5 Kesalahan Orang Tua Saat Jalin Hubungan dengan Guru


Tanpa sengaja atau secara tidak sadar, ada banyak orang tua murid di dunia ini yang menyulitkan para guru. Tentu saja, para guru enggan menyatakannya dan akan tetap ramah. Nah, siapa tahu Anda termasuk yang seringkali melakukan kesalahan-kesalahan berikut ini:
  •  Terlalu Akrab
Kita tentu ingin mengenal dan menjaga hubungan baik dengan guru anak-anak kita. Begitu juga sebaliknya. Tapi, bukan berarti para guru ini perlu Anda jadikan sahabat baru. Jangan salah tangkap, Ma, Anda memang ramah dan hangat, tapi sekolah adalah tempatnya bekerja dan pekerjaannya bukan untuk ngobrol atau mendengarkan curhat Anda. “Saat mengantar anak di pagi hari biasanya beberapa orang mama menyapa dan mengajak saya ngobrol,” cerita Laksmi*, seorang guru yang mengajar di satu SD swasta di kacamatan Cilandak. “Sebetulnya saya senang, tapi kalau terlalu lama atau yang dibicarakan di luar masalah siswa saya merasa waktu saya untuk memperhatikan anak-anak jadi tersita. Padahal saya berusaha menyapa setiap siswa sebelum mulai belajar.”

Lain lagi cerita Mia*, yang mengajar di taman kanak-kanak di bilangan Tebet. “Ada Mama yang mengundang saya berteman di Facebook meskipun sekolah sudah membuat halaman khusus untuk interaksi dengan orang tua murid. Saya sulit menolak, meski ini membuat saya merasa tidak nyaman. Ada juga orang tua yang sering mengirimi saya gambar lucu hingga pesan berantai melalui Whatsapp. Yang seperti ini selalu membuat saya bingung harus bereaksi bagaimana. Hahaha...”
  •  Melanggar Aturan
Ternyata, banyak orang dewasa di luar sana yang entah bagaimana merasa kebal dari peraturan. Natalia*, mengajar kelas empat di sebuah sekolah yang memiliki peraturan ‘Hanya Menurunkan Anak’ di area lobby agar arus lalu lintas selama waktu mengantar anak lancar. “Tapi, tetap saja ada orang tua yang berhenti lama di sana atau masih mengajak anak bicara di dalam mobil, sementara antrean di belakangnya mengular!”

Natalia juga menceritakan ada seorang mama yang kerap nekad masuk ke dalam area sekolah untuk mengambil foto anak-anaknya. “Ketiga anaknya memang bersekolah di sini sejak playgroup sampai SMP. Jadi, mungkin beliau merasa dekat sekali dengan sekolah,” keluh Natalia. Masalah peraturan lain yang sering dilanggar yang paling membuatnya merasa kecewa adalah soal keselamatan siswa. “Tidak membawakan tanda pengenal pada orang yang diminta menjemput anak, misalnya. Atau bila orang yang diminta menjemput bukan orang yang biasanya, ada orang tua yang tidak memberitahu terlebih dulu. Padahal, semua demi kebaikan anak-anak.”
  •  Meremehkan Profesi
Jangan pernah bilang pada seorang guru, “Wah, saya sibuk. Kalau guru, enak ya, Bu.Kerjanya cuma sampai siang!” Anda mungkin harus ngantor hingga setidaknya pukul 5 sore dan baru tiba di rumah pukul 7 atau 8 malam setiap hari. Tapi, komentar pasif-agresif seperti tadi juga tidak akan membawa kebaikan apa-apa –pun meringankan beban Anda sebagai mama bekerja. Alih-alih Anda membuat guru anak tersinggung.

“Saya memang tidak bekerja kantoran,” kata Laksmi, “Tapi bukan berarti profesi ini bisa saya jalankan dengan main-main. Saya tiba di sekolah 1 jam sebelum para siswa datang, saya bahkan tidak pernah bisa mengantar anak-anak saya ke sekolahnya. Saat sedang mengajar, saya juga tidak mungkin menerima telepon dari balita saya yang kangen pada mamanya. Prioritas saya, anak-anak didik saya.” Belum lagi soal cuti, jarang ada guru yang bisa memperoleh cuti untuk liburan 1 minggu penuh, kecuali saat liburan tengah tahun atau Hari Raya. “Itu pun bila kami tidak harus bekerja di sekolah menyiapkan pendaftaran murid baru, pembahasan kurikulum atau menyiapkan konser siswa,” tambah Laksmi yang juga memiliki tiga orang anak ini.
  •  Terlalu ‘Bersemangat’
Memberi perhatian pada segala keperluan anak di sekolah jelas bagus. Tapi jangan berlebihan, ya, Ma. Seorang guru kelas 1 SD di Tangerang, Hindayu*, bercerita, setiap tahun pasti ada 2-3 mama yang terlalu bersemangat. Ketika diberikan daftar barang-barang yang harus dibawa oleh anak, mereka mengirim e-mail atau menelepon berkali-kali menanyakan ukuran botol minum, sampai panjang kaus kaki. “Saya juga pernah mendapat SMS berisi: Buku tulisnya yang isi berapa lembar, ya? Kalau di bawah garisnya ada mereknya, boleh? Saya sedang di toko buku, urgent! Tolong dibalas segera,” kisah Hindayu sambil tertawa. Pernah juga, seorang mama membawakan anaknya 5 jenis penghapus lalu di pagi hari ditunjukkan ke saya, “Yang mana yang harus dibawa, Miss? Saya takut salah!”
  •  Tidak Peduli
Sementara ada orang tua yang sangat heboh dan detail terkait kelengkapan anaknya, tidak sedikit juga yang seolah tidak peduli. “Misalnya, tidak memakaikan sepatu olahraga di hari yang sudah ditentukan. Kasihan anaknya, jadi susah mengikuti kegiatan,” kata Hindayu. Ada juga yang tidak membawakan baju ganti karena merasa yakin anaknya tidak membutuhkannya. Tapi, namanya juga sekolah, bisa saja ada kejadian di luar dugaan. “Si anak menangis bajunya basah, tapi tidak mau saat ditawari memakai baju ganti milik temannya.

Katanya takut mama marah. Akhirnya, waktu belajar dan beraktivitas tersita karena saya harus membujuknya.” Hal-hal seperti ini, menurut Hindayu, juga dapat menghambat kemajuan anak. “Ada seorang anak yang kerap tidak membawa hal yang diminta untuk mendukung kegiatan belajar. Misalnya foto liburan keluarga, bekal sesuai tematik yang sedang kami bahas atau benda yang akan dijadikan bahan diskusi di kelas. Ia juga selalu datang terlambat. Kami memang tidak memberi hukuman,
tapi saya perhatikan, akhirnya anak ini merasa tersisih dari teman-temannya dan kurang percaya diri.” Bila Anda betul-betul ingin memberikan yang terbaik untuk si kecil, tentu tidak akan membiarkan hal seperti terjadi, kan, Ma? (foto: 123rf)

*Bukan Nama Sebenarnya


 

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia