Ikut les di usia prasekolah?

Orangtua sekarang cenderung mengarahkan anaknya yang baru berusia 3-4 tahun untuk belajar macam-macam. Apa tidak terlalu berat ya, untuk usia anak yang masih sangat muda? 

Setiap kali mengantar Echa, 3 tahun, ke playgroup, saya malah ‘stres’, lho. Bukan apa-apa, kalau mendengar ibu-ibu itu ngobrol, ternyata anak-anak mereka selain sekolah juga ikut les ini itu. Bukan cuma les hobi seperti menggambar, tapi juga les baca dan berhitung. Dengar-dengar sih, supaya bisa masuk ke sebuah TK favorit,” kisah Andiena, dari Serpong.
    Meski tak ingin anaknya terlalu terbebani dengan kesibukan belajar yang terlalu ‘serius’ di usia yang masih terbilang dini, tak urung Andiena merasa khawatir, jangan-jangan, memang dia yang terlalu ‘santai’ untuk urusan belajar anak. “Saya jadi bertanya-tanya, apa tidak sebaiknya saya juga mengikutkan Echa ke kursus-kursus seperti itu?” katanya.

Realitas baru
Pendekatan lebih dini lebih baik memicu (dan terpicu oleh) industri pengajaran yang tumbuh pesat, yang makin lama menjangkau anak-anak yang usianya makin muda. Fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia, lho. Sylvan Learning Centers yang punya 1200 cabang di Amerika, contohnya, dulu fokus untuk membantu anak-anak SD mengikuti tugas sekolah, dan membantu mengajar mereka yang tertinggal dalam pelajaran. Sekarang, lembaga ini mulai meluncurkan program-program pra-TK di sebagian besar cabangnya untuk menyiapkan anak-anak menghadapi ‘keras’nya dunia TK.
Fenomena ini tak hanya terlihat di kota besar atau kalangan kelas menengah ke atas saja. “Kami ada di mana-mana,” kata Richard Bavaria, Ph.D., Vice President bidang pendidikan Sylvan. “Kami ada di Manhattan, juga di Dubuque. Kami telah buka di kota-kota besar, kawasan pedalaman, dan pinggiran.” Program prasekolahnya, kata Sylvan, mengajar anak-anak usia 4 tahun untuk membaca.
Dua pesaing utama Sylvan, yaitu SCORE! milik Kaplan Inc., dan Kumon North America memakai strategi yang sama. Di SCORE! Learning Centers, sekitar 20 persen dari 75.000 anak yang terdaftar berusia 4-6 tahun. Orangtua biasanya mengantar anak-anak mereka ke pusat-pusat belajar setempat dua kali seminggu. Lokasinya biasanya di kawasan mal atau jalan ramai di pusat kota. Program Junior Kumon dirancang untuk anak usia prasekolah dan TK, dan seperti pusat-pusat belajar di dua perusahaan lain, mereka fokus pada keterampilan membaca dan matematika usia dini.
     Itu belum termasuk pusat belajar yang lebih kecil yang juga menawarkan berbagai program akademik yang dirancang untuk anak-anak berusia lebih muda. Aktivitas di prasekolah pun semakin sedikit melibatkan permainan lilin dan balok-balok dan mulai lebih banyak mengajarkan ABC dan 1, 2, 3.    
     Tetapi mengapa? Mengapa orangtua begitu antusias dengan kesiapan anak 3 tahun mereka untuk menghadapi masa sekolah?

Ekspektasi makin tinggi
Satu alasan utama kekhawatiran orangtua adalah karena kurikulum dasar awal kini sudah makin intensif. “Kami telah memperhitungkan standar-standar SD dan mendorong penerapannya,” kata Kathy Hirsh-Pasek, Ph.D., dosen psikologi perkembangan di Temple University dan salah satu penulis Einstein Never Used Flash Cards. “Kami berasumsi, cara termudah untuk meningkatkan pendidikan adalah memberikan tuntutan lebih besar pada anak yang usianya lebih muda.” Sekarang TK adalah kelas 1 yang baru, di mana keterampilan dasar membaca diajarkan, sementara kurikulum TK sebelumnya, seperti pengenalan huruf, menulis nama sendiri, menghitung sampai 20, sudah didorong untuk diajarkan di level prasekolah.
    Hal lain yang turut memberikan kontribusi adalah kekhawatiran orangtua akan kesiapan anaknya menghadapi tuntutan ‘perekonomian global baru’ di masa depan yang didorong oleh teknologi. Media mengatakan hasil tes anak-anak di Amerika tidak sebaik di negara-negara lain, dan masyarakat di sana menyadari, pendidikan adalah kunci bagi kesuksesan ekonomi dan kemakmuran masa depan.
    Tekanan terasa makin berat dengan adanya kesalahpahaman terhadap penemuan tentang perkembangan otak. Keyakinan bahwa merangsang otak anak akan membuatnya makin pintar, mengarah pada pendekatan untuk pembelajaran ‘lebih banyak lebih baik’. Orangtua kini merasa lebih bertanggung jawab untuk mendorong kecerdasan anak mereka.
    Meski bukti bahwa mainan, CD, dan video yang mampu mendorong kecerdasan anak memang belum banyak, produk-produk pemicu klaim tersebut ternyata laris manis diborong untuk dipasang di kamar bayi dan di ruang bermain. Tak heran, kan, kalau anak-anak yang pada masa bayi dan kanak-kanaknya sudah disengaja berorientasi pendidikan akan dihadapkan pada tugas-tugas sekolah bahkan sebelum mereka memasuki usia 4 tahun.

Tekanan yang makin besar
Para ibu yang ‘santai-santai’ pun ternyata ikut merasakan tekanan. “Meski teman-teman si sulung Maura, kini 9 tahun, ikut les berhitung sejak di playgroup, saya tak terpengaruh. Saya tak ingin ‘membebani’ dia terlalu dini. Tapi, ketika adiknya Bene, 3,5 tahun, kini di playgroup, saya kok, gelisah juga ya melihat teman-temannya sudah pada pintar berhitung, sementara Bene acuh-acuh saja tuh, kalau sambil main-main saya ajari berhitung 1-2-3 di rumah,” kata Adriana Ramanita, dari Kebayoran Baru, Jakarta.
Menurut Marilyn dari Taman Yasmin, Bogor, “Saya memang sudah memutuskan untuk memberikan kesempatan bermain seluas-luasnya pada anak (Amabel, 4 tahun) untuk bermain. Biar dia puas menikmati masa kanak-kanaknya. Tapi, ‘rencana’ orangtua teman-temannya yang saya dengar ketika mengantarnya sekolah suka bikin stres. Jangan-jangan, mereka yang lebih benar dalam mempersiapkan masa depan anak.”
“Kadang-kadang ragu-ragu juga sih, kalau dengar teman-teman Pierre, 4 tahun, ikut les Bahasa Inggrislah, matematikalah, atau musik pemicu kecerdasan, sementara saya lebih senang membiarkan Pierre main sepeda atau main petak umpet dan kejar-kejaran dengan kakaknya, Peter, 7 tahun,” kisah Rachmawati Saleh, dari Jakasampurna, Bekasi.
Sementara itu, menurut Maria Erlita dari Cibubur, “Anak saya Raditya, 7 tahun, dianggap ‘anak bawang’ di kelasnya ketika masuk SD kelas 1 tahun lalu. Maklum, dia belum bisa membaca seperti teman-temannya karena bahkan TK-nya pun tak mengharuskan dia untuk itu. Toh, ketika sudah belajar membaca, dia bisa mengikuti dengan baik, kok.”
Begitulah, nyatanya memang ada kekhawatiran, meski tak selalu terbukti. Menurut sejumlah psikolog dan pendidik, program-program yang menawarkan pengajaran dini pada anak sering mengabaikan beberapa fakta vital tentang cara belajar anak usia prasekolah, dan berbagai dampak yang mungkin muncul karena terlalu dini memaksa mereka. “Membuat anak mengingat aturan-aturan fonetik dan mengenali kata yang ada di depan mata adalah cara terburuk untuk memperkenalkan anak kecil pada dunia membaca, karena itu tidak melatih mereka untuk memakai kata dengan cara yang berarti,” ujar Hirsh-Pasek.
Sayangnya, itulah yang kerap dilakukan orangtua yang bermaksud baik ketika membeli buku-buku latihan untuk batita mereka, mendaftarkan mereka untuk ikut les, atau menyekolahkan mereka ke program prasekolah yang sangat akademis. Mungkin sebetulnya ada beberapa pertanyaan yang perlu diajukan orangtua pada diri sendiri:
Terbuktikah program-program ini akan membantu anak kelak?
“Saya masih belum melihat ada data statistik yang membuktikan bahwa mengajarkan membaca dan matematika pada anak-anak yang masih sangat belia menimbulkan perbedaan jangka panjang dalam karir akademik mereka,” kata Michael Thompson, Ph.D., salah satu pengarang Raising Cain and The Pressured Child. “Anak yang sudah bisa membaca di TK belum tentu akan menjadi pembaca yang lebih baik di kelas 4 nanti.” Juga, tambah Thompson, “Program akademik berbasis nilai dapat membuat anak gelisah.
     Mungkin Anda akan mulai melihat si kecil mulas, pusing, berulah, dan mengalami gangguan tidur. Nah, sebegitu pentingkah mengajar anak Anda yang baru 4 tahun itu bahwa realita kehidupan itu sangat keras?”
Meski demikian, tidak semua anak akan bereaksi seperti itu. Beberapa anak mungkin malah dapat berkembang dengan baik dalam program berbasis prestasi seperti ini. Dan seperti halnya tidak ada bukti bahwa kegiatan akademik di usia dini tidak membantu, begitu juga tidak ada bukti bahwa program seperti itu berakibat buruk.
Apakah keterampilan itu berarti di dunia nyata?
“Program-program ini hanya memberikan apa yang saya sebut sebagai ‘ilusi kepercayaan diri’,” kata Laurel Zimmermann, mantan direktur penerimaan murid baru di Elisabeth Morrow School, sebuah SD swasta bermetode keras di Englewood, New Jersey. “Para orangtua akan datang dan berkata, ‘Anak saya prestasinya sangat bagus di program lesnya,’ tetapi yang saya lihat malahan pemikiran kreatif si anak tidak berkembang dengan cukup baik. Dan saya sama sekali tidak melihat ada korelasi antara anak yang les/tidak dengan nilai bagusnya dalam tes masuk kami.”
Dia bisa kehilangan apa jika ikut les?
Anak usia 4 tahun tumbuh dengan menikmati dunia di sekitarnya, melakukan hal-hal seperti main ciprat-cipratan air, menggali-gali pasir, mengejar kunang-kunang, main rumah-rumahan, dan memukul-mukul panci dan baskom. “Ketika si kecil membangun benteng di ruang tamu, ia berlatih fisik, karena itu ada hubungannya dengan keseimbangan,” kata Hirsh-Pasek. “Dan dengan bercerita dapat membentuk pondasi pemakaian bahasa yang efektif.”
Ketika anak prasekolah duduk dan mempelajari konsep akademik, ia tidak belajar melalui bermain dan beraktivitas. Pemahaman matematika, misalnya, tidak selalu berasal dari belajar berapa satu tambah satu. Itu hanya menghafalkan fakta. Sebetulnya, anak-anak usia prasekolah sudah belajar tentang itu: “Eh, kok, dia dikasih dua sendok, tapi aku cuma satu?”
Tekanan dari sesama teman untuk ikut berakademis terlihat di mana-mana, tak kentara tetapi berbahaya. Namun, mendorong anak prasekolah untuk membuka buku dapat memancing pertanyaan-pertanyaan yang memicu kekhawatiran sendiri: Apakah anak Anda mendapat cukup waktu untuk menikmati masa-masa menjadi anak-anak? Apakah kepintaran berhitung benar-benar lebih berarti daripada main baju-bajuan dan Lego? Apa cara terbaik untuk menerapkan dan mendorong minat belajar pada anak? Tidak semua orangtua punya kesimpulan yang sama untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Marcelina dari Tebet mengungkapkan, buat dia, kegembiraan anaknya menikmati masa pertumbuhan mereka lebih penting daripada keberhasilan akademis semata. Bahkan ketika ada yang berkomentar tentang anaknya Zidan, 5 tahun, yang sudah duduk di bangku TK namun masih belum bisa membaca, “Nanti kalau mau masuk SD, kan banyak SD bagus yang mengetes muridnya berdasarkan kemampuan membaca.” Lina tak terpengaruh. “Yah, mungkin saya tak akan memasukkan anak saya ke SD seperti itu,” katanya enteng.
Bagi Stephanie Lodish, M.D., dokter anak di Ridgewood, New Jersey, yang menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah umum yang kompetitif tapi menolak memasukkan anak sulungnya ke program-program khusus apa pun sebelum ia mulai masuk TK, intinya adalah kebahagiaan putranya: “Orang yang melihat Isaac tidak mengikuti program apapun untuk memperkuat pendidikannya di prasekolah akan bertanya pada saya, ‘Kamu tidak khawatir ia akan ketinggalan?’ Dan saya bilang, ‘Tidak, saya rasa ia akan bahagia’.”
Tentu orangtua tidak bisa hanya memikirkan kebahagiaan langsung anak-anak. Kita harus menyeimbangkan tujuan dan keinginan bersaing dengan mempertimbangkan apa yang terbaik bagi mereka nantinya, jauh sampai ke masa depan mereka. Untuk beberapa anak, program akademik sederhana sebelum mereka mulai sekolah mungkin akan memacu kebutuhan mereka dan memberikan pembelajaran terstruktur yang mereka sukai. Tetapi bagi anak-anak lain, mungkin semua itu merupakan solusi dari masalah yang sebenarnya tidak mereka miliki. ?

PAR 0308

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia