“Aku marah”

Ketika Jack (6 tahun) secara tak sengaja menyikut Ben (4 tahun) sampai terjadi ‘pertumpahan darah’ dan banjir air mata, anak-anak beralasan bahwa mereka hanya main-main. Jika mereka sedang bermain, maka harus ada yang jadi “Si Penjahat”. Dan di rumah kami, itu artinya akan ada yang terluka. Saya tidak tahu dari mana mereka belajar saling pukul sampai berdarah-darah begitu. Saya berusaha sekuat tenaga melindungi mereka dari dampak buruk pistol-pistolan, olahraga-olahraga kasar, mau pun adegan kekerasan di TV. Saya berusaha membesarkan anak yang saling rangkul, bukan saling pukul. Memang ada saat-saat di mana anak-anak saya bermain dengan manis. Tapi, meski yang saya beli adalah balok-balok mainan, bukan panah serta busur, kadang-kadang mereka tetap agresif. Ternyata bukan hanya mereka yang begitu, lho.

“Anak laki-laki saya mengubah apa saja, mulai dari gabus sampai Lego, jadi pistol-pstolan,” tutur Colleen Hendrzak dari Middlesex, New Jersey, tentang anaknya, Jack (2 tahun). “Padahal di rumah kami tidak ada mainan pistol-pistolan. Suami saya juga bukan pemburu. Saya tidak tahu dari mana obsesinya itu,” ujar Hendrzak.

Apakah ketertarikan semacam itu berarti seorang anak akan tumbuh menjadi tukang gertak, atau lebih parah lagi? Belum tentu, kata Malcolm Watson, Ph.D., dosen psikologi Brandeis University, Waltham, Massachusetts. “Semua anak normal sesekali pasti bermain agresif,” ujarnya. Tapi, hal itu bukan berarti mereka akan jadi pembunuh berdarah dingin.

Bahkan, bermain agresif sebenarnya dapat membantu mereka belajar bersosialisasi dan memecahkan bermacam masalah,” ujarnya. Ingin tahu rasanya menjadi orangtua dari seorang anak dengan temperamen penuh semangat dan mengejutkan? Jadilah ibu dari anak berusia dua tahun. Anak berusia 24 - 32 bulan adalah salah satu makhluk paling agresif di planet ini—sering memukul, menendang, menggigit, menarik, mendorong, dan melempar barang-barang.

Mereka bukannya nakal—mereka hanya frustrasi karena tidak punya kendali, kekuatan, atau kemampuan untuk mengatakan apa yang mereka inginkan. Di usia 3 tahun, sebagian besar anak sudah punya pemaham-an dan penguasaan bahasa yang mereka butuhkan, sehingga mereka tak perlu lagi meledak-ledak sesering sebelumnya.

Sesekali anak-anak usia prasekolah akan memperlihatkan amarah yang wajar—yang disertai tangisan, teriakan, serta hentakan kaki. Bahkan masih tetap wajar jika anak Anda kadang-kadang menyerang dengan cara lain. Ini terjadi karena anak-anak biasanya tidak bisa belajar cara bertingkah-laku yang benar sebelum mereka belajar cara yang salah. Ini, seharusnya, jadi kabar baik bagi Kania dari Cibubur, yang khawatir putranya, Patrick, memiliki tanda-tanda sifat kekerasan.

Setiap kali si 4 tahun itu mengenakan kostum Power Rangers-nya—lengkap dengan pedang-pedangan, ia akan berkeliling rumah dan menganggap semua orang sebagai penjahat yang harus dilawan. Kalau kakaknya, Joseph (6 tahun), ‘melawan’, mereka akan bertarung dengan pedang masing-masing,” kata Kania. Ini dia fakta yang menenangkan: pura-pura berkelahi bukan hanya hal yang normal, tapi juga menjadi cara yang baik untuk belajar bersikap tidak keterlaluan.

“Begitu anak melampaui batas ketika sedang pura-pura berkelahi dan ‘lawan’ mulai menangis, ia sudah belajar bahwa itulah saatnya untuk berhenti,” kata Richard Tremblay, Ph.D., direktur Centre of Excellence for Early Childhood Development di University of Montreal, yang sudah 20 tahun mempelajari agresivitas anak. “Jika tidak pernah pura-pura berkelahi, maka anak tidak akan pernah tahu di mana batasnya,” jelasnya. Bila Anda memperhatikan anak ketika sedang mengangkat pistol-pistolannya, Anda akan melihat mainan itu membuatnya menembak, berlari, berteriak, berpura-pura, meniru tokoh pahlawan (seperti polisi atau Superman), dan bersenang-senang. Ini cara yang sehat baginya untuk menyelami dan mengekspresikan perasaannya (dan berolahraga!).

Tetapi, Anda perlu menyeimbangkan pesan-pesan a la buku komik itu. Misalnya, kalau anak Anda membuat boneka Batman-nya menghajar Mr. Freeze, tanyakan mengapa Mr. Freeze harus dibunuh. Sarankan, daripada dibunuh lebih baik Batman membawa Mr. Freeze ke penjara saja agar mendapat hukuman yang setimpal. Mengemukakan alternatif akan membantunya melihat bahwa dalam kehidupan nyata, selalu ada pilihan lain yang bisa dimanfaatkan. Mengajarkan empati juga bisa membantu seorang anak mengubah tingkah laku sosial negatifnya—seperti suka memerintah dan menggertak—menjadi tingkah laku yang dapat diterima. Misalnya, bermain bersama teman-teman sekolah saat istirahat dan memperhatikan perasaan mereka.

Begitulah cara Claire Patrick (10 tahun), menjadi pahlawan bagi teman sekelasnya yang tinggi dan pemalu. Padahal, temannya itu dulu sering diganggunya di sekolah mereka di Arlington, Virginia. Ketika tingkah Claire mulai memancing perkelahian, para guru, pembimbing, dan orangtua Claire turun tangan.

Saat itulah Claire tahu, teman yang sering diganggunya itu sudah yatim-piatu, dan dibesarkan oleh kerabatnya. Mereka juga membantu Claire memahami bahwa alasan ia mengganggu temannya itu adalah karena Claire waktu itu masih murid baru, dan sedang berusaha cari perhatian. “Setelah itu, Claire mengundang teman yang biasa diganggunya itu makan bersama dia dan teman-teman lainnya,” ujar salah seorang gurunya.

SAAT AGRESI KELEWAT BATAS
Tapi, ada kalanya juga amukan si kecil sudah kelewat batas, dan menasihatinya dengan tegas tidak akan menyelesaikan persoalan. Mungkin dia memang tidak sengaja memukul temannya dengan mainan, atau terlalu keras berebut Barbie sampai kepala boneka itu copot. Leslie Ann Marcantel dari Deweyville, Texas, mencemaskan watak putranya. “Kalau kemauan Joe Ray (3 tahun) tidak dituruti atau bangunan Lego-nya tidak pas, ia bukan cuma marah. Seringkali dia mengamuk atau memukul dinding,” tuturnya. Memang, sulit sekali bagi para mama ketika menghadapi sikap agresif anak-anaknya. Apalagi kalau itu sampai melukai orang lain. Julie Merchese dari Vernon Hills, Illinois, terkaget-kaget ketika dalam sebuah pertandingan bola bisbol ia melihat Michael, waktu itu masih 4,5 tahun, berdiri di atas sebuah bukit kecil, mengincar temannya. “Michael merangkul anak itu dan berusaha menjatuhkannya ke bawah bukit,” kenang Marchese. “Saya lari menghampirinya dan menanyakan apa yang sedang ia lakukan. Michael hanya mengangkat bahu dan berkata, ‘Habisnya aku diganggu’. Saya khawatir dan bingung, apa yang membuatnya begitu. Kakaknya tidak berulah seperti itu,” ujarnya.

Sebagian besar anak berhenti pura-pura berkelahi bila waktu bermain sudah habis. “Begitu anak-anak menanggalkan kostum mereka (ini kiasan), mereka bukan lagi orang yang ‘kejam’. Tapi sayangnya, beberapa anak tidak mau atau tidak mampu melepas ‘kostum’ mereka,” ucap Michele Borba, ibu tiga anak yang juga penulis Don’t Give Me That Attitude! Para periset mengatakan faktor genetika turut berperan, tapi lingkungan seorang anak cenderung menentukan bagaimana “gen-gen jahat” mempengaruhi tingkah-laku mereka. Memang, anak yang agresif cenderung memiliki kontrol diri yang jelek dibanding anak-anak yang wataknya lebih halus. Dan anak-anak yang agresif ini lebih kecil kemungkinannya untuk mengerti bahwa memukul dan menendang bukanlah cara terbaik untuk mengekspresikan diri—khususnya jika ia terpancing, stres, melihat kekerasan di TV dan video game, mengalami tindak kekerasan di rumah atau di lingkungan sekitarnya, atau sekadar kurang tidur.

Namun, indikator terpenting untuk mengetahui apakah seorang anak akan bertindak agresif adalah keluarganya. "Semakin banyak hukuman fisik yang diberikan, semakin banyak konflik, ketegangan, dan komunikasi buruk antara kedua orangtua dan anggota-anggota keluarga lain, semakin agresif si anak," kata Watson. Jika temperamen si anak terus meledak—baik di rumah maupun saat bermain dengan kawan-kawannya, pasti akan timbul masalah. Bagi anak-anak seperti ini, dorongannya adalah kemarahan, bukan permainan. Beberapa orangtua cenderung membiarkan anak-anak mereka bertingkah agresif. Mereka menganggap hal ini sebagai cara yang baik bagi anak-anak untuk menyalurkan emosi.

“Padahal, yang terjadi justru sebaliknya. Karena sekali tersulut, bisa butuh waktu 20 menit untuk menenangkannya,” kata Patrick Tolan, Ph.D., Direktur Institute for Juvenile Research, University of Illinois, Chicago. Sebuah penelitian baru-baru ini menunjukkan, anak dan remaja yang suka bermusuhan 300 persen lebih berpeluang mengalami masalah kegemukan, resisten terhadap insulin, kadar kolesterol tinggi, dan darah tinggi.

Untuk menenangkan tingkah-laku agresif, cobalah cari titik permasalahan di balik amukannya. Jika kemarahannya hanya muncul di rumah, cobalah mencari apa pemicunya. Mungkin anak Anda merasa kesibukannya terlalu padat atau dia tengah menghadapi perubahan hidup yang cukup besar, misalnya pindah rumah. Jika sikap agresifnya lebih banyak muncul di sekolah, bicaralah ke gurunya. Mungkin ia menghadapi masalah di sekolah. Misalnya, sering diganggu teman atau mengalami kesulitan dengan tugas-tugas sekolah. Atau, tanyakan langsung pada si kecil apa yang membuatnya terganggu.

Jika Anda dapat melakukan hal ini tanpa mengkritisinya, ia akan menghargai kesediaan Anda untuk mendengarkan. Anda juga perlu menentukan batasan. Jelaskan bahwa perilaku agresif, khususnya perilaku yang dapat menyakiti orang lain, tidak dapat diterima.  Tunjukkan pada anak cara yang tepat untuk menghadapi rasa frustrasinya—mengambil nafas dalam-dalam, keluar ruangan, atau tidur-tiduran di tempat tidur—dan memecahkan masalah sendiri. Anda juga harus memperhatikan kontak anak terhadap film, musik, dan game video atau komputer dengan muatan-muatan yang meragukan.

Tapi jangan panik bila anak Anda sesekali kedapatan menonton film yang berdarah-darah atau bermain video game Spider-man. Menyaksikan kekerasan memang bias dikaitkan dengan perilaku agresif, tapi bukan satu-satunya penyebab. Yang lebih penting adalah bahwa Anda berkomunikasi dengannya tentang pesan-pesan yang mungkin disampaikan dari film-film dan game seperti itu, dan mengingatkannya bahwa ada cara lain untuk mengatasi situasi serupa dalam kehidupan nyata. Anda mungkin akan takjub melihat betapa perubahan kecil sekali pun dapat menghasilkan perbedaan besar. Pikiran anak-anak yang sedang tumbuh menyerap segala hal yang ada di sekeliling mereka, dan dengan pengertian dan bimbingan yang tepat dari Anda, si pemarah cilik yang paling keras sekali pun bisa belajar untuk bersikap lebih lembut. ? -

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia