Swamedikasi di Rumah, Bolehkah?

Foto: dok. Shutterstock.
 
Swamedikasi atau upaya pengobatan mandiri di rumah, dikatakan para ahli ibarat pedang bermata dua. Jika dilakukan dengan benar, maka akan bermanfaat menghindarkan anak mengalami sakit yang lebih parah. Namun jika dilakukan dengan kurang tepat, maka dapat menyebabkan dampak negatif. Misal, timbulnya efek samping.
 
“Contohnya soal pemilihan obat. Orang tua seharusnya paham bagaimana aturan memberikan obat tanpa resep, seperti obat bebas dan bebas terbatas (berlabel hijau atau biru). Namun pada praktiknya, masih terjadi beberapa orang tua yang memberikan obat keras termasuk antibiotik. Ini bisa menimbulkan resistensi obat,” kata dr. Devie Kristiani, Sp.A, dokter spesialis anak dalam kegiatan webinar berjudul "Lifebuoy dan Halodoc Kolaborasi, Berikan Layanan Konsultasi Dokter Gratis Hingga 2023" beberapa waktu lalu.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, sebanyak 71,46% masyarakat diketahui melakukan swamedikasi (pengobatan mandiri di rumah) daripada berkonsultasi ke dokter sebelum pengobatan. Angka ini terus meningkat sejak tahun 2017 hingga saat ini. “Pada umumnya, swamedikasi terpicu oleh tingkat kecemasan orang tua. Yakni ketika anak sakit, orang tua ingin secepatnya memberikan obat kepada si kecil,” ujar dokter Devie lagi.

Alasan ini dibenarkan juga oleh Nagita Slavina, selebritas juga ibu 2 anak yang mengaku kadang kecemasan saat anak sakit membuatnya melakukan praktik swamedikasi sesekali di rumah. “Kalau anak sakit apalagi pandemi, kan mereka rawan batuk dan pilek. Kadang berpikir langsung ‘Aduh, kenapa ini?’ Dan tentunya ini membuat panik,” ujar Nagita menjelaskan pengalamannya.

Masih menurut Nagita, saat tengah panik dirinya berusaha menarik napas dan mencoba berpikir jernih sehingga mengetahui apa yang harus dilakukan.


Tidak Semua Obat Bisa Digunakan untuk Anak

Saat ingin mengobati anak, dokter Devie mengingatkan untuk mempertimbangkan betul memilih dan menggunakan obat untuk anak. “Anak-anak ini bukan miniatur orang dewasa, obat yang aman dikonsumsi orang dewasa tidak selalu aman dikonsumsi anak. Belum lagi bicara dosis. Perlu dihitung berdasar usia, berat badan anak, dan sebagainya. Jadi kalau boleh kami menyarankan, orang tua sebelum memberikan obat untuk anak sebaiknya berkonsultasi dulu ke dokter anak,” pesan dokter Devie.

Untuk masyarakat yang masih memilih swamedikasi, tidak bisa disalahkan. Beberapa pertimbangan memerlukan pilihan orang tua untuk melakukan swamedikasi. “Selain pemilihan obat diperhatikan, perlu diperhatikan berapa lama swamedikasi sudah dilakukan,” jelas dokter Devie. Ia pun menyarankan para orang tua untuk segera konsultasi ke dokter jika setelah melakukan swamedikasi selama 2 hingga 3 hari kondisi anak belum juga membaik. 

Sependapat dengan saran dokter, Nagita juga mengangga konsultasi dengan dokter masih merupakan cara terbaik ketika mengobati anak yang sedang sakit.
“Menurutku, konsultasi tatap muka maupun online relatif sama efektifnya,” ujar Nagita yang kini sudah terbiasa memanfaatkan telemedisin ketika keluarga ada yang sakit ringan dan perlu obat dari dokter karena lebih mudah, cepat, tidak harus mengantri di klinik atau rumah sakit, serta bisa mendapatkan obat-obatan yang sesuai dengan gejala yang dirasakan. 

Artikel ini juga tayang di Femina.co.id
 

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia