Mengapa Perlu Tumbuhkan Toleransi pada Anak?

123rf
Ketika musim pemilihan presiden di Amerika Serikat lalu penuh dengan isu ras dan agama, meski resah, saya masih bisa berdalih intoleransi itu masih jauh. Namun, dua bulan terakhir, saya tak bisa mengelak juga bahwa isu intoleransi yang muncul seperti puncak gunung es di sosial media adalah sesuatu yang nyata, serius, dan dekat dengan kita. Suatu kali, Santi bercerita tentang anaknya yang berkulit putih dengan mata sipit, selalu duduk di teras rumah mengamati anak-anak sebuah sekolah swasta berdasar agama di dekat rumah berhamburan pulang. Tak ada yang aneh sampai suatu hari Santi tertegun mendengar suara-suara mungil di depan pagar menunjuk pada si kecil Sabrina (3), “Iih, kamu kafir, ya? Kamu nanti masuk neraka, lho!”

Sabrina tentu belum paham. Ia pun tak bertanya kepada Santi, yang tak pula tahu harus menjelaskan dari mana. Rasa khawatir dan tidak aman mulai datang. Namun, Santi paham benar bahwa jika ia, atau kita, diam saja, maka anak-anak kita akan tumbuh di lingkungan yang semakin terkotak-kotak, asing dan curiga satu sama lain, karena intoleransi yang kental.

Senang atau tidak, kenyataannya, kita hidup dalam masyarakat yang semakin beragam. Sebuah pertanyaan basa-basi, “Dari mana (asal Anda)?” barangkali kini semakin rumit dijawab. Bukan hanya tempat tinggal yang bisa jadi berpindah-pindah, bahkan kakek dan nenek kita bisa jadi berasal dari dua budaya yang berbeda.

Mereka yang tidak terbiasa atau tidak terpapar pada keragaman bisa jadi merasa jengah dan ragu. Segala hal yang berbeda atau baru menjadi sering dianggap sebagai ancaman dan menjadi sumber kecemasan yang tidak ada habisnya. Sementara itu, anak-anak kita tinggal di dunia dengan teknologi yang memungkinkan jarak, waktu, dan budaya semakin cair dan berkelidan.

Sebagai orang tua, tugas kita adalah mempersiapkan anak untuk hidup, belajar, dan bekerja dalam komunitas yang akan semakin beragam. Mengajarkan toleransi menjadi penting bukan saja karena Indonesia adalah bangsa yang besar dan beragam, tetapi anak yang tumbuh menjadi orang dewasa yang terbuka pada perbedaan akan punya kesempatan yang lebih luas dalam pendidikan, karier, dan aspek-aspek kehidupan yang lain. Pendeknya, kesuksesan mereka kini dan nanti tergantung pada kemampuannya memahami, menghargai, dan bekerja sama dengan orang lain.

Apa itu toleransi? Kata ‘toleransi’, menurut Unesco, merujuk pada sikap terbuka dan menghormati perbedaan yang ada di antara manusia. Awalnya, konsep toleransi digunakan untuk menghargai perbedaan ras dan agama, namun sekarang penggunaannya meluas pada menghargai gender, orang dengan disabilitas dan perbedaan-perbedaan yang lain. Selain menghargai perbedaan, toleransi juga bermakna mau belajar dari orang lain, menghargai perbedaan, menjembatani perbedaan budaya, menolak sterotipe yang tidak adil, mencari kesamaan dan menciptakan jalinan-jalinan kuat yang baru.

Apakah bersikap toleran berarti kita harus menerima semua perilaku? Tentu saja tidak. Perilaku yang merendahkan dan menyakiti orang lain seperti perundungan (bullying), perilaku melanggar norma dan hukum tidak boleh ditolerir. Toleransi adalah menerima seseorang apa adanya, bukan tentang menerima perilaku yang buruk. Seperti hampir semua agama mengajarkan agar kita memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan.

Mengapa kita perlu menumbuhkan toleransi pada anak-anak ? Ras, agama, suku bangsa, gender, usia, budaya, politik, sosial ekonomi, tempat tinggal, pakaian, bahkan makanan bisa memicu antipati dari orang-orang yang intoleran, orang-orang yang takut pada mereka yang tampak berbeda atau hidup dengan cara berbeda. Secara acak, aksi intoleransi yang semakin nyata telah membuat banyak orang semakin ketakutan dan tidak bahagia. “Pengalaman dan riset pada anak-anak menunjukkan bahwa anak-anak menyadari perbedaan pada orang lain sejak usia dini,“ kata Anne Stonehouse, seorang konsultan anak usia dini dan penulis artikel tentang
toleransi pada anak-anak.

“Apakah itu warna kulit, suara, tekstur rambut, atau bagian penampilan yang lain, anak-anak memperhatikannya, mencoba memahami dan kemudian menerimanya. Intoleransi ditanamkan oleh orang-orang di sekitar anak tanpa disadari. Jika anak tak pernah diajar membedakan, mencela, atau mengutuk orang lain yang berbeda, kemungkinan besar anak-anak akan belajar untuk menerima orang yang berbeda dari mereka. Sebaliknya, anak-anak yang terpapar pada prasangka, dan tak pernah diajari untuk menerima orang lain amat
berisiko tumbuh menjadi orang dewasa yang tidak toleran.

Kemampuan mengelola emosi dan diri sendiri yang amat rendah juga bisa menjadi bibit intoleransi. Sering kali kita menghindari tanggung jawab atau perasaan terluka dan kecewa dengan cara menghakimi atau menyalahkan orang lain, sehingga muncul kebencian dan sikap tidak toleran.  Mengajari toleransi bisa dimulai dengan mengajari anak-anak keterampilan untuk mengelola emosi dan diri sendiri, menumbuhkan rasa cinta kasih dan mau memahami orang lain. Toleransi adalah sebuah topik sensitif yang perlu didiskusikan orang tua kepada anak-anak secara terbuka dan jujur.

Bagaimana cara menumbuhkan toleransi pada anak-anak? Orang tua dapat mengajarkan toleransi melalui banyak hal, namun yang terutama adalah menjadi teladan. Mendiskusikan keragaman dan menghargai sesama membuat anak paham tentang nilai toleransi yang Mama dan Papa ingin tumbuhkan. Beri anak-anak kesempatan langsung untuk bermain dan belajar bersama teman-teman yang beragam. Mereka akan melihat bahwa setiap orang memberi kontribusi yang berarti, serta mengalami sendiri persamaan dan perbedaan di antara mereka.

Penulis: Lestia Primayanti, seorang mama yang berusaha membesarkan Nala (6) dan Matahari (2) dalam keluarga dan lingkungan yang amat beragam.

Baca juga: Hindari Beberapa Hal Ini Saat Ajarkan Anak Agama


Topic

#ToleransiAnak

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia