Hati-hati, Anak Meniru Adegan Skip Challenge!


Baru-baru ini sebuah video anak-anak sekolah yang melakukan permainan berbahaya, dikenal dengan skip challenge atau pass out challenge, beredar viral di media sosial. Permainan tersebut dilakukan dengan cara menekan dada sekeras-kerasnya selama beberapa waktu, sehingga anak tersebut kehilangan kesadaran. Setelah beberapa saat, anak akan siuman. Anak-anak yang sudah melakukan tantangan itu mengakui merasakan pengalaman yang menegangkan dan menyenangkan. Padahal, permainan tersebut jelas berbahaya.

Memang, dalam video yang beredar, terlihat anak-anak SMA atau SMP yang melakukan tantangan tersebut, namun tidak menutup kemungkinan, anak sekolah dasar pun meniru adegan berbahaya ini. Apalagi, di tayangan tersebut, anak-anak yang sudah melakukannya malah tertawa-tertawa, tidak tampak kesakitan. Duh, jangan sama si kecil di rumah ikut meniru adegan ini, ya. Apa bahayanya, dan bagaimana memberi tahu anak agar tidak ikut-ikutan melakukan tantangan ini?

Dr.dr Wawan Mulyawan, SpBS, SpKP, Kordinator Kelompok Ahli di Lakespra TNI AU dr Saryanto, Jakarta, mengungkapkan bahwa akibat menahan napas, disertai bagian dada yang ditekan, saat melakukan skip atau pass out challenge, semua organ tubuh dalam ancaman kekurangan oksigen akut. Organ yang paling rentan terhadap kekurangan oksigen adalah otak, karena otak sangat 'lahap' mengonsumsi oksigen. "Hal itulah yang menyebabkan kenapa pada tantangan ini, sampai terjadi pingsan sesaat, dan bisa disertai kejang-kejang, karena otak telah mengalami cedera akut akibat kekurangan oksigen," katanya

Ia menambahkan, kerusakan yang terjadi pada otak akibat kekurangan oksigen (hipoksia) itu bisa ringan, sedang, hingga berat. Pada kerusakan otak akibat hipoksia ringan, gejala yang muncul biasanya hanya pusing, rasa berputar, pandangan agak kabur, denyut jantung atau nadi meningkat, napas makin cepat, tekanan darah meningkat, atau kepala seperti terasa melayang, atau sebaliknya, terasa berat. Juga dapat terjadi berkurangnya fungsi indra perasa atau sensorik, dan berkurangnya pendengaran.  
   
"Demikian juga bisa terjadi perubahan proses-proses mental, seperti gangguan intelektual atau memori, dan munculnya tingkah laku aneh, seperti euforia (rasa senang yang berlebihan). Selain itu, kemampuan kordinasi psikomotor juga akan berkurang. Pada umumnya, kerusakan ringan pada otak ini, karena hanya sedikit sel otak yang rusak atau terganggu, biasanya bisa pulih kembali, tanpa ada gejala yang tersisa. Ini misalnya jika dilakukan oleh orang biasa (bukan penyelam alam atau yang sudah terlatih) yang menahan napas selama 30 detik - 2 menit," ujar dr. Wawan.

Namun, dr Wawan kembali menjelaskan, bila menahan napas lebih lama lagi, misalnya sampai 4-6 menit, bisa terjadi gejala kekurangan oksigen tingkat sedang. Gejala yang muncul akibat hal itu, misalnya kulit kebiruan, kejang-kejang, hingga hilang kesadaran. Kerusakan otak sedang sangat berisiko, karena mungkin saja, gejalanya tidak bisa pulih lagi. Karena dari periode kejang-kejang dan tidak sadar atau pingsan, sangat mudah berlanjut menjadi henti napas, yang jika tidak ditolong oleh tenaga medis terlatih, akan berlanjut kepada kematian.

Kemudian, pada kekurangan oksigen tingkat berat akan terjadi gejala kerusakan otak yang berat, misalnya karena menahan napas lebih lama dari 6 menit (pada umumnya), sehingga akan sangat banyak sel otak yang mati. Pada orang yang tidak mendapat suplai oksigen sekitar 10 menit, bisa berujung kepada risiko henti napas, henti jantung, bahkan kematian. Pada kerusakan otak berat ini, sudah kebablasan karena otak tidak bisa tertolong lagi akibat rusak berat. Kalaupun bisa ditolong oleh tenaga terlatih dan alat bantu napas, seperti ventilator, biasanya sudah terjadi mati batang otak (brain dead), dan bersifat irreversibel.

Menanggapi hal ini, Nessi Purnomo, psikolog dari Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, menyatakan bahwa komunikasi antara anak, orang tua dan guru mesti dilakukan, agar anak tidak semudah itu meniru permainan ini. "Apalagi, permainan ini seringkali dilakukan di kelas, dan pada jam istirahat. Maka itu, orang tua bisa meminta para guru mensosialisasikan di mana letak bahaya dari permainan ini," katanya. 

Sebagai orang tua, kita juga tidak bisa menutupi permainan dari anak. Meski ia belum tahu, Mama dan Papa bisa mengajak anak bareng-bareng melihat bahaya pemainan tersebut lewat artikel atau video yang beredar di dunia maya. Infokan kepada mereka bahwa permainan itu bisa mengancam keselamatan dan berujung kepada kematian. Beri tahu juga cara anak menghindari ajakan permainan itu dari teman-temannya. Misalnya, bila ada yang mengolok-olok dengan menjuluki 'cemen', nggak cool, pengecut, dll., minta anak menjawab, "Aku memilih tidak melakukan permainan, karena aku tahu, itu bahaya." Lalu, minta anak segera meninggalkan tempat yang menjadi lokasi ajang permainan tersebut. (Fatimah Nurhayani)

Baca juga: 
Berikan Anak Pemahaman Bahaya Narkoba dengan Cara Ini
 

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia