Lakukan Ini Agar Anak Terhindar Kekerasan Seksual


Terkait kasus kejahatan seksual yang belakangan ini marak diperbincangkan, Khotimun Sutanti (Imun), aktivis Asosiasi LBH APIK Indonesia, yang akrab dipanggil Imun, menuturkan, diperlukan undang-undang khusus (lex specialis) yang lebih memadai dan spesifik kepada kasus kekerasan seksual, tidak hanya soal materiilnya saja, tetapi juga formilnya. “Tidak hanya mengatur mengenai pemberatan hukuman, namun harus mengatur juga secara khusus tentang perluasan bentuk-bentuk kekerasan seksual, pemenuhan hak-hak korban, pemberatan hukuman, rehabilitasi pelaku, dan hukum acara yang khusus, sehingga kasus kekerasan seksual tidak berhenti di tengah jalan, perlindungan dan pemenuhan hak korban diberikan serta dapat menghasilkan putusan yang adil,” tambah Imun.

Untuk itulah, penting agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai undang-undang lex specialis agar segera dibahas dan disahkan oleh DPR. Saat tulisan ini dibuat, RUU PKS telah masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2016. Selain itu, menurut Nathalina Naibaho, staf pengajar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Depok, perlu ada juga perbaikan kualitas petugas penegak hukum yang memproses kasus kekerasan seksual. “Perlu tersedia penyidik perempuan di setiap polsek yang ada, petugas-petugas penegak hukum yang berempati kepada korban dan keluarganya, serta juga memerhatikan hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana,’ tambahnya.

Ketersediaan teknologi forensik untuk mendukung proses penyidikan pun diperlukan. Proses pembuktian yang hanya berdasarkan mendapatkan pengakuan, lanjut Nathalina, apalagi dengan cara-cara kekerasan, harus dihapuskan. “Petugas penegak hukum, utamanya polisi, advokat, jaksa, dan hakim, harus mampu memahami dan menggunakan hasil teknologi forensik tersebut,” kata Nathalina. Ia juga menyebutkan perlunya pengaturan dan perlindungan tentang kewajiban melaporkan dari orang-orang yang dekat dengan anak, seperti guru, pemimpin masyarakat, petugas medis, pekerja sosial, terhadap setiap dugaan terjadinya kekerasan seksual. Hal itu harus diikuti peningkatan kualitas dan ketersediaan mekanisme rujukan, yang menjamin kebaikan fisik, psikis, dan perlindungan korban dan saksi, dan pendampingan hukum untuk tersangka.

Yang tak kalah penting adalah ketersediaan sarana pertolongan pertama bagi korban kasus kekerasan seksual di setiap puskesmas/unit layanan kesehatan, dan petugas kesehatan yang terlatih untuk menggunakan alat-alat kelengkapan tersebut. “Termasuk, untuk pemeriksaan kondisi kesehatan reproduksi dan psikologis korban pasca kejadian, yang mana ini perlu didukung oleh petugas penegak hukum, keluarga korban dan masyarakat,” kata Nathalina. “Hal ini tentu memerhatian umur dan perkembangan korban, baik anak maupun dewasa. Korban sebenarnya juga harus didampingi oleh petugas khusus dengan keterampilan khusus berkenaan dengan kondisi kesehatan fisik dan kejiwaannya pasca kejahatan seksual yang dialami.” Perlu ada juga data yang memadai terkait wilayah yang rentan terhadap kekerasan seksual, kata Nathalina. Dengan begitu, pemerintah daerah dan pusat bisa bekerjasama dengan lembaga penegakan hukum dan masyarakat untuk melakukan upaya preventif dan represif terhadap kasus-kasus serupa.

Imun mengungkapkan, kunci agar kejadian pemerkosaan tidak terulang lagi adalah mengajarkan cara pandang yang setara terhadap orang lain, terutama laki-laki terhadap perempuan, baik anak maupun dewasa, bahwa mereka bukanlah objek seksual. “Oleh karenanya, sejak dini anak-anak harus diberi tahu tentang bagian mana tubuh mereka yang tidak boleh dilihat ataupun disentuh orang lain, siapa saja yang boleh mengganti pakaian mereka, dan mengantar ke kamar mandi, dan lain sebagainya,” tambahnya.

“Sangat penting sekali mengajarkan agar anak tahu bagian tubuh orang lain yang tidak boleh ia sentuh, tidak melakukan kekerasan dan pemaksaan terhadap orang lain, menghargai dan menghormati orang lain.” Kebiasaan sejak kecil untuk menghormati orang lain, kata Imun, sangat penting, dan bisa menjauhkan dari situasi kekerasan di dalam rumah. Orang tua pun semestinya memberikan contoh penyelesaian persoalan yang baik dan menghindarkan diri dari cara-cara kekerasan dalam mendidik, termasuk menjauhkan dari tontonan-tontonan yang mengandung unsur kekerasan. (foto: 123rf)

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia