Belajar Toleransi di Sekolah Inklusi


Autism Awareness Day
diperingati setiap April untuk membuat kita lebih memahami dan menerima orang-orang dengan spektrum autisme. Belum ada data yang resmi mengenai penyandang autisme di Indonesia, namun kini diperkirakan 1 dari 250 anak di Indonesia menyandang autisme.

Tak hanya autisme, kesadaran dan pengetahuan yang lebih tinggi saat ini juga ‘memunculkan’ anak-anak dengan kesulitan belajar spesifik (SLD). Kebutuhan untuk melayani anak-anak dengan beragam kesulitan belajar spesifik dan keadaan-keadaan khusus lain seperti autisme terus meningkat dari tahun ke tahun. Sesuai dengan Permendiknas nomor 70 Tahun 2009, maka sebenarnya setiap sekolah perlu bersiap diri menjadi sekolah inklusi, yang mana anak-anak berkebutuhan khusus dapat ikut belajar di kelas reguler bersama teman-teman sebayanya.

Tahun ajaran ini adalah tahun pertama bagi 2 guru di sekolah kami, Ella dan Siti, memiliki seorang murid berkebutuhan khusus dengan guru pendamping (shadow teacher) di kelas 1 SD. Sepanjang tahun ini kami telah banyak berdiskusi tentang menyelenggarakan kelas yang beragam sambil menyaksikan keajaiban-keajaiban kecil muncul di kelas ini. Lepas dari berbagai strategi yang perlu dilakukan guru kelas, saya meminta Ella dan Siti bercerita tentang bagaimana kehadiran teman berkebutuhan khusus memengaruhi teman-teman lain di kelas.

Baca juga : 6 Cara Sederhana Ajarkan Anak Toleransi 

Maya (8) masuk kelas 1 dengan diagnosis Sensory Processing Disorder. Ia amat sensitif pada suara, dan peka pada perubahan emosi yang ditampilkan orang lain. Rentang perhatiannya yang masih pendek membuatnya masih sering keluar kelas, ke toilet maupun melihat kelas-kelas lain. Pelafalan bicaranya belum sempurna, dan Maya belum tahu bagaimana menjalin komunikasi yang wajar dengan teman-temannya.

“Awalnya anak-anak lain masih kaget. Ada teman yang menjauh, ada juga yang menegur kalau Maya tidak mengikuti peraturan kelas,” kenang Ella.

“Kami, guru-gurunya, berusaha melibatkan seluruh kelas untuk belajar menerima Maya menjadi anggota kelas kami. Beberapa kali kami mendiskusikan keadaan Maya dan membahas hal-hal yang bisa kami lakukan untuk membantunya.”

“Perlu waktu 3 bulan untuk membuat anak-anak lain memahami keadaan Maya. Perlu waktu 3 bulan berikutnya untuk membuat anak-anak mulai mengajaknya bermain bersama, bekerja dalam kelompok bersama-sama, bahkan memberi kesempatan Maya bernyanyi solo dalam pertunjukan sekolah,” tutur Ella.

Baca juga : Cara Ini Ajarkan Anak Toleransi di Sekolah 

Seiring waktu, Maya terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan sekolah yang baru. “Tak hanya Maya, seisi kelas pun berkembang pesat,” kata Siti. “Terutama kemampuan sosial-emosional mereka. Anak-anak kelas 1 semakin empatik dan toleran pada perbedaan. Mereka juga lebih asertif saat menyelesaikan konflik. Anak-anak belajar sabar dan percaya pada teman-teman yang berbeda dengannya. Mereka saling menjaga, dan membuat hubungan satu dan yang lain jadi lebih erat,” sambung Siti, bangga.

Membangun kelas inklusi memang bukan hal yang sederhana. Hal utama yang dibutuhkan bukanlah fasilitas atau program khusus, melainkan keterbukaan pikiran dan rasa percaya dari guru, serta dukungan penuh dari pengelola sekolah. Bukan hanya anak berkebutuhan khusus yang akan mendapat manfaat dari kelas inklusi, tetapi juga semua anggota sekolah akan berkembang menjadi pribadi yang toleran dan terbuka pada keragaman. (Lestia Primayanti, kepala Sekolah Kembang, Jakarta)

Foto: 123rf 





 

 

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia