Hamil di usia rawan

Kehamilan adalah pengalaman yang indah nan ajaib. Tapi kalau terjadi ’tanpa diduga’, pasti ceritanya jadi lain – meskipun tetap ajaib. Apalagi kalau itu sudah ke-4 kali, dan di usia yang sudah tak lagi muda.

Diana Damayanti, atau biasa dipanggil “Mbak Dante”, redaktur pelaksana Parenting Indonesia, berbagi pengalaman melahirkan di atas usia 40 tahun. Ikuti kisahnya… 

Dikira mau menopause dini
Saat usia menginjak 43 tahun, dan bungsu saya 14 tahun (yang sulung saat itu sudah remaja, 18 tahun), saya mendapat kepastian positif hamil. Wah… perasaan langsung campur aduk. Orang mengira, kami memang merencanakan hal ini. Maklum, 3 anak kami perempuan semua. Tapi kalau ada yang bertanya, selalu saya jawab, “Nggak, ini nenek-nenek kecelakaan.” Selama ini siklus menstruasi saya teratur, jadi kami tidak pernah pakai alat-alat kontrasepsi, cuma sistem kalender. Setelah berusia 40-an, saya mengira sudah tidak subur lagi. Waktu saya mulai terlambat menstruasi, teman saya malah bilang, “Mbak, mau menopause dini, kali...” Eh, ternyata… hamil!

Hamil di atas 40 tahun memang bukan tanpa risiko. Herannya, di saat orang lain mencemaskan, saya malah tenang-tenang saja. Memang, anak saya sudah tiga. Saya bekerja fulltime, dan saya aktif di banyak kegiatan di sekolah anak-anak. Mana usia sudah 43 tahun. Mungkin mereka pikir, apa masih tersisa tenaga untuk menjalani kehamilan? Reaksi dokter kandungan saya lain lagi. “Ibu, benar positif,” begitu katanya selesai melakukan pemeriksaan dalam. “Ibu sehat, kan?” Saya jawab, “Ya… Alhamdulillah saya sehat, dok.” “Ibu nggak akan membuang janin ini, kan?” tanya dia lagi. “Ya nggak-lah Dok. Masa’ udah dikasih sama Tuhan mau dibuang?” jawab saya.

Nyaris tanpa gangguan fisik
Beruntung, nyaris tidak ada gangguan selama kehamilan ini. Memang terdeteksi placenta previa, tapi sampai kehamilan bulan ke-8, saya tetap bekerja seperti biasa. Malah pernah dua minggu berturut-turut saya tugas ke Banjarmasin dan Medan untuk seminar. Artinya, ada waktu-waktu kami bekerja sampai tengah malam mempersiapkan ruangan dan sebagainya

Nah, untuk menjaga kondisi badan tetap fit, saya lebih memperhatikan pola makan. Waktu itu saya masih kerja di Majalah Ayahbunda. Teman-teman sangat cerewet mengawasi apa-apa yang saya makan. Tongseng, yang paling saya sukai, saya hindari karena takut kena darah tinggi. Susu kedelai dan buah saya konsumsi tiap hari. Dan kalau lelah, saya segera istirahat.”

Operasi Caesar yang menegangkan
Menjelang melahirkan, dokter kandungan saya sakit keras. Jadi saya di bawah pengawasan kakak saya, yang juga dokter kandungan, bersama temannya. Menurut dia, sampai akhir kehamilan, placenta tetap menutupi jalan lahir. Jadi, saya harus operasi Caesar. Padahal, semua kakaknya lahir secara normal. Saya heran, kok saya takut sekali. Semalaman itu saya tidak bisa tidur. Saya kirim SMS ke semua nama yang ada di memory handphone saya, minta doa supaya operasi saya besok berjalan baik. Malam itu, sampai jam 23.30 saya tidak tidur juga. “Ibu besok operasi, sekarang Ibu harus tidur!” kata suster jaga. Tapi ya bagaimana, saya takut sekali.

Akhirnya masuk SMS dari suster bekas kepala sekolah saya ketika di SMA dulu, “Kami semua di biara mendoakan kamu,” tulisnya. Apakah ada doa yang lebih ‘sakti’ daripada doa semua suster di biara? Saya langsung tertidur setelah membaca SMS itu.” 

Pagi itu, bangun tidur, ajaib, perasaan saya tenang sekali. Tapi ternyata masih ada kejutan buat saya. Begitu didorong masuk ke ruang operasi, saya lihat kakak saya memakai seragam operasi lengkap. “Mas mau ngoperasi aku sendiri?” Saya agak shock. “Aku nggak sendiri kok, ada suster-suster, ada dokter anestesi,” katanya santai. “My God…!”
Setelah proses bius epidural, yang buat saya amat menyiksa (saya dibius lokal), saya dengar kakak saya memberi komando, “Oke, jam 09.00, kita mulai ya.” Setelah itu saya cuma dengar alat-alat operasi saling beradu, sambil membayangkan perut saya yang sedang disayat-sayat. Tiba-tiba saya dengar suara kakak saya agak panik, “Mana kepalanya…. Mana kepalanya….” Mati aku, anakku nggak ada kepalanya. Kecemasan seperti mau memecahkan dada saya. Tapi, ketegangan kemudian mereda. Hanya dalam waktu kurang-lebih 10 menit, suster memperlihatkan Putra kepada saya. Terima kasih Tuhan, dia ada kepalanya!”

Setelah persalinan, ada sedikit nyeri di sana-sini setelah operasi. Tapi secara umum saya dan Putra cukup sehat. Saya malah bisa menyusui Putra selama enam bulan, eksklusif. Kepada teman-teman yang lebih muda, yang kebetulan sedang sama-sama menyusui, saya suka menyemangati, “Saya yang sudah nenek-nenek saja bisa kasih ASI eksklusif. Kamu lebih muda, kamu nggak boleh kalah sama saya.”

Reaksi tak terduga
Walaupun terlihat senang-senang saja, sempat ada rasa khawatir kakak-kakaknya belum dapat menerima kehadiran Putra. Apalagi kalau saya sedang menyusui, Sasya suka bercanda (atau pura-pura bercanda?), “Adik awas, minggir. Aku mau deket Mama!” Lalu dia memaksakan tubuhnya, yang sudah lebih besar dari saya itu, berbaring di antara saya dan adiknya. Tapi tidak apa-apa. Itu jadi peringatan buat saya supaya lebih peka memperhatikan kakak-kakaknya.”

Masalah capek atau tidak, Capek sekali! Apalagi mesti bangun malam, menyusui, dan nidurin lagi. Fisik saya tidak sekuat dulu lagi. Kamu mau tahu cara saya mengatasi kelelahan? Sambil menidurkan Putra, saya terus bernyanyi. Saya nyanyikan 10 sampai 20 lagu, pasti Putra tertidur, dan saya pun ikut terlelap bersamanya.”

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia