Mengenal Story Telling Sejak Dini

“Rumah kita ini namanya hotel dinosaurus. Halamannya ada kebun pakis sama tumbuhan Conifera, makanan kesukaan dino. Ya, kan, Bu,” celetuk Pilar (7), anak saya, di suatu akhir pekan saat kami sedang bersantai di rumah. Bagi dia, saat ini kita hidup di zaman Jurassic, ketika dunia dikuasai oleh T-Rex, Spinosaurus, dan kawanan dinosaurus lainnya. Sejak kecil, ia memang punya rasa ketertarikan pada binatang purba yang tak pernah kita saksikan wujudnya ini.

Seperti halnya Pilar, imajinasi itu juga dimiliki oleh Sienna (4). Ia sering membayangkan rumahnya menjadi pantai atau hutan. Penggemar serial Marsha and The Bear, Princess Sophia, dan My Little Pony ini bisa tiba-tiba berseru, “Mommy, it’s a seashell,” sambil memungut sebuah batu dari pekarangan. Sienna yang punya kemampuan pictographic (menghafal simbol atau gambar) ini juga cepat sekali menghafal dialog-dialog dari tontonan yang ia sukai. Nah, beberapa adegan di film Frozen termasuk salah satu di antaranya. 

Lain lagi dengan Aira (3,5). Bukan hal yang aneh jika ia sering mengajak ngobrol boneka-bonekanya dan memperlakukan mereka seperti anak-anaknya. “Adik, sudah minum susu belum? Sini dulu, duduk di sebelah aku. Hayo, habis ini kamu harus tidur ya,” celoteh Aira. “Kalau sudah begitu, dia suka asyik dengan perannya. Jadi ibu-ibu, jadi dokter, jadi sheriff, atau apa pun itu. Saya membiarkannya. Malah, kadang saya pancing dia. ‘Anaknya berapa, Bu? Anaknya masih suka ngompol ya?’ Kadangkala, karakter anak yang ia ceritakan itu adalah personifikasi dari dirinya sendiri,” cerita Faunda, mama Aira.
 
Nah, mengenalkan aktivitas menulis, atau lebih tepatnya story telling, sebetulnya bisa dilakukan sejak dini. Salah satu yang saya lakukan adalah membuat Pilar bisa menceritakan kembali hal-hal apa saja yang sedang ia pikirkan. Bisa dari tontonan favorit yang baru saja ia lihat, atau pun ide-ide yang bersliweran di benaknya. Suatu kali, ia beride untuk mendirikan restoran Chinese Food, dan ia pun menuliskan daftar menu dan minuman, lengkap dengan harganya.

Di usia ketika anak belum bisa membaca, anak lebih dulu mengenal gambar. Menurut Weilin Han, konsultan pendidikan, “Orang tua harus sadar bahwa huruf itu abstrak. Yang perlu dilakukan orang tua adalah mau bercerita terus menerus.” Ia  menambahkan, jenis buku yang paling baik untuk balita adalah buku yang memiliki  banyak gambar dan sedikit tulisan. Dengan begitu, ketika anak mulai mengenal huruf, pada saat kita bercerita, kita menceritakan mengenai isi gambar. Lalu, sambil bercerita, jari kita menunjuk ke tulisan. “Ketika saya ngomong anak katak melompat, jari saya menujuk pada tulisan, tapi mata saya melihat ke anak. Ulang lagi cerita di halaman anak katak melompat itu hingga beberapa kali. Dengan cara ini, anak lebih menyerap. Dan, anak harus terekspos dengan buku sejak dini,” sarannya.

Langkah berikutnya, mengajari anak menulis. “Ajarilah anak untuk menulis dengan huruf berukuran besar terlebih dulu. Membuat huruf dengan cara mengikuti titik-titik yang sudah ada, menghubungkan dari satu titik ke titik lain.”  

Photo: Getty Images

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia