Lakukan Ini Bila Terlanjur Bohong pada Anak


Di media sosial dan media massa beberapa waktu lalu, sempat ramai pemberitaan tentang perselisihan seorang papa dan anaknya. Si anak yang sudah dewasa membuat pernyataan bahwa ia telah bertahun-tahun tak diakui dan tak diperlakukan sebagai anak oleh papanya. Sementara papanya juga mengaku telah ditolak sebagai papa oleh anak tersebut dan mamanya, setelah bercerai. Alasannya, si mama meyakinkan si papa bila anak tersebut bukanlah anak biologisnya.

Pemberitaan tersebut menjadi ramai, hingga menimbulkan pro dan kontra terhadap papa-anak tersebut. Banyak orang yang bersimpati, banyak pula yang membenci pihak tertentu. Komentar hujatan dan dukungan pun berhamburan di laman media sosial. Siapa yang berbohong? Siapa yang berkata benar? Sebuah pernyataan menarik dikeluarkan oleh seorang ahli pendeteksi kebohongan, “...bila (mereka) cerai sejak (anak masih) kecil, anak tidak pernah tahu siapa ‘pembuatnya’. Anak hanya tahu siapa bapaknya, dari ibunya atau Kartu Keluarga lamanya..”, lalu, “Kalau kita anggap memang pernah sang Ibu mengatakan hal tersebut kepada Pak M, berarti pengakuan atau sang Ibu ini kuncinya”. Artinya, bila mama si A ini benar mengatakan hal itu, maka ia perlu mempertanggungjawabkan kebohongan yang telah membuat si anak terpisah dari papanya. Namun bila mama si A ini tidak mengatakannya, maka si papa harus mempertanggungjawabkan kebohongan yang sudah dilakukan di depan publik.

Dari peristiwa ini, para orang tua dapat belajar banyak tentang kebohongan. Bahwa ternyata, kebohongan yang dimaksudkan untuk menyelesaikan satu masalah, bisa memiliki dampak di luar yang diharapkan. Lantas, bagaimana orang tua mesti meletakkan kebohongan dan kejujuran?

Kebohongan Ada Batasnya
Dalam sebuah artikel di The Washington Post bulan Desember 2015, psikolog dan pembimbing pengasuhan asal Vermont-Amerika Serikat, Vicki Hoefle, memberikan gambaran tentang batas-batas bohong yang dapat diterima dan yang merusak. “Anak berusia 5 hingga 7 tahun saja siap untuk menerima kebenaran. Bahkan untuk sebuah penjelasan apakah Sinterklas benar-benar ada,” ujarnya.

Dalam usia 7 tahun, anak juga dapat menilai bahwa kebohongan itu menyakitkan. Oleh karena itu, para orang tua sebaiknya tak sembarang berbohong hanya karena tak ingin anaknya merengek atau ngambek. “Sekali anak menguak kebohongan orang tua hingga menyakiti hatinya, ia akan memukul rata dan menganggap orang tuanya adalah pembohong. Bahkan dapat saja ia menganggap bahwa orang tuanya tak benar-benar
menyayanginya,” ujar psikolog dan ahli pola asuh asal Kanada, Alyson Schafer.

Satu hal lagi yang perlu digarisbawahi orang tua, jangan pernah berbohong hanya karena Anda malas menjawab jujur. Bahkan, ketika Anda ditanya tentang hal sensitif oleh anak, seperti alat reproduksi atau perceraian, upayakan untuk tetap menjawab jujur. Menurut Alyson, kebohongan semacam ini sebenarnya bukan demi kebaikan anak, tapi hanya kemalasan orang tua untuk menjawab sesuai sudut pandang dan pemahaman anak.

Mengoreksi Kebohongan
Saat anak menguak kebohongan orang tuanya, jangan segan untuk mengoreksi kebohongan yang sudah terbongkar. Anda mungkin pernah berbohong pada anak dan pada akhirnya terkuak, namun ini bukanlah kesalahan yang tak bisa dikoreksi. “Sebelum anak mendapat kesan yang salah, bahwa bohong itu sah-sah saja dilakukan, orang tua perlu mengoreksinya. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengakui secara berani bila Anda berbohong,” ujar Alyson.

Cara terbaik mengakuinya adalah mengatakan pada anak bahwa sebagai manusia Anda juga melakukan kesalahan. Anda telah memilih jalan yang kurang berani dan setelah ini Anda bersedia untuk melakukan hal yang lebih baik. Setelah membuat pengakuan, cobalah berkomitmen dengan tak mengulang melakukan kebohongan dan memenuhi janji Anda. “Mengakui kesalahan dengan lapang dada adalah keterampilan pengasuhan yang sangat penting,” pesan Alyson.

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia