Dua Mama Ini Ajarkan Anak Hargai Agama Lain


Agar anak tumbuh menjadi pribadi yang berpikiran luas dan memiliki jiwa yang menghargai sesama, Anda perlu mengenalkan ia pada keberagaman, termasuk soal agama. Dua Mama ini mengajarkan anaknya menghargai agama lain. Seperti apa ceritanya?

Erita Mann, Mama dari Owen dan Maddy
Cara saya mendidik anak-anak supaya tidak judgmental, ya, sebagai orang tua saya tidak menghakimi orang lain di depan anak-anak. Harus pintar-pintar menahan diri, apalagi ketika melihat orang yang berbeda dengan kita. Saya juga mencoba mengenalkan kepada anak-anak bahwa ada banyak kehidupan yang berbeda dari mereka.

Contohnya, saya ajak mereka volunteer di homeless center di Califonia. Karena masih kecil, mereka belum boleh bantu-bantu di dapur umum. Jadi, yang mereka bisa lakukan adalah mengumpulkan baju yang sudah tak terpakai dan mendonasikannya ke homeless center. Saya juga pernah membawa mereka ke supermarket yang mengadakan program donasi ke food bank. Di Indonesia, saya juga ajak mereka ke panti asuhan, naik kendaraan umum, termasuk belanja di pasar tradisional.

Dalam hal agama, saya jelaskan bahwa pada akhirnya hanya ada satu Tuhan. Kakak ipar saya pendeta, jadi anak-anak saya bawa ke gereja untuk duduk mendengarkan khotbah, meski tak ikut melakukan ritual. Anak-anak juga beberapa kali saya bawa ke sinagog dan museum khusus sejarah Yahudi.

Waktu ke Indonesia, saya ajak mereka ke Borobudur. Saya jelaskan tentang umat Budha dan cara mereka beribadah. Di Amerika, pemahaman soal ras sangat penting, apalagi di tempat kami tinggal, Los Angeles, yang sangat multietnis. Karena itu, saya jelaskan soal ras kulit putih, kulit hitam, Asia, Timur tengah, dan sebagainya. Yang pasti, saya juga ajarkan anak-anak tidak mem-bully dan tidak hanya menjadi penonton ketika ada anak yang di-bully.

Dara Meutia Uning, Mama dari Salma (10) dan Kei (4)
Saya memakai hijab sejak SMA, tetapi tidak pernah menyuruh anak memakai hijab juga. Meski demikian, saya mengharuskan mereka berpakaian sopan. Identitas Muslim melalui cara berpakaian mulai menjadi pertanyaan Salma sejak dia masuk SD. Pasalnya, saya tinggal dengan mertua yang tidak berhijab. Salma waktu itu bertanya, “Apakah Oma bukan Muslim, Bunda, karena tidak berhijab?” Sebagai mama, saya menjawab, “Bunda pakai hijab karena membuat Bunda nyaman, tetapi bukan berarti Oma bukan Muslim karena tidak berhijab. Setiap orang punya pilihan masing-masing.”

Ketika Salma naik kelas 4 SD, kami pindah ke rumah sendiri dan dia pun masuk sekolah Islam yang mewajibkan murid perempuan mengenakan hijab di lingkungan sekolah. Ia memilih sekolah ini karena perpustakaan yang luas dan koleksi buku yang menarik. Setelah terbiasa memakai hijab di sekolah, Salma pun memilih berhijab di luar lingkungan sekolah. Dia akhirnya memiliki pandangan baru soal hijab. Saya membiarkannya bereksplorasi dengan pakaian dan merasa bahagia kalau dia nyaman dengan pakaian yang dia pilih atas pertimbangannya sendiri.

Untuk hal yang bersinggungan dengan agama, saya selalu berhati-hati. Aturan saya tegas: dilarang keras mengejek kepercayaan, tradisi, ritual, bahkan dogma agama lain. Dilarang mengganggap orang beragama lain sebagai musuh, mengejek (baik yang terang-terangan maupun di belakang). Juga, mereka dilarang menghakimi, orang beragama lain pasti akan masuk neraka. Saya tak mau mereka mengungkapkan perkataan yang menjurus kebencian kepada umat beragama lain.

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia