketuban dipengaruhi oleh faktor keturunan.

Dr. Alka Singh memahami, karena ‘peristiwa gawat darurat’ itu terjadi tanpa diduga, pasti sangat berat bagi keluarga pasiennya untuk menerima kenyataan. Rasa sedih, kecewa, tidak percaya, marah bahkan tuduhan-tuduhan telah terjadi ‘kesalahan’ mungkin ditimpakan kepada dokter dan penyedia jasa kesehatan. Dr. Singh pun mengatakan, “Mengingat kejadian tersebut sangat mendadak dan sangat jarang terjadi, tiba-tiba kehilangan pasien seperti itu juga membuat shock para dokter yang menangani”.

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia