Mendengarkan kata hati

Seperti ibu-ibu pada umumnya, saya sempat mengalami dilema setelah melahirkan anak pertama kami. Berkarier atau menjadi ibu rumah tangga. Meskipun saat itu saya belum sempat bekerja kantoran, karena baru saja lulus S2, saya ingin segara memantapkan hati untuk memilih satu hal yang nantinya akan saya jalani seumur hidup. Di bulan yang sama waktu saya diwisuda, anak kami berulang tahun yang pertama. Dia sedang lucu-lucunya, mulai bisa berjalan dan mengucap kata-kata baru. Tak tega rasanya membayangkan bagaimana nasib anak saya jika saya bekerja nanti. Namun tanpa menghiraukan kata hati, saya tetap rajin melongok kolom vacancy di koran, mencari siapa tahu ada pekerjaan yang cocok. Suami saya sebenarnya tidak keberatan apabila saya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Pertimbangannya, suami saya sudah mendapat pekerjaan tetap dan mapan. Jika saya juga bekerja, siapa yang akan mengawasi anak kami? Tidak mungkin kami menyerahkan anak kami sepenuhnya pada babysitter. Sedangkan orangtua kami tinggal di luar kota, jadi tidak mungkin juga kami menitipkan si kecil kepada mereka. Tapi saya ngotot ingin berkarier.  Alasan saya pada suami adalah, bagaimanapun juga, saya lulusan S2. Untuk apa saya sekolah tinggi jika tidak dipergunakan? Rasanya sia-sia saja kerja keras saya selama dua tahun, berkutat dengan buku-buku tebal berbahasa Inggris, apalagi membayangkan saat saya hamil dan mesti mengikuti kuliah malam. Tapi yang sesungguhnya terjadi, saya malu dengan teman-teman saya. Saya tidak ingin terlihat 'kuper' dan kalah gaya bila bertemu dengan teman-teman saya. Rata-rata dari mereka sudah memiliki pekerjaan yang cukup mapan.  Setiap kali kami bertemu, mereka membicarakan masalah seputar pekerjaan mereka. Sementara, sehari-hari saya ’hanya’ sibuk mengasuh anak, memastikan segala tetek bengek keperluannya terpenuhi dan mengurus rumah. Ketika mereka bertanya, ”Gimana kabarmu sekarang? Ngapain aja setelah lulus?” dan sebagainya, saya langsung merasa ’tidak ada apa-apanya’ dibandingkan mereka. Tidak ada sesuatu yang bisa saya banggakan di hadapan mereka. Dan saya pun merasa rendah diri karenanya. Tidak tahan menghadapi pertanyaan-pertanyaan semacam itu, beberapa kali pertemuan saya selalu menolak untuk datang dengan berbagai alasan. Namun, seiring berjalannya waktu, ketika saya tidak kunjung mendapatkan pekerjaan kantoran yang saya harapkan bisa dibanggakan di depan teman-teman, saya mulai sering merenung. Hasil perenungan itu, ternyata karier bukan sesuatu yang benar-benar saya inginkan dalam hidup saya. Sebenarnya juga, saya enggan menjadi pekerja kantoran yang mengharuskan saya rutin meninggalkan anak. Memang, awalnya, saya merasa kecewa karena tidak mendapatkan pekerjaan kantoran yang menurut saya lebih menjanjikan dan berpenghasilan tetap. Saya bahkan terkadang merasa iri pada teman-teman saya yang sudah mendapatkan pekerjaan tetap. Tapi setelah saya renungkan lagi, saya pikir, apakah dengan berkarier seperti itu saya akan bahagia? Tentu akan banyak hal yang akan saya korbankan. Sudah jelas saya tidak bisa menghabiskan banyak waktu untuk anak saya apabila saya bekerja full-time. Yang pasti, waktu bekerja akan ditentukan oleh kantor: kapan saya harus masuk dan pulang. Saya tidak akan bisa mengatur waktu sesuka hati saya. Duh, membayangkan saja saya tidak bisa! Bagaimana mungkin saya bisa meninggalkan anak saya dari pagi hingga menjelang malam untuk bekerja. Baru pergi keluar beberapa jam saja pikiran saya sudah melayang ke rumah, khawatir terjadi sesuatu pada si kecil. Dan bagaimana pula saya bisa berhenti menulis? Hampir tiap hari saya menuangkan pikiran dan hati saya pada tulisan. Bekerja full-time mungkin akan membuat saya sedikit membatasi kegiatan tulis menulis. Kenyataannya, saya menikmati hidup saya yang sekarang. Saya bisa melihat perkembangan anak saya dari waktu ke waktu, mengantarnya sekolah dan bisa melakukan hobi saya menulis sebanyak apapun yang saya inginkan. Intinya, saya bisa melakukan banyak hal dengan anak tanpa harus diburu-buru waktu. Bayangkan jika saya bekerja. Hampir bisa dipastikan setidaknya jam enam pagi saya sudah harus berangkat ke kantor, dan baru tiba kembali di rumah paling cepat menjelang maghrib. Bagaimana anak saya bisa mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup dari kedua orangtuanya, kalau kedua orangtuanya bekerja minimal lima hari dalam seminggu. Saya pasti akan merasa sangat berdosa sekali! Jadi, saya pun mulai mencoba mengikuti kata hati saya. Saya tak peduli apa kata teman-teman saya nanti, yang penting saya merasa nyaman dengan pilihan yang saya buat. Bukankah menjadi ibu adalah pekerjaan membanggakan? Dan hei saya pun bisa berkarya meskipun tidak bekerja kantoran. Saya bisa membangun bisnis sendiri. Dengan membuat usaha sendiri, saya bisa mengatur waktu dan menjadi bos di perusahaan saya sendiri. Saat ini, meskipun kecil-kecilan, saya mulai merintis bisnis butik perlengkapan bayi dan ibu hamil. Saya juga aktif menulis. Meskipun tulisan saya belum banyak, tetapi saya cukup senang jika melihatnya dimuat di suatu media. Rencananya, saya juga ingin merintis bisnis di bidang lain.
Salah satu impian saya adalah mendirikan sekolah untuk anak-anak balita. Menyenangkan sekali rasanya melihat anak-anak dan dunianya. Polos, tanpa beban, dan penuh tawa. Saya juga berencana untuk menulis buku cerita anak-anak yang nantinya akan menjadi bacaan anak saya dan juga murid-murid saya. Dengan demikian, anak saya pasti akan bangga pada ibunya. Meskipun masih berupa cita-cita, semoga bisa terwujud dalam waktu dekat. Saya bersyukur mau mendengarkan kata hati saya lebih awal. Tidak terbayangkan jika saya terlambat ’mendengar’ kata hati saya. Mungkin saat itu saya sudah tua renta sementara anak saya yang sudah dewasa hidup terpisah jarak, tetapi tidak banyak kenangan manis antara ibu dan anak yang tertinggal. Saya pasti akan menyesalinya sepanjang sisa hidup saya. Sungguh pelajaran yang sangat berharga buat saya. Ternyata, meskipun kata hati ’berbicara’ jujur, kita sering kali mengabaikannya. Banyak kejadian dimana kita tidak mau mendengar kata hati kita sendiri. Bisa jadi kita sebenarnya tidak nyaman bekerja di suatu tempat, tapi kita tetap menjalaninya demi materi. Atau, beberapa kali mungkin kita terpaksa menuruti kehendak orangtua, suami atau teman; meskipun sebenarnya merasa itu bukan hal yang sesuai dengan hati kecil kita? Terlalu sering kita menjadikan perkataan dan harapan orang lain untuk acuan kita menjalani hidup. Meskipun terkadang ada benarnya, tetapi tidak ada salahnya mendengarkan dengan baik kata hati kita sebelum memutuskan sesuatu. Saya sudah membuktikannya, bahwa ’mendengar’ kata hati mendatangkan kebahagiaan. 

PAR 0107

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia