Belajar dari Berbuat Salah

Beberapa minggu lalu terjadi peristiwa heboh di sekolah. Saat ulangan umum, guru-guru mendapati beberapa anak menyontek. Mereka saling mencocokkan jawaban dan bertanya pada teman dengan mengirimkan pesan di kertas kecil.

Guru-guru gempar dan langsung lemas. Masalahnya selama sepuluh tahun terakhir kami boleh dibilang tidak pernah ketemu kasus anak menyontek. Tidak satu, apalagi delapan anak di dua ruang ulangan umum yang berbeda. Delapan anak dengan track record perilaku dan prestasi belajar yang bagus, pula! Ada apa? Kami ingin menangis rasanya.

Apakah kami terlalu memaksa anak-anak mendapatkan nilai tinggi? Apakah kami terlalu sering berkoar-koar tentang pentingnya skor yang bagus dalam ulangan? Buat kami, membiarkan anak menyontek sama dengan mengajari mereka mencuri.

Lebih jauh lagi, kami merasa amat penting mengajari anak-anak bertanggung jawab pada perbuatan mereka. We had a long talk that afternoon.

Keesokan harinya, beberapa orang tua menemui saya. Mereka bercerita bagaimana anaknya tidak bisa tidur, dan mengakui perbuatan mereka sambil menangis. Anak-anak merasa malu dan menyesal.

Sambil tersenyum saya katakan bahwa saya lega mereka menunjukkan rasa malu dan menyesal, bahkan hingga tak bisa tidur atau menangis. Saya yakin rasa sesal ini akan membuat mereka berhenti menyontek. Kapok. Tidak akan melakukannya lagi.

Saya tanyakan pula, bagaimana reaksi ibu mendengar cerita anak-anak? “Saya bilang kalau saya kecewa, Bu. Tapi Mama senang kamu mau jujur dan cerita. Kamu harus berani menerima konsekuensinya, misalnya nilai kamu jadi 0.” “Ada apa, sih Kak? Apakah Mama minta nilai kamu selalu bagus? Kan tidak? Mama tahu kadang-kadang Kakak sedang malas belajar. Mama perhatikan kok, dan Mama anggap masih wajar. Kakak harus tahu kalau Kakak sedang rajin, maka nilai Kakak bagus. Kalau Kakak sedang segan belajar lalu nilainya turun ya harus diterima saja. Tidak perlu memaksa tetap dapat nilai bagus sampai menyontek.”

"Anak saya cerita Bu, katanya dia menyesal dan merasa bersalah pada temannya yang jadi terlibat. Ia lemparkan pesan pada Dian, sementara Dian tidak tahu apa-apa. Dian jadi ikut dimarahi Ibu Guru. Saya bilang pada anak saya untuk datang dan minta maaf pada guru dan temannya. Lihat kan, ternyata menyontek bukan hanya merugikan diri sendiri, tapi merugikan orang lain?”

Saya terharu. Saya tahu betapa beratnya menemukan anak kebanggaan kita membuat kesalahan. Betapa bangga saya berkenalan dengan para orang tua yang berbesar hati dan menganggap bahwa melakukan kesalahan bukan akhir dari segalanya tetapi kesempatan untuk berkembang. Daripada mengamuk dan marah besar, para ayah dan ibu ini memilih untuk berdiskusi dan menyampaikan sudut pandang mereka tentang nilai-nilai yang dianggap penting dalam keluarga.

Kepada anak-anak yang melakukan kesalahan dan merasa bersalah, mereka menguatkan lima sikap dan perilaku yang penting untuk belajar bertanggung jawab; Mengakui kesalahan, minta maaf, menerima konsekuensi, memperbaiki kesalahannya dan terutama yang paling penting adalah tidak menyalahkan orang lain.

Bagaimana dengan anak-anak ini? Ah, kami menerima beberapa surat permohonan maaf dan ajakan bertemu untuk minta maaf. Beberapa di antara mereka juga meraih nilai sempurna saat ulangan di mata pelajaran lainnya. Begitu cara anak-anak ini membayar rasa bersalah mereka.

Dengan orang tua seperti orang tua mereka, dengan guru-guru yang selalu mengingatkan mereka tentang nilai-nilai yang utama dalam hidup ini, saya yakin anak-anak ini kapok. Semoga kelak mereka jadi teladan berani mengatakan yang benar.

Artikel Blog Mama
Penulis: Lestia Primayanti
Mama dari Binar Cakrawala yang lahir Agustus 2010 ini berprofesi sebagai pendidik yang gemar menulis blog seputar pendidikan. Kepala Sekolah Kembang yang akrab disapa Ibu Tia di sekolah ini senang berbagi cara ia mendidik si kecil dan murid-muridnya.

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia