Anak Cadel, Apa Penyebabnya?


Renata, mama satu anak yang berdomisili di Bandung, Jawa Barat, merasa bingung dengan kemampuan bicara anaknya, Hanifah (10 tahun). Sampai Hanifah duduk di kelas 4 sekolah dasar (SD), lafal bicaranya masih tak jelas. Seperti anak batita, Hanifah masih mengucapkan “cucu” untuk “susu”, “kinci” untuk “kelinci”, “meah” untuk “merah”, dan masih banyak lagi lafal-lafal lain yang seharusnya hanya pantas diucapkan oleh anak batita. Menurut Renata, anaknya ini tak pernah mengalami masalah keterlambatan bicara. Kosa katanya pun cukup banyak sesuai dengan perkembangan usianya. Memang, sih, Hanifah cadel cukup parah sewaktu kecil. Tetapi, bukankah itu wajar bagi anak yang sedang belajar bicara? Renata tak menyangka, ketidakmampuan anaknya dalam melafalkan kata dengan benar itu terus berlangsung hingga ia besar. Bingung, sedih, sekaligus malu, bercampur jadi satu.

Kasus yang dialami oleh Hanifah di atas merupakan salah satu gangguan fonologis (phonological disorder), yaitu anak tidak mampu memproduksi suara atau bunyi sesuai dengan tahapan usianya. Anak dengan gangguan itu sebenarnya menguasai dan mampu menggunakan perbendaharaan kata dalam jumlah besar, tetapi tidak dapat mengucapkannya dengan jelas. Umumnya, mereka tak tidak menguasai artikulasi suara dari huruf-huruf, seperti “r”, “s”, “t”, “f”, “z”, “l”, dan “c”.

Menurut Alzena Masykouri, M.Psi, psikolog dari lembaga psikologi Kancil, kondisi di atas masih bisa diterima, jika terjadi pada anak usia tertentu, misalnya di bawah 4 tahun. Tetapi di atas usia tersebut, anak sesungguhnya diharapkan sudah dapat membunyikan lafal yang jelas. Kecuali pada huruf “r”, kemampuan itu bisa ditunggu sampai usia anak sekitar 6 - 7 tahun.

Gangguan fonologis dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ringan dan berat. Untuk tahap ringan, gangguan biasanya berupa ketidakmampuan anak usia 3 tahun dalam menyebutkan bunyi huruf “l”, “r”, atau “s”. Misalnya, anak mengucapkan “kasur” menjadi “kasul”, atau “mobil” menjadi “mobing”. Namun gangguan itu biasanya akan hilang dengan pertambahan usia anak, atau jika orang tua melatih dengan membiasakan menggunakan bahasa yang baik dan benar.

Sedangkan pada tahap berat, gejalanya bisa berupa anak mengucapkan beberapa huruf dengan bunyi yang sama, mengucapkan sebagian, atau bahkan semua huruf, dengan lafal yang tidak jelas sehingga susah dimengerti, menghilangkan huruf tertentu atau menggantikan huruf dan suku kata. Misalnya, kata “toko” menjadi “toto”, atau “stasiun” jadi “tatun”. Kondisi tersebut tentu saja akan menyulitkan orang-orang di sekitarnya karena mereka tak dapat menangkap maksud si anak, sehingga komunikasi maupun perkembangan sosial anak pun jadi terganggu.

Nah, anak-anak yang mengalami gangguan artikulasi tahap berat itu juga biasanya mengalami gangguan pada perkembangan bicara. Misal, usia 3 tahun baru dapat bicara, atau baru bisa mengucapkan kata “mama” dan “papa” diusia 2,5 tahun. Pada kasus Hanifah di atas, bisa jadi ia mengalami gangguan artikulasi tahap ringan karena tak memiliki masalah keterlambatan bicara ketika kecil.

Menurut Alzena, ada tiga hal yang menyebabkan gangguan fonologis. Pertama, gangguan struktur/organis, yaitu gangguan yang melibatkan organ bicara, misalnya lidah dan langit-langit mulut. Kondisi itu menyebabkan anak kesulitan memproduksi bunyi yang sesuai. Kedua, gangguan atau kendala neurologis. Mungkin saja terjadi masalah yang berkaitan dengan sistem saraf di area sekitar mulut yang memengaruhi kerja otot untuk memproduksi suara. Penyebab yang ketiga adalah gangguan fonologis yang terkait dengan perkembangan. Ketika dilakukan pemeriksaan, tidak ada kendala pada dua penyebab lain, maka mungkin saja terjadi hambatan fonologis yang menyebabkan anak tidak dapat melafalkan kata dengan tepat. (foto: 123 rf)

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia