3 Alasan Anak Menyontek


Kenali hal-hal apa saja yang jadi ‘pendorong’ anak menyontek. Karena, salah satunya bisa saja berasal dari orang tua, Ma.

1. TIDAK SIAP
Nurlaila tidak menyangka ketika suatu siang menerima pesan Whatsapp dari wali kelas Abi (kelas 4) yang memberitahukan kalau anak sulungnya baru saja ketahuan menyontek saat Ujian Akhir Sekolah (UAS). “Wali kelas memberitahu saya bahwa Abi akan diikutkan dalam ujian remedial setelah jadwal UAS berakhir. Soal dalam ujian remedial itu akan dibuat berbeda dari soal ujian aslinya. Katanya, supaya nilai yang didapat Abi nanti adalah murni hasil pekerjaannya, bukan nilai hasil menyontek,” kata mama 3 anak ini.

Soal penyebab menyontek, Laila menduga itu karena Abi tidak belajar maksimal menjelang ujian. Kata Laila, “Ketika besoknya mau ujian, Abi seharian malah ada di rumah neneknya. Memang, sih, ia bawa buku dan janjinya mau belajar. Tapi, karena saya nggak ada di sana, saya tidak tahu juga apakah ia betul belajar atau malah asyik main games sama sepupunya.”

Solusinya...
Ketika anak sudah mulai masuk sekolah formal dan mulai menghadapi aneka tugas dan ujian, berarti Anda pun harus ikut ‘bersekolah’ bersamanya, Ma. Anda harus ikut menghapal jadwal pelajarannya, jadwal ujiannya, PR apa saja yang harus dikerjakannya, bahkan materi pelajaran apa yang ia dapat hari ini. Ingat, tak semua anak bisa belajar dengan baik tanpa didampingi orang dewasa, terutama anak SD. Anda tak bisa ‘menuduh’ anak malas belajar ketika ia bahkan belum mampu dan mengerti cara menempatkan prioritas. Bagi mereka, bermain tetaplah jauh menyenangkan dibanding belajar dan menghapal. Dengan mendampinginya seperti ini, anak akan terhindar dari situasi tidak siap seperti di atas, dan tak ada lagi alasan baginya untuk ‘terpaksa’ menyontek.

2. TUNTUTAN UNTUK MENDAPAT NILAI BAGUS
Sejak TK hingga sekarang kelas 5 SD, Fathia selalu langganan menjadi juara kelas setiap tahunnya. Karena itulah, sang mama, Anna Putria, tak pernah merasa khawatir atau cemas di musim ujian. Anna sudah sangat yakin putrinya itu akan belajar dengan baik dan mendapat nilai memuaskan. Sampai suatu ketika, UAS tahun ajaran lalu, Anna mendapati nilai bahasa Inggris Fathia ‘hanya’ 95.

Karena kaget (biasanya Fathia langganan mendapat nilai 100 di pelajaran bahasa Inggris), Anna bertanya dengan nada sedikit keras pada putrinya mengenai penyebab nilainya yang turun. “Waktu itu Fathia hanya bilang ‘maaf’,” kata mama yang berprofesi sebagai pramugari ini. Suatu hari, Anna tahu kalau Fathia mendapat PR membuat teks pidato dalam bahasa Inggris. Ia kaget ketika memergoki Fathia sedang meng-copy sebuah teks pidato dalam bahasa Inggris di internet, kemudian menyalin dan mencetaknya sebagai PR bahasa Inggris. “Saya tanya, kenapa teks pidatonya copy paste dari internet? Kata Fathia, ia takut ada grammar yang salah dan malah dapat nilai jelek kalau membuat sendiri teks pidatonya. Duh, ini pasti karena kami semua selalu menuntutnya serba sempurna dan tak boleh salah,” urai Anna.

Solusinya...
Memiliki anak yang selalu mendapat nilai bagus memang membanggakan, ya, Ma. Dan kadang hal tersebut suka membuat orang tua ‘lupa diri’ betapa anak hanyalah anak-anak dengan kemampuan yang ada batasnya. Ingat satu hal ini, Ma, sehebat apapun prestasi anak, percayalah ada anak lain yang lebih hebat darinya. Pujilah usahanya ketika anak berprestasi, dengan mengatakan, “Kamu memang sudah belajar dengan baik selama seminggu ini, makanya kamu dapat nilai 100.” Hal ini agar ia tahu bahwa usahanyalah yang dihargai, bukan sekadar prestasi atau nilai bagusnya. Dengan begitu, ia akan tumbuh menjadi anak yang menghargai sebuah proses dan perjuangan ketika meraih prestasi, bukan sekadar anak yang menginginkan prestasi instan.

3. TEMAN-TEMAN LAIN JUGA MENYONTEK
Rumah Rentha sering dijadikan base camp untuk belajar kelompok Hanifah, putrinya yang sekarang duduk di kelas 6 SD. Suatu hari Rentha menyadari bahwa ada yang ‘aneh’ dengan cara belajar Hanifah dan teman-temannya. “Jadi ada satu anak yang tampaknya paling pintar di antara mereka. Si anak ini akan mengerjakan PRnya duluan. Setelah itu, teman-temannya, termasuk Hanifah, akan menyalin di buku PR masing-masing. Ini, sih, bukan belajar kelompok namanya,” kata Rentha sedikit geram. Ketika ditanyakan kepada Hanifah, putrinya ini menjawab bahwa hal itu sudah lumrah terjadi.

Solusinya...
Menyalin pekerjaan teman, meski dengan sepengetahuan si pemilik pekerjaan, tetap saja merupakan suatu bentuk kecurangan. Hal ini membuat si kecil tak berpikir atau berusaha apa pun untuk mengerjakan pekerjaannya. Inilah yang akan menjadi cikal bakal perilaku malas dan senang sesuatu yang serba instan kelak. Si kecil dan teman-temannya harus diberi pengertian bahwa tindakan menyalin seperti itu akan merugikan mereka semua. Bagi si anak pintar, hal ini merugikan karena hasil kerja kerasnya dimanfaatkan seenaknya oleh teman-temannya.

Bagi anak-anak lain yang menyalin, hal ini akan menumpulkan otak mereka. Otak yang tak dipakai untuk berpikir, lama-kelamaan akan tumpul. Bukankah ini akan merugikan mereka ketika teman yang pandai ini kemudian pindah sekolah dan tak ada lagi di sekitar mereka untuk memberi contekan?

Kepada si kecil, katakan bahwa bersikap jujur tetap penting dilakukan meski hampir semua orang di sekitarnya tidak melakukan hal tersebut. Jangan biarkan si kecil berpikir ‘Untuk apa bersikap jujur kalau semuanya menyontek?’ Supaya hasilnya maksimal, bekerjasamalah dengan guru di sekolah. (foto: 123rf)


Baca juga : Anak Kepergok Menyontek
 

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia