Kenali Gangguan Pendengaran pada Bayi


Indonesia mengadaptasi pemeriksaan wajib pendengaran bayi baru lahir dari Joint Committee on Infant Hearing, AS. Bagian dari pemeriksaan fisik menyeluruh pada bayi dalam 24 jam pertama setelah bayi lahir adalah: Oto Acoustic Emission (OAE), pemeriksaan menggunakan alat OAE dilakukan 10 detik per telinga, untuk mendeteksi adanya hambatan di saluran telinga luar, di cairan tengah, dan kerusakan rambut sel di rumah siput (koklea).

Hasil pengukuran ‘pass’ berarti fungsi pendengaran normal, dan ‘failed’ jika perlu pemeriksaan ulang. Branstem Evoked Response Auditory (BERA) atau Auditory Brainstem Response (ABR), untuk mendeteksi adanya kelainan di koklea, sistem saraf pendengaran, dan jalur auditori pada stem batang otak, yang dapat diketahui melalui gelombang otak berupa suara dari alat elektroda yang dipasang pada telinga. Umumnya dilakukan pada balita dengan keterlambatan bicara (delayed speech), memiliki cacat ganda, dan autisme. Tes ini juga bisa menentukan jenis ketulian. Bila ditemukan kelainan, bayi perlu mengikuti tes lanjutan.

Kenali Gangguan Pendengaran
Kemampuan mendengar manusia dikatakan normal jika mampu mendengar suara dalam skala 0 – 120 dB (decibel, satuan intensitas suara). Nilai 0 dB misalnya berbentuk suara berbisik, 20 dB suara bicara normal, dan 120 dB suara pesawat terbang. Disebut gangguan, jika kemampuan mendengar kurang dari skala itu.
  • Gangguan pendengaran ringan, kemampuan mendengar hanya 20-39 dB atau tidak dapat mendengar suara pelan.
  • Gangguan pendengaran sedang, kemampuan mendengar 40-69 dB atau hanya bisa mendengar suara jarak dekat.
  • Gangguan pendengaran berat, kemampuan mendengar 70-89 dB atau hanya mendengar suara kuat dan kencang saja.
Gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan dari penyebabnya:
  • Tuli konduktif
Disebabkan masalah atau kondisi abnormal pada telinga luar (daun telinga, liang telinga, dan gendang telinga) dan telinga tengah dan rongga udara di belakang gendang telinga. Tuli konduktif tidak menyebabkan ketulian total sebab masih mendengar bunyi namun lemah.
  • Tuli sensorineural
Disebabkan kerusakan atau malafungsi pada telinga dalam seperti koklea, saraf pendengaran, dan batang otak, sehingga
bunyi tidak dapat diproses normal. Penyebabnya: kelainan bawaan, genetik, kelainan saat janin, proses kelahiran, infeksivirus, pemakaian obat yang merusak koklea, radang selaput otak, dan kadar bilirubin tinggi.
  • Tuli campuran
Gangguan pendengaran tuli konduktif dan sensorineural terjadi bersamaan.

Baca juga : Deteksi Dini Gangguan Pendengaran Bayi

 

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia