Anak Sering Bertanya Banyak Hal? Ini Cara Jawabnya!

Saya selalu saja kehabisan akal menghadapi pertanyaan-pertanyaan aneh yang terlontar dari anak-anak saya. Seperti waktu putri saya, kala itu berusia 5 tahun, bertanya mengapa boneka babi kesayangannya tidak punya penis. Padahal itu boneka babi jantan, kan? Saat itu, betapa jelas keterbatasan saya dalam memberikan jawaban yang memuaskan.

Hampir tiap hari saya selalu dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang bikin puyeng seperti itu, biasanya ketika saya sedang sibuk menyiapkan makan malam atau menyetir mobil. Apa makanan tikus got? Kenapa ibu punya nenen tapi ayah tidak? Setelah duapuluh-belas, ada angka berapa?

Terima sajalah. Kalau sudah bersama anak-anak, nyaris tidak ada topik yang tidak dibahas. Dan meski saya tak bisa menjawab soal duapuluh-belas (atau, soal kebiasaan makan tikus got), saya menemukan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang mungkin pernah Anda lontarkan.

Kok, anak bertanya terus, sih?

Mereka tengah berusaha memahami dunia yang cukup mengherankan di mata mereka, jelas Carol Faulkner, Ph.D., psikolog anak di Bradley Hospital di Providence, AS. “Anak kecil itu tak ubahnya orang dewasa di negara asing,” katanya. “Mereka punya berbagai pengalaman dan sensasi baru setiap hari. Terkadang menyenangkan, tapi kadang juga membingungkan.”

Pertanyaan yang terus-menerus mengalir menunjukkan bahwa anak Anda tengah berkembang. Jenis pertanyaan-pertanyaan yang kemungkinan ia ajukan juga berhubungan dengan usianya.

Usia 2 tahun: Pemahaman bahasanya sedang berkembang, dan seringkali ia akan mengajukan pertanyaan yang bersifat mengidentifikasi sesuatu: “Itu apa?” Jawaban Anda akan memperkaya kosa katanya.

Usia 3 tahun: Seiring perkembangan otaknya, pertanyaannya juga akan berkembang ke “Mengapa” atau “Kenapa”. “Kenapa malam itu gelap?” Di usia ini, jawaban Anda membantunya memahami apa yang ia alami.

Usia 4 tahun ke atas: Ia mulai menyadari ada dunia di luar pengalaman sensoriknya sendiri (misalnya, zaman dulu pernah ada dinosaurus, meski sekarang sudah tidak ada lagi). Jadi, ia akan berkembang ke pertanyaan-pertanyaan yang lebih kompleks, seringkali didasarkan pada bagaimana mekanisme kerja segala sesuatu: “Bagaimana mobil bisa berjalan?”

Bagaimana saya harus menjawab ketika saya bingung?

Jenis pertanyaannya mungkin bisa ditebak, tapi pertanyaan-pertanyaannya sendiri tentu tak bisa ditebak. Dan seberapa pun pintarnya Anda, anak Anda akan menanyakan sesuatu yang tak bisa Anda jawab.

Ketika Kenneth Martin dari Chicago masih 4 tahun, ia banyak sekali bertanya soal listrik. Misalnya, bagaimana cara kerjanya. Masalahnya, ayahnya, Drew, memang tahu. Tapi tidak terlalu banyak. Jadi tiap kali Kenneth mengajukan pertanyaan yang aneh, Martin akan bertanya balik, “Kamu mau jawaban ‘ilmiah’ atau ‘imajinasi’?” Kenneth harus menduga-duga apakah ayahnya menjawab dengan benar ataukah sekadar  ‘mengarang indah’.

Permainan-permainan seperti ini boleh saja, kata Faulkner, asalkan anak Anda tahu Anda sedang main-main dan nanti akan membantunya mencari jawaban yang benar. Mungkin dengan pergi ke perpustakaan atau mencari di situs Google. Upaya tindak lanjut ini biasanya penting bagi anak yang sudah lebih besar, yang mungkin memang benar-benar menginginkan—dan memahami—jawaban yang rinci.

Anda juga bisa berkata “Aku tidak tahu, tapi kita bisa cari tahu nanti.” Itu yang saya lakukan ketika Zoe, 5, bertanya pada saya, “Kenapa pohon bisa tetap tumbuh sepanjang hidupnya, tapi aku tidak?” Saya menemukan jawabannya lewat internet—dan membantu Zoe menelepon kakeknya, yang kebetulan seorang ilmuwan.

Bagaimana cara menjawab pertanyaan yang sebenarnya ingin saya hindari?

Seiring pertumbuhan mereka, kebanyakan anak menambahkan pertanyaan yang kelihatannya dewasa dalam daftar pertanyaan mereka—misalnya, di usia 2 tahun, banyak anak mulai mengajukan pertanyaan tentang bagian tubuh, terutama jika mereka punya saudara yang berjenis kelamin lain. Di usia prasekolah, mungkin mereka bertanya tentang perut ibu hamil: “Bagaimana bayinya bisa masuk ke situ? Nanti keluarnya gimana?” Padahal, baru ketika masuk SD kebanyakan anak akan mulai bertanya-tanya tentang proses terbentuknya bayi.

Jadi, yang semestinya Anda lakukan, berapa pun usia anak Anda, adalah menjawab pertanyaan spesifik tersebut (dengan tenang, sehingga anak Anda tahu Anda bisa menjadi sumber informasi yang baik tentang hal ini). Selanjutnya secara bertahap tawarkan detil-detil yang makin banyak ketika anak Anda semakin besar.

Irwina dari Jagakarsa memulai dengan jawaban sederhana ketika putrinya, Leana, 4 tahun, bertanya, “Bagaimana bayi akan keluar dari perut Tante Dina?” Irwina sempat berpikir lama sebelum akhirnya memberikan jawaban, “Dokter yang nanti akan membantu bayi Tante Dina keluar.” Jawaban itu rupanya masuk akal bagi Leana, sehingga dengan segera pertanyaannya beralih ke pertanyaan lain yang lebih mudah, “Apakah bayi itu akan menangis?” “Makanan dede bayi itu seperti apa?”
Julie Tutt, ibu 4 anak di Barrington, Rhode Island, bercerita, suatu pagi ia pernah hampir pingsan ketika putranya, Ethan, 4 tahun, berteriak memanggil dari kamar mandi, “Mama, kenapa ini berdiri begini?” Dengan suami sedang di kantor dan kedua putrinya yang lebih besar dari Ethan turut menyimak, Tutt menjelaskan bahwa Ethan sedang ereksi dan itu bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Ia menambahkan, “Kamu lari-lari saja sebentar di sini, nanti juga turun sendiri, kok. Setelah itu, kamu bisa ke toilet.” Ethan, merasa puas, menuruti nasihatnya.
Jawaban Tutt bagus, kata Faulkner. Anak-anak seringkali butuh solusi, bukan sekadar penjelasan.

Bisakah saya menghentikan semua pertanyaan itu?

Suatu malam, ketika sedang menyiapkan makan malam, saya terlibat percakapan ini dengan anak saya: “Eh, masakannya ayam ya, Ma?” Lalu langsung disusul pertanyaan: “Ayamnya mati?” (Iya.) “Siapa yang membunuh, Mama ya?” (Astaga. Tentu saja bukan.) “Lalu kenapa bisa mati?” (Mungkin karena memang sudah waktunya mati? Mama nggak tahu, tuh.) “Itu ayam laki-laki apa perempuan?” (Yang membuat saya bertanya pada suami: Kita bisa makan ayam jantan juga, atau semua ayam yang bisa dimakan itu ayam betina, sih?) “Apa mama dan papanya nggak kangen sama ayam ini?” (Saya tidak menjawab.) “Aku boleh minta dua potong?” (Tentu saja!) “Nanti ayamnya kita kubur di kuburan, nggak?” (Ayam tidak dikubur di kuburan, sayang.) “Kenapa? Orang kan, dikubur di kuburan, kenapa ayam tidak? Apa perut kita kuburan ayam? Aku nggak mau jadi kuburan ayam!”

Terkadang, sesabar dan sesayang apa pun Anda, ada kalanya Anda tak tahan lagi. “Sebetulnya bukan soal pertanyaannya,” kata Mariska dari Pondok Indah. “Tapi rentetan pertanyaan yang terus menerus, dengan pertanyaan-pertanyaan yang seringkali diajukan berulang-ulang itu, lho, yang bikin saya pening. Sekali dua kali, sih, masih oke, tapi kalau sudah terus-terusan, hih, akhirnya jengkel juga,” lanjutnya.

Mengurangi hujan pertanyaan sebenarnya mudah saja, kok. Anda bisa berkata, “Oke, pertanyaan sampai di sini saja, ya.” atau “Bagaimana kalau kita simpan pertanyaanmu buat besok sebelum tidur? Oke?” (Untungnya, anak Anda mungkin sudah lupa besok malam.)

Lalu cari solusi: ketika anak menghujani Anda dengan pertanyaan, anggap hal itu sebagai aksinya minta perhatian. Jika Anda dapat menghentikan apa pun yang sedang Anda kerjakan untuk bermain atau mengobrol sebentar dengan si kecil, Anda mungkin bisa mengurangi rentetan pertanyaannya.

Pilihan lain: Coba alihkan si kecil untuk melakukan aktivitas yang bisa ia lakukan sendiri. Ia akan menyibukkan diri dengan sesuatu yang ia yakin dapat dilakukannya, sementara Anda juga bisa beristirahat sejenak, dan mengumpulkan energi lagi untuk hujan pertanyaan berikutnya. 

PAR 0208

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia