Efek Negatif Video Games

Harus diakui, efek seru dan mengasyikkan dari TV dan video games justru lebih dirasakan kebanyakan orang. Jangankan anak-anak, orang dewasa pun sering dibuat terlena. Kecanduan adalah akibat yang sering terjadi.

Masalahnya, semakin kerap anak-anak terpapar tayangan ini, mereka berpotensi untuk meniru atau membuat anak menerima kekerasan itu sebagai perilaku yang wajar dan bisa diterima dalam kehidupan sehari-hari.

Simak artikel berikut untuk mengetahui efek negatif yang bisa didapatkan  anak dari video games:

Dari segi fisik:
- Anak punya tahapan perkembangan fisik yang harus mampu dilakukannya. Misalnya, usia 2 tahun bisa melompat atau usia 6 tahun mengendarai sepeda roda 2. Kemampuan itu memerlukan koordinasi dan keseimbangan motorik dan sensorik yang baik.

Anak yang terlalu sering menonton TV dan main video games kurang terstimulasi karena cenderung banyak duduk atau berbaring. Padahal, perkembangan fisik memengaruhi perkembangan kemampuan psikologis. Misalnya, anak takut-takut naik turun tangga, main ayunan, atau ketinggian karena tak terlatih melakukannya.

Dalam kehidupan psikologisnya, ia akan mengalami ketakutan saat berkenalan dengan orang lain, memulai hal baru, hingga untuk berubah. Anak pun tumbuh menjadi manusia yang kurang fleksibel.

- Kurang gerak juga membuat anak rentan obesitas. Karena menonton TV dan main games hanya sedikit mengeluarkan energi dibandingkan bermain sepeda, misalnya. Apalagi, asupan makanan anak kini cenderung kaya karbohidrat dan lemak.


- Terlalu banyak di depan TV dan main video games bisa merusak daya penglihatan si kecil.

Dari segi kognitif:
- Jika dia menonton acara dan memainkan video games yang tidak sesuai tahapan usianya, akan timbul referensi yang salah. Membedakan antara fakta dan fiksi itu masih sulit. Belajar dari kasus smack down, misalnya, pelaku yang masih kanak-kanak itu menganggap bahwa korbannya yang di-smack tidak akan apa-apa, karena begitulah yang ia lihat di TV.

Dari segi emosional:
Tayangan berbau kekerasan akan mengurangi toleransi anak terhadap permasalahan atau kesakitan orang lain. Empatinya juga berkurang karena tak mengerti dan mengalaminya sendiri. Ia tak pernah bermain, berlari, atau terjatuh. Ia hanya bermain games.

Dari segi bahasa:
Tayangan kekerasan biasanya diiringi verbal yang kasar. Umpatan s#it atau f#ck sering terdengar, bahkan di kalangan anak SD. Kata-kata atau ungkapan kasar ini juga bisa menyempil di antara kartun. Misalnya, kata-kata dummy, don’t know and don’t care (untuk menunjukkan tak peduli), atau in your face!

Dari segi emosi:
Dengan bermain bersama teman-temannya, anak belajar mengenal kekayaan dan kedalaman emosi. Ia bisa mengatur emosinya dalam menghadapi peristiwa atau hubungannya dengan orang lain. Salah kaprah jika Mama melarang anak bermain karena takut ia menjadi sedih, marah dan menangis karena dinakali temannya. Justru itulah saatnya mengajar anak untuk terampil menghadapi kenakalan. Emoticon tak bisa menggantikan emosi. Emosi orang jauh lebih banyak dari emoticon yang ada.

Dari segi sosial:
- Kebanyakan menonton TV dan bermain video games membuat keterampilan sosial dengan orang lain atau bergaul kurang terlatih, sehingga dia berpotensi bermasalah dalam pergaulan.

- Games sekarang memungkinkan anak bergaul dengan orang lain di dunia maya. Sayangnya, orang lain belum tentu memberi identitas yang benar. Bisa jadi, ia tidak benar-benar seusia anak. Anak-anak berinteraksi dengan orang palsu, dan bisa menjadi sasaran bully di dunia maya dan pedofilia.

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia