3 Syarat Agar Anak Nyaman Belajar di Rumah


Anak-anak memerlukan suasana rumah yang hangat dan nyaman untuk belajar, didukung dengan fasilitas sesuai kebutuhannya (tidak harus mewah, ya). Jangan lupa, cara keluarga berinteraksi dan berkomunikasi juga memengaruhi anak untuk bisa betah dan fokus belajar atau tidak. Anak perlu didengar, diajak berdiskusi, dihargai pendapatnya, dan melihat orang tuanya menghargai satu sama lain. “Jika rumah dipenuhi pertengkaran orang tua, misalnya, maka suasana mencekam dan mengancam itu akan memengaruhi anak dan membuatnya sulit belajar. Ada sistem limbik (otak emosional) yang memproses emosi-emosi di dalam diri kita. Kalau yang diproses adalah emosi-emosi menyenangkan, damai, bahagia, penuh cinta, maka ini memudahkan kerja otak rasio memproses segala data, informasi, kecerdasan,” jelas psikolog keluarga, Anna Surti Ariani, yang akrab disapa Nina.

Lalu, apakah Anda harus mendampingi dia saat belajar dan mengerjakan PR di rumah? Tidak harus, kok, walaupun ada syaratnya. Menurut Nina, pertama, tergantung usianya. Anak-anak yang masih kecil tentu tidak bisa dilepas begitu saja, harus ditemani saat belajar atau menyelesaikan tugas-tugasnya. Sementara, anak SD usia besar tentu sudah bisa dilepas.

Kedua, kemandirian anak. Ini tidak selalu berkaitan dengan usia. Ada anak yang masih kecil, tetapi sudah mandiri sekali. Sebaliknya, ada juga anak-anak yang sudah besar yang dependen. Kalau di kegiatan-kegiatan lain dia sudah cukup mandiri, maka dia sebenarnya bisa dilepas sedikit demi sedikit untuk belajar sendiri. Sesekali justru kita harus bisa memberi dia kesempatan menyelesaikan tugas sendiri. “Kalau anak terlalu tergantung kepada orang tuanya, maka Anda harus mengecek diri sendiri, bagaimana selama ini Anda menemani dia belajar. Jangan-jangan pola Anda menemani dia belajar justru yang menjadi penyebab anak menjadi tidak mandiri,” kata Nina.

Ketiga, kemampuan anak belajar. Pada pelajaran-pelajaran yang dikuasai anak, biarkan dia belajar sendiri, bahkan saat harus belajar menghadapi ulangan. Tetapi, saat menghadapi pelajaran-pelajaran yang sulit untuk dia, orang tua harus terlibat dan menemani. “Sedikit demi sedikit lepaskan keterlibatan Anda dalam proses belajar anak, karena semakin besar, anak harus semakin bisa mengingatkan dirinya sendiri dan mandiri belajar,” saran Nina. Melepaskan anak belajar sendiri berarti juga membiarkan anak membuat kesalahan-kesalahan.

Nah, itu yang terkadang membuat mama tidak sabar dan ingin buru-buru mengoreksi agar anak mendapat nilai sempurna. Saat anak mengerjakan PR, misalnya, tidak apa-apa membiarkan anak memiliki pendapatnya sendiri atau yakin dengan jawabannya sendiri. Tetapi, jangan lupa mengecek lagi respons dan koreksi yang diberikan guru terhadap tugasnya itu, tanpa berkata, “Kamu nggak nurut sama Mama, sih. Kan, kemarin sudah dibilangin itu jawabannya salah.” Cukup katakan, “Tidak apa-apa keliru. Sekarang kamu jadi tahu, kan, cara mengerjakannya dan menemukan jawaban yang benar.”

Bagaimana pun, Ma, kita harus menyadari bahwa anak sedang dalam proses belajar. “Ketika anak tidak pernah membuat kesalahan, maka tidak ada yang dia pelajari. Justru dari kesalahan tersebut anak tahu apa yang bisa diperbaiki. Di situlah proses belajarnya. Jadi, anak tidak perlu ditahan-tahan supaya tidak melakukan kesalahan, tetapi juga jangan didorong melakukan kesalahan. Biarlah dia melakukan semua secara natural. Harus ada bagian dari anak sendiri untuk menjalani konsekuensi dari kesalahan yang dia lakukan,” tegas Nina.

Setiap orang tua memiliki cara sendiri dalam membesarkan dan menerapkan konsep pendidikan kepada anak-anak mereka. Selama kita percaya bahwa keluarga adalah sekolah pertama anak, maka kita sedang menyiapkan fondasi yang kokoh bagi dia untuk tumbuh dan menghadapi kehidupan di luar sana.

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia