Penanganan dan Pencegahan Thalasemia



Melahirkan anak dengan penyakit bawaan adalah mimpi buruk bagi setiap orang tua. Begitu pun sang anak. Apalagi, jika jenis penyakitnya sulit disembuhkan dan harus menjalani pengobatan seumur hidup.

Thalasemia salah satunya.

Thalasemia adalah jenis penyakit yang diturunkan dari kedua orang tua kepada anak. Penderita dari penyakit ini mengalami kelainan berupa gangguan pembentukan sel darah merah yang selalu mudah pecah dan kadar hemoglobin (Hb) yang sangat rendah sehingga mengakibatkan anemia kronis.

Bagaimana penanganan dan pencegahan thalasemia?

Baca juga:
Harapan Baru untuk Penyakit Langka

Penanganan Thalasemia
Sampai saat ini, thalasemia memang belum dapat disembuhkan. Penanganan dari ahli kesehatan yang dapat diberikan kepada penderita thalasemia adalah mengupayakan keberlangsungan hidup penderita thalasemia itu sendiri.  

Beredar joke di kalangan penderita thalasemia bahwa mereka adalah vampir sejati. Karena, sepanjang usia, mereka memerlukan transfusi darah secara rutin, jika ingin tetap bertahan hidup dan beraktivitas seperti orang normal.

Menurut dr. Pustika Amalia, SpA(K), dari Divisi Hemato-Onkologi Anak RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang akrab dipanggil Lia, pada umumnya pasien thalasemia memerlukan transfusi antara 2-4 minggu sekali, atau saat kadar hemoglobin sudah mulai rendah, yakni 9-10g/dL. Pemberian transfusi darah bertujuan untuk mencapai kadar hemoglobin 12-13g/dL.

Namun dalam menjalani transfusi darah, tak semulus yang dibayangkan.

Pasien thalasemia kerap mengalami efek samping akibat masuknya darah ke tubuh secara berulang-ulang. Salah satunya adalah penumpukan zat besi dalam tubuh yang menyebabkan kulit penderita thalasemia menghitam, gagal jantung, maupun gagal ginjal.

Untuk mengatasi penumpukan zat besi ini, penderita thalasemia masih harus menjalani terapi kelasi besi dengan minum obat seumur hidup. “Reaksi transfusi darah juga dapat berupa gatal, menggigil, demam, dan syok. Ditambah lagi bisa terinfeksi penyakit seperti hepatitis B, C, bahkan HIV,” kata dr. Lia.

Thalasemia Dapat Dicegah
Meski tidak dapat diobati, thalasemia bisa dicegah. Menurut dr. Lia, caranya adalah dengan mencegah pasangan pembawa sifat thalasemia menikah. 

“Di negara tetangga dan negara maju lainnya, pemerintah mewajibkan  semua penduduknya, terutama anak remaja dan pasangan yang akan menikah melakukan skrining thalasemia. Dan ini dibiayai oleh negara,” ujar dr. Lia. “Apabila ternyata pasangan tersebut pembawa sifat, maka sebelum menikah mereka diberikan nasihat perkawinan.

Jika memilih tetap menikah, pada usia kehamilan 12-16 minggu dapat dilakukan deteksi thalasemia pada janin (diagnosis prenatal), untuk mengetahui kondisi janin, apakah sakit, sehat, atau hanya pembawa sifat saja.

“Jika ternyata janinnya adalah thalasemia mayor, ada beberapa negara yang mengeluarkan kebijakan, boleh melakukan aborsi, dengan catatan usia kehamilan masih di bawah 17 minggu,” kata dr. Lia.

Baca juga:
3 Penyakit Langka Bayi yang Perlu Anda Tahu

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia