Benarkah Karier Ibu Mentok Setelah Punya Anak?




Pernahkah Anda mendapat curhatan dari teman bahwa setelah punya anak, karier perempuan biasanya jalan di tempat atau bahkan terhenti? Atau, justru Anda sendiri mengalaminya? Apa penyebabnya?
 
Vanessa LoBue, Ph.D., asisten profesor psikologi di Rutger University, New Jersey, AS menceritakan pengalaman kariernya. Dulu, ia mengambil jurusan psikologi yang merupakan salah satu jurusan populer di universitasnya. Jurusan tersebut didominasi oleh perempuan. Hal yang sama terjadi saat ia melanjutkan ke program pascasarjana di jurusan yang sama.
 
“Jadi secara alami, ketika saya mendapat pekerjaan sebagai profesor psikologi, saya pikir saya memiliki banyak rekan wanita. Ternyata tidak. Bahkan, ketika saya dipekerjakan, dari 16 profesor di departemen saya, hanya 4 dari mereka yang perempuan,” ceitanya. Vanessa juga membagikan bahwa ia tak jarang duduk di rapat fakultas sebagai satu-satunya perempuan. “Di mana semua perempuan itu?” pikir Vanessa mengenang teman-temannya semasa kuliah.
 
Pandangan di Masyarakat
Berkaca dari pengalaman sebagian teman perempuannya yang mengalami kemandekan karirr, Vanessa menyebut bahwa itu bukanlah satu-satunya. Sebagai psikolog yang juga kerap menjadi konselor pengasuhan bagi orang tua, ia menjumpai bahwa banyak ibu mengalami kemandekan karirr setelah memutuskan untuk berkeluarga dan terutama ketika memiliki anak.
 
“Salah satu alasan potensial untuk ketidakseimbangan ini adalah bahwa kandidat laki-laki lebih mungkin untuk dipekerjakan daripada perempuan,” ujarnya. Ia mengatakan hal ini bersumber dari pandangan bahwa laki-laki dinilai lebih kompeten daripada perempuan. “Bahkan jika resume mereka identik, dan, pada kenyataannya, mereka biasanya ditawari gaji lebih tinggi untuk melakukan pekerjaan yang sama,” ujarnya.
 
“Perempuan seperti saya lebih kecil kemungkinannya untuk dipromosikan ketika sudah memiliki anak bila dibandingkan dengan laki-laki,” imbuhnya. Bahkan, ia juga menyebut bahwa perempuan dengan gelar akademis juga tetap memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk tetap bekerja setelah memiliki anak daripada laki-laki.
 
Bukan karena Tidak Mampu
Hal ini menurut Vanesa terjadi bukan karena perempuan tidak memiliki kemampuan di bidang kariernya. Namun, masyakarat kita masih menganggap perempuan memiliki beban pengasuhan anak yang membuat mereka akan kurang optimal dalam bekerja—karena harus membagi fokus.
 
“Salah satu alasan terbesar adalah alasan yang jelas: perempuan biasanya menanggung sebagian besar beban pengasuhan anak,” terangnya. Vanesa juga menyebut bahwa hal yang sama juga berlaku bagi pasangan yang awalnya memiliki pekerjaan dan beban kerja yang sama. Setelah memiliki anak, istri akan memikul beban pengasuhan lebih banyak di rumah sehingga memberikan batasan baginya untuk melakukan aktivitas di luar rumah, termasuk berkarir.
 
Menurut Vanesa, antara bekerja dan mengasuh anak tidak bisa dinilai dengan jenis kelamin. Harusnya, perempuan diberi kesempatan yang sama. Karena, bagaimana pun, perempuan akan membagi peran antara mengasuh anak dengan menjalani karier dengan sama-sama optimal.
 
Perusahaan harusnya mulai memahami bahwa mereka tidak bisa bias dalam melakukan promosi pekerjaan. Seharusnya, mereka juga mulai membuat kebijakan yang ramah ibu, seperti waktu untuk memompa ASI, cuti orang tua yang tidak hanya bisa diberikan pada ibu—tapi juga untuk ayah—dan berbagai kelenturan lain yang membuat seorang perempuan tidak mandek dalam berkarier setelah punya anak.
 
Baca juga:
Perasaan Bersalah Ibu Bekerja Pemicu Stres Kronis
Dampak Positif Mama Bekerja
Berhenti Bekerja Seterusnya atau Sementara?
Bekerja Atau Ibu Rumah Tangga?
Rasa Bersalah Meninggalkan Anak Bekerja
 
 
LTF
FOTO: FREEPIK

 


Topic

#workingmom

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia