Cegah Penularan Virus Pneumokokus




Infeksi yang disebabkan virus pneumokokus adalah penyebab angka kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) yang tinggi pada anak-anak di seluruh dunia. Berdasarkan data epidemologis dari WHO, infeksi pneumokokus menyebabkan lebih dari 1 juta kematian anak-anak (berusia di bawah 5 tahun), terutama di negara berkembang.Bahkan saat ini, dari sekitar 25 juta balita di Indonesia, sebagian besar berpotensi terkena serangan virus tersebut.
 
Apa itu pneumokokus?
Sampai saat ini sebagian besar masyarakat belum mengenal dan memahami penyakit invasive pneumococcal disease (IPD) pada anak, khususnya yang berumur di bawah dua tahun. Padahal, penyakit ini bisa mengakibatkan kematian dan kecacatan.

Streptococcus pneumoniae atau pneumokokus adalah bakteri yang biasa hidup (berkolonisasi) pada saluran pernapasan, sinus, dan rongga orang dewasa (5-30%) juga anak yang sehat (20-50%).

Bakteri pneumokokus ini akan sangat berbahaya, jika sampai masuk ke aliran darah, apalagi jika imunitas tubuhsedang mengalami kemunduran. Dampaknya, pasien akan mengalami infeksi IPD, seperti meningitis (radang/infeksi selaput otak), infeksi di dalam darah (bakteremia), dan sepsis (kelanjutan bakteremia berupa peradangan di seluruh tubuh).

Selain itu, juga ada dampak lokal (noninfasif), seperti  pneumonia (radang/infeksi paru), sinusitis (radang sinus), otitis media (radang telinga tengah), dan konjungtivitas (radang mata).
 
Yang paling berisiko
Menurut Centers for Deseases Control and Prevention (CDC) AS, kebanyakan penderita penyakit yang disebabkan pneumokokus tergolong sangat muda (berusia di bawah 2 tahun, di mana kekebalan tubuh mereka belum sempurna) dan sangat tua (lansia), serta penderita imunodefisiensi. Meskipun penyakit pneumokokus memuncak pada anak usia 12 bulan, kasus meningitis mungkin mulai terjadi dari usia 2 bulan.

Secara khusus, kolonisasi tertinggi terdapat pada balita yang tinggal di panti atau dititipkan di tempat penitipan anak, dan bayi yang tak mendapat ASI.Sedangkan pada anak atau orang dewasa, umumnya terdapat pada pasien yang mengalami infeksi virus berulang pada saluran napas atas, perokok pasif, penderita HIV/AIDS, dan orang dengan penyakit kronis (jantung, paru, asma, diabetes, hati, kanker). Bakteri ini sendiri banyak terdapat di negara dengan empat musim dan beredar di musim dingin.
 
Proses penyebaran
Bakteri ini menyebar di udara (airborne disease) melalui cairan/lendir hidung dan tenggorokan ketika si anak bersin dan batuk. Saat bersin atau batuk itulah, jutaan partikel air liur yang sangat kecil terlontar dengan kecepatan 100 meter per detik. Partikel tersebut umumnya berdiameter sekitar 10-100 mikrometer, dan kemudian berubah menjadi partikel yang lebih kecil lagi (droplet nuclei) berukuran 1-4 mikrometer dan berisi virus atau bakteri.

Itulah sebabnya, lokasi potensial bagi penyebaran bakteri IPD ini adalah interaksi terus-menerus antara anak dan manula yang mengidap penyakit, interaksi antarbayi dan anak di tempat umum, tempat penitipan anak dan kelompok bermain (playgroup), serta anak-anak panti asuhan.
 
Gejala
Gejala IPD di antaranya napas cepat, sesak, nyeri dada, menggigil, batuk, dan demam dengan masa inkubasi 1-3 hari. Gejala otitis media antara lain nyeri telinga, gendang telinga merah dan bengkak, demam, rewel, dan gangguan pendengaran sementara. Otitis media cenderung terjadi berulang pada masa bayi dan kanak-kanak dan memungkinkan anak mengalami gangguan pendengaran menetap dan mengalami keterlambatan bicara.

Gejala bakteremia pada bayi kadang-kadang sulit diketahui karena di awal serupa dengan infeksi virus biasa, seperti bayi menderita demam tinggi dan rewel terus-menerus diikuti dengan/tanpa infeksi saluran pernapasan.

Sementara meningitis menunjukkan gejala, seperti demam tinggi, nyeri kepala hebat, mual, muntah, diare, leher kaku, dan takut pada cahaya (photophobia). Selain itu bayi juga tampak rewel, lemah dan lesu (letargik), menolak makan dan pada pemeriksaan teraba ubun-ubunnya menonjol, dapat terjadi penurunan kesadaran dan kejang.
 
Dampak
Pada kasus-kasus meningitis, kematian akan menyerang 17% penderita hanya dalam kurun waktu 48 jam setelah terserang. Kalaupun dinyatakan sembuh umumnya meninggalkan kecacatan permanen, semisal gangguan pendengaran dan gangguan saraf yang selanjutnya memunculkan gangguan motorik, kejang tanpa demam, keterbelakangan mental, dan kelumpuhan.
 
Diagnosis dan pengobatan
Diagnosis dan pengobatan dini sangat penting untuk penyakit pneumokokus invasif. Namun pengobatan harus disesuaikan dengan hasil diagnosis. Dalam kasus ringan, pemeriksaan fisik dan antibiotik dapat membantu mencegah penyakit parah. Namun jika diduga penyakitnya berat atau invasif, diperlukan pemeriksaan laboratorium (sampel cairan/darah serebrospinal).Ini penting untuk mengkonfirmasi keberadaan bakteri, mengidentifikasi jenis bakteri tertentu yang menyebabkan infeksi, dan memutuskan antibiotik mana yang paling sesuai.

Sama seperti penyakit lainyang disebabkan oleh bakteri, pneumonia sebenarnya mudah diobati dengan antibiotik. Namun seiring perjalanan waktu, bakteri ini menjadi kebal terhadap beberapa jenis antibiotika (penisilin, misalnya) sehingga pengobatan dengan cara itu menjadi kurang efektif. Terlebih, jika penyakit yang diderita pasien tergolong berat.
 
Cegah dengan vaksinasi
Maka untuk mengurangi angka kematian yang sangat tinggi akibat bakteri ini (2 juta balita per tahun, melebihi angka kematian akibat AIDS, malaria dan campak), pemberian vaksin sejak dini menjadi salah satu carapaling optimal untuk mengantisipasi penyakit lanjutan yang disebabkan bakteri pneumokokus.

Selain dapat mencegah kecacatan dan kematian pada anak yang terinfeksi, bahkan vaksin pneumococcus dapat juga mengurangi terjadinya penularan dari bayi terhadap dewasa.

Vaksin penumococcus diberikan mulai usia 2 bulan, dilakukan 2-3 kali selang 1-2 bulan, bergantung produk mana yang dipakai dan kemudian diulang saat usia di atas 1 tahun (demonstration project sedang dilakukan di Indonesia mulai tahun ini di beberapa provinsi).

Sebuah studi klinis di California Utara mengatakan, vaksin pneumokokus yang diberikan memiliki tingkat efektivitas hingga 99% dalam mencegah bayi terkena IPD. Dalam studi tersebut juga diketahui, jumlah bayi penderita IPD berkurang 78% setelah pemberian vaksinasi di usia bayi kurang dari 2 tahun.

Oleh karenanya, sejak itu, vaksinasi pneumokokus direkomendasikan sebagai vaksin rutin yang diberikan pada balita dengan usia di bawah 2 tahun, dimana dosis yang diberikan berbeda-beda, tergantung usia balita saat pertama kali mendapat vaksin.

Baca Juga:
16 Vaksinasi Yang Wajib Anda Ketahui

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia