Solusi Cegah Bully, Ajarkan Anak Terampil Bergaul


Ketika bicara tentang bullying, kerap kali kita fokus kepada anak-anak yang lebih besar. Maksudnya, bullying lebih mungkin terjadi kepada anak-anak besar. Sebagian orang menganggap sikap agresif pada anak-anak balita bukanlah bullying, melainkan bagian dari perkembangan keterampilan sosial anak yang alami terjadi. Anak yang agresif di usia dini belum tentu akan melakukan bullying. Demikian pula dengan anak-anak yang jadi sasaran perilaku agresif anak lain saat masih balita, tidak bisa dipastikan kelak akan terus-menerus menjadi sasaran bully.

Kendati demikian, banyak hal dalam kehidupan anak di usia dini yang bisa berpengaruh terhadap perilakunya di kemudian hari. Karena itu, tugas orang tua adalah membesarkan anak dengan menumbuhkan nilai-nilai dan karakter baik dalam diri anak.

Salah satu poin penting yang perlu diterapkan yaitu mengembangkan social skill anak, yakni segala keterampilan yang berhubungan dengan pergaulan. Seperti, cara ia berkenalan, menciptakan obrolan, mempertahankan obrolan tetap seru, berbagi, saling tolong-menolong, memotivasi, saling menegur dan memperbaiki saat ada masalah. Ketika mempunyai social skill yang baik, anak akan lebih bisa bergaul, mengurangi risiko dibully.

Dan, sebaliknya, ia juga bisa merasa nyaman di antara teman-teman lainnya, tidak akan menjadi pelaku bullying. Untuk menumbuhkan social skill, sebaiknya sejak kecil anak sudah dibiasakan bertemu dengan banyak orang. Di atas usia 6 bulan, anak mulai pilih-pilih, hanya mau digendong mama, papa, atau orang-orang tertentu yang ia kenal saja. Banyak orang, ketika anak pilih-pilih, justru kemudian ia dibatasi.

Menurut psikolog Anna Surti Ariani, S.Psi., M.si, “Sebetulnya, anak musti belajar mengatasi rasa tidak nyaman itu dan menjalin hubungan dengan orang-orang tersebut. Lakukan ini secara perlahan-lahan. Sering-sering pertemukan anak dengan orang lain, diajak main bersama anak-anak lain.”  Membentuk social skill pada anak berarti juga di dalamnya adalah anak belajar menghadapi konflik dengan temannya.

Sebenarnya, melalui konflik, anak belajar mengenai masalah yang muncul dalam berhubungan dengan orang lain (temannya), mengapa itu terjadi, dan bagaimana menyelesaikannya. Konflik maupun bullying berkaitan dengan social skill. Ketika anak melakukan tindakan agresif kepada seorang temannya, ia seperti sedang melakukan pemetaan bahwa ada orang-orang yang bisa diperlakukan seperti ini, tetapi ada juga yang tidak bisa.

“Ada orang tua yang tak mengizinkan anak main ke luar karena khawatir ia berantem dengan teman. Padahal, ketika menghadapi masalah, anak berkesempatan belajar menelaah hingga menyelesaikan masalah. Misal, waktu main petak umpet, karena ingin buru-buru menang, dia tidak ngumpet, tetapi berdiri di belakang penjaga sehingga bisa langsung ‘tap’. Akibatnya, temannya marah, menuduhnya curang sehingga mereka berantem. Kalau terbiasa bergaul, ia bisa menelaah bahwa harusnya ia bersembunyi, dan akhirnya mengakui bahwa ia salah dan mempelajari kembali aturan mainnya seperti apa,” kata Nina.

Lalu, jika terjadi konflik atau tindakan yang Anda duga bullying, apa yang sebaiknya Anda lakukan? Sebaiknya orang tua tidak langsung mengambil tindakan menyelesaikan masalah. Nina menyarankan orang tua untuk mengajari anak berbicara kepada temannya bahwa dirinya tidak suka diperlakukan demikian. Jika terjadi di sekolah, ajarkan anak bicara kepada guru apa yang terjadi dan bagaimana temannya berlaku terhadap dirinya. “Tidak perlu dibantu dahulu, orang tua di belakang saja. Ajari anak minta saran dari guru, karena biasanya guru lebih percaya, jika anak yang berbicara langsung,” saran Nina.

Mengapa anak yang harus lebih dahulu berbicara dengan pelaku atau melapor kepada guru? “Karena anak harus diberdayakan supaya bisa menyelesaikan masalahnya sendiri,” tegas Nina. Selain itu, kalau pelaku tahu anak selalu di-back up orang tuanya, maka ketika orang tua tidak ada, anak akan lebih rentan di-bully. Jadi, akan lebih berisiko jika orang tua sedikit-sedikit membantu anak saat menghadapi masalah dengan temannya.

Tetapi, bukan berarti Anda lepas tangan. Ada saatnya Anda perlu bertindak, seperti melapor kepada guru atau kepala sekolah. Lakukan ketika anak sudah mencoba menyelesaikan sendiri masalahnya, tetapi tidak berhasil, atau perilaku bully masih terus terjadi. Orang tua juga harus terjun bertindak, jika perilaku bully makin kasar dan sudah menjadi semacam budaya (banyak anak yang mengalami hal itu).

Selain kepada pihak sekolah, sebenarnya antar orang tua juga bisa saling berbicara. “Anda bisa berbicara kepada orang tua pelaku bullying, tetapi tidak dengan menyalahkan. Maksudnya adalah untuk sama-sama mencari solusi. Hindari memaksakan pendapat,” saran Nina. Nah, tak sedikit orang tua, karena geram dan bermaksud melindungi anak, menyasar langsung pelaku bullying. Nurma, mama dari Bea, pernah mendatangi dan menegur Risa yang berkonflik dengan anaknya. “Saya mengatakan, saya tahu apa yang ia lakukan kepada anak saya dan menegur ia untuk tidak melakukan hal itu lagi,” katanya.

Fitri, mama dari Timmy, juga pernah menegur Anjani yang selalu tidak mau duduk bersebelahan dengan Timmy saat istirahat makan bersama di sekolah. “Ia selalu mengusir Timmy, padahal anak saya ingin berteman dengannya. Saya kesal. Saya bilang saja ia tidak boleh seperti itu dan mengizinkan Timmy duduk dengannya, apalagi jika sudah tidak ada lagi kursi tersisa,” kata Fitri.

Nina tidak setuju orang tua langsung menegur teman anak. “Tidak bisa kita seperti itu karena itu urusan anak, bukan orang tua. Kadang-kadang, yang terjadi bisa sebaliknya. Anak kita yang nge-bully, temannya balik marah, lalu anak kita lapor kepada kita. Tak jarang, kita sebagai orang tua terlalu emosi. Kita juga bisa melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya, tanpa kita sadari.

Di beberapa sekolah, sudah ada sistem yang menghambat orang tua ngomong ke anak lain. Kalau anak bermasalah, anak diberi ruang untuk menyelesaikan sendiri masalahnya, atau orang tua bicara dengan orang tua, atau orang tua bicara kepada guru/ kepala sekolah. Setiap orang tua sebaiknya bicara kepada anak masing-masing, atau guru kepada murid,” papar Nina. (foto: 123rf)

Baca Juga: Efek Negatif Bullying pada Anak

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia