Cara tepat ‘menyogok’ anak Anda

Strategi sesuai usia untuk memancing anak bersikap baik.

Sebelum menyikat gigi di malam hari, saya selalu dihantui bayangan ‘tarian gosok gigi’ dan bergulat dengan pemikiran saya sendiri. Haruskah menggeret Derek, 3 tahun, memohonnya sikat gigi dan membiarkan suami menggunakan taktik pemaksaan, karena yakin pasti berhasil dengan risiko ‘terjebak’ di tengah raungan; atau mundur dengan rasa bersalah bahwa mungkin saja ia terbangun dengan gigi berlubang?
Apa yang harus dilakukan agar kata sepakat dan damai akhirnya bisa terwujud? Sedikit dorongan untuk membuat Derek (akhirnya) melaksanakan apa yang kita inginkan. Baiklah, sebut saja mereka memang ‘disogok’. ‘Sogokan’ yang memberikan mereka sedikit kesenangan dan mungkin yang paling penting, memberi kesempatan padanya untuk merasa menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri (dalam hal menyikat gigi, stiker bisa membantu, lho).
Melakukan ‘sogokan’ – mari kita sebut saja sebagai ‘hadiah’ - adalah sebuah seni. Memberikannya terlalu sering, pada saat yang tidak tepat, atau dalam jumlah yang berlebihan, hanya akan mengajarkan si kecil sikap hidup yang salah. Tapi ada cara yang lebih tepat untuk  ‘menyogok’ anak Anda. Ini dia triknya:

Usia balita: Lakukan hal sederhana yang menyenangkan
Anak usia 1- 2 tahun hanya berpegangan pada ‘saat ini’. Janji-janji bahwa ia akan mendapat hal yang menyenangkan jika berbuat baik tentu saja hanya akan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Pujian atau ‘hadiah’  harus diberikan pada saat mereka bersikap baik, atau sesegera mungkin setelahnya.
Sebenarnya Anda tidak perlu membelikan mereka sesuatu dalam wujud benda–sebuah senyuman, tepuk tangan, sorakan menyemangati, atau hal-hal standar seperti itu saja sudah cukup. Misalnya ketika mereka bisa duduk manis dalam kereta dorong, nyanyian favorit mereka saja sudah menjadi sebuah penghargaan/ hadiah, bahkan akan membuat mereka duduk tenang lebih lama.
Pengalihan pada lagu atau permainan konyol juga bisa mendorong prilaku baik dan membuat mereka tidak ‘bertingkah. Ketika Alex Coleman, 2 tahun menolak duduk di atas klosetnya, ibunya, Suzanne, dari Michigan, akan mulai menyanyikan lagu yang liriknya berbunyi “Poop poop poop peeps…!”, dan ketika Alex akhirnya duduk, ia tertawa terbahak- bahak dan ketagihan untuk melakukannya lagi.
Seiring makin besarnya mereka, balita mulai menangkap konsep bahwa “Mama akan menyanyikan lagu bila kamu membiarkan mama mengikat tali sepatumu.” Tapi baru saat mendekati usia mereka yang ke-3, kebanyakan balita baru benar-benar mengerti tentang
kekuatan janji, dan dengan sukarela bekerja sama, bersabar bila tidak langsung mendapatkan hadiahnya.

Usia pra-sekolah : Berikan mereka dorongan
Joan MacMillan dari Rye, mengerti bagaimana putus asanya orangtua ketika menawarkan ‘sogokan’ pada anak yang kemudian mudah disesali. Pada saat memasuki supermarket bersama Mary Ellen (5), dan Audrey (3), keributan pun dimulai: “Aku mau berdiri di sisi troli sebelah sana!”, “Kenapa dia boleh memilih jagung?”. Saya mulai kesal dan bilang kalau mereka berhenti saat itu juga, saya akan membelikan mereka permen karet saat sampai di kasir. Permen karet ternyata hanya dapat ‘membeli’ ketenangan untuk beberapa menit, sesaat kemudian mereka kembali ribut lagi.
Berita baiknya adalah, tantrum akan mulai berkurang ketika mulai memasuki usia pra-sekolah. Kemampuan berbicara dan berpikir anak yang makin berkembang membuat Anda lebih mudah membuat perjanjian dengan mereka, dan kadang mereka mau menunggu sampai seminggu hanya untuk menunggu ‘hadiah’ dari sikap baik mereka. Berita buruknya, sekarang mereka mulai dapat mengerti hukum sebab dan akibat, Anda harus ekstra hati-hati untuk tidak menawarkan ‘sogokan’ ketika mereka sedang berprilaku buruk. Apabila Anda melakukannya, maka mereka akan makin ‘bertingkah’. Tahu bahwa Anda akan melaku-kan apapun hanya untuk meng-hentikan rengekan mereka.
Sebaliknya, tawarkan hadiah ketika mereka berprilaku baik sebelum mereka ‘bertingkah’. Dengan begitu, Anda yang memegang kendali. Daripada membuat janji (yang terkadang berlebihan) karena putus asa, hanya untuk menghentikan tantrum.
Hal ini berhasil diterapkan MacMillan. Ia memutuskan untuk menjelaskan dengan tenang, sebelum sampai ke toko, bahwa bila mereka bergantian memilih belanjaan dan tidak bertengkar, mereka akan mendapatkan tambahan waktu bermain di taman ria atau pergi berenang minggu itu, “Anak-anak pun segera memberikan respon yang positif,” ujarnya. “Selama satu minggu itu, saya memang masih harus mengingatkan mereka beberapa kali saat di toko, tapi secara keseluruhannya, mereka telah bersikap lebih baik.”
MacMillan merasa rasa percaya dirinya pun bertambah, “Saya dapat melihat bahwa akhirnya saya bisa juga mengajarkan mereka untuk bersikap baik.”

Usia sekolah: Ajak mereka untuk ikut ‘bermain’
Anak sudah cukup besar dan pintar untuk mengerti arti sesungguhnya dari sebuah ‘sogokan’. Kalimat seperti “Mama akan membelikanmu video game kalau nilaimu bagus,” mungkin tidak akan mempan lagi. Apabila Anda mencoba melakukannya, mereka akan bernegosiasi untuk mencoba mendapatkan ‘penawaran’ yang lebih. Daripada menawarkan berbagai hadiah, lebih baik sampaikan pada anak apa yang Anda pikir sebaiknya mereka lakukan atau perbaiki - apakah itu berarti mengerjakan PR dengan lebih baik atau menambah tugas di rumah - juga jelaskan bagaimana cara Anda memberikan ‘hadiah’ tersebut saat mereka berkelakuan baik. Apabila Anda ikut melibatkan mereka dalam perencanaan, mereka akan cenderung berusaha mewujudkannya. Yang penting, pastikan bahwa hal-hal yang diharapkan cukup jelas buat mereka (misalnya, meluangkan waktu lebih banyak untuk membaca atau membereskan kamar sekali seminggu).
Lauren Pinzka, ibu dari Michael, 9 tahun dan Sam, 7 tahun, menerapkan pemberian ‘hadiah’ setelah menyadari bahwa ia terlalu mengharapkan kedewasaan dari putra-putranya. Ia harus menjalani operasi di kaki sehingga untuk beberapa waktu tak dapat berjalan. Ia pikir, dengan kondisinya tersebut, anak-anaknya akan dengan senang hati membantu. Tapi Michael memasang wajah cemberut setiap kali ia minta dibawakan segelas air.
Pinzka tidak menyangka harus membayar anak-anaknya untuk melakukan tugas rumah. Ternyata pada situasi seperti ini, strategi itu cukup jitu. Caranya: anak akan mendapatkan Rp. 1.000,- untuk setiap tugas kecil yang mereka lakukan, seperti membersihkan piring. Pinzka juga akan membayar mereka Rp. 2.500,- bila menaikkan suaranya dua kali dalam sehari.
Anak-anaknya pun langsung setuju. (Wah, padahal mama tak pernah mendapat ‘hadiah’ untuk perbuatan baiknya, ya!) Ini menunjukkan bahwa mama benar-benar peduli dengan apa yang mereka inginkan dan mendapat keuntungan besar karena anak ikut membereskan urusan rumah tangga. Uang memang menjadi motivator utama (sesuatu yang sebenarnya saya tidak sarankan – tapi jangan langsung menolaknya; terkadang ini satu-satunya cara yang berhasil). Saat dilakukan pada waktu yang tepat dan untuk alasan yang benar, hal yang sederhana pun bisa menunjukan bahwa anak bisa mendapatkan sesuatu yang baik dengan berusaha, bukan dengan merengek. Dan pelajaran itu lebih penting nilainya dari berapapun jumlah rupiah yang dikeluarkan, video games yang dibelikan dan semua lagu yang dinyanyikan untuk membuat mereka mengerti. 

PAR 0308

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia