Peran Orang Tua dalam Persaingan Kakak Beradik


Psikolog anak, Amelia Hirawan, dalam satu kesempatan menegaskan, ada dua faktor yang memengaruhi perilaku anak, yaitu faktor internal (pembawaan) dan eksternal (lingkungan, orang tua dan keluarga, budaya). Faktor internal ini bersifat potensi, sehingga bila tidak mendapatkan stimulus dari luar, maka lazimnya tetap akan terpendam. “Karena itu, saya cenderung berkeyakinan, bahwa faktor eksternal-lah yang lebih penting,” tandasnya. Ada banyak hal yang dapat dilakukan orang tua, sebagai faktor eksternal terpenting bagi anak. Contoh peran orang tua untuk mengontrol rivalitas:

♥ Orang tua bukan juru damai
Bisa dimengerti bila orang tua ingin segera turun tangan melerai ketika anak bertikai. Namun, ada baiknya kita menahan diri dan memberikan kesempatan bagi anak untuk berlatih menyelesaikan konflik antar mereka sendiri. Kapan orang tua boleh terjun? Tergantung usia anak dan perkembangan konfliknya. Adu mulut itu biasa, biarkan saja. Apabila situasi sudah mulai memanas, orang tua dapat mengingatkan tentang aturan dan batas yang sudah disepakati, kemudian memberikan beberapa opsi penyelesaian masalah dan meminta anak-anak memilih sendiri. Bilamana kondisi berkembang jadi membahayakan, maka kita sebaiknya memisahkan anak yang bertengkar antar keluarga.

Bagaimana pun, anak-anak ini saudara sekandung, tinggal serumah, tiap hari hidup bersama. Semestinya, ada ikatan emosional yang lebih kuat dibandingkan dengan temanbiasa di luar sana. Tugas orang tualah untuk terus-menerus memupuk ikatan kasih sayang tersebut. Terkait dengan hal ini, coba membiasakan anak menyebut nama saudaranya ketika membaca doa sebelum tidur.  Akan lebih baik lagi jika mendoakan saudara, orang tua, juga keluarga atau teman yang disayangi. Dengan cara demikian, secara tidak langsung anak diingatkan, bahwa mereka bersaudara dan saling menyayangi satu sama lain, walaupun kadang berselisih paham.

♥ Tidak memicu rivalitas
Kadang, justru orang tualah penyebab munculnya rivalitas di dalam rumah. Tanpa disadari, bisa jadi kita mengeluarkan kalimat-kalimat yang memaksa anak membandingkan dirinya sendiri dengan saudaranya. Seperti, “Kakakmu bisa, kenapa kamu tidak?” Dhian, mama Damian (9) dan Dimitri (7) mengaku, sebagai anak sulung, orang tua sering menjadikannya teladan bagi adik-adiknya. Belakangan dia mengetahui, bahwa adik-adiknya ternyata tidak menyukai hal itu, dan justru akhirnya memilih melakukan yang sebaliknya. “Tiap anak memiliki potensi masing masing, dan tugas orang tua membimbing dan bantu mengembangkannya,” tutur Dhian.

♥ Adil
“Idealnya, memang orang tua harus berlaku adil,” ujar Amelia. Adil bukan berarti harus sama rata untuk tiap anak, melainkan sesuai porsi kebutuhan masing-masing. Menurut Ajeng, mama Lisa (8) dan Shelly (7) Lisa yang perfeksionis dan kritis sering protes kenapa jatah waktu Mama untuk Shelly (misalnya untuk membantu mengerjakan PR) harus lebih banyak dibandingkan dengan jatah waktunya. “Saya berikan pengertian kepadanya, bahwa memang Shelly lebih memerlukan bantuan, karena kebutuhan khususnya. Setelah itu, Lisa bisa mengerti.” Ajeng juga memiliki jadwal me-time berdua, bersama tiap anak. Tidak perlu kegiatan mewah dan canggih, cukup seperti yang sederhana seperti makan es krim berdua dan ngobrol. Yang penting adalah anak merasa mama sepenuhnya milik dia pada waktu yang berharga tersebut. Lain lagi dengan Dhian, yang selalu konsisten memosisikan dirinya di antara kedua anak, manakala mereka sedang bersama-sama, sehingga tidak ada yang merasa dikesampingkan.

 

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia