Cara Efektif Mendisiplinkan Anak

Dalam situasi tertentu, saya suka berbicara dengan nada tinggi kepada Kafka (3). Padahal saya tahu, berbicara keras kepada anak sama buruknya seperti memukul. Tapi, selalu saja ada dorongan untuk meninggikan suara saat Kafka menolak membereskan mainannya. "Kamu tidak dengar Mama, ya? Simpan kereta-keretaan ini kembali ke tempatnya, atau Mama akan membuangnya ke tempat sampah!” Yah... memang tidak selalu memberikan efek seperti yang diharapkan, sih.

Kebiasaan meninggikan suara saat marah juga kerap dilakukan Lani, mama dari Bandung. Ia menyadari bahwa anak-anaknya, Rangga (7) dan Daniel (4), sering malas bangun pagi. Akibatnya, mereka selalu berangkat ke sekolah dengan terburu-buru. Ia pun menyiasatinya dengan melakukan persiapan sejak malam sebelumnya. Ia memastikan seragam sekolah mereka sudah siap dan disetrika rapi, buku-buku pelajaran untuk esok hari sudah dimasukkan ke dalam ransel, dan kotak bekal makan siang pun sudah tersedia di meja  dengan bekal yang tinggal dihangatkan sebentar. Yang perlu dilakukan anak-anaknya hanyalah sarapan roti yang sudah ia sediakan, memakai kaos kaki, memakai sepatu dan mengambil ranselnya.

Saya (dan mungkin beberapa mama lain) bukannya tak pernah menyesal telah berbicara keras kepada anak. Saya selalu berjanji dalam hati untuk tak lagi memarahinya, terutama jika saya menonton acara televisi Nanny 911. Salah satu adegan yang membuat hati saya ‘meleleh’ adalah saat seorang anak sendirian di pojok kamarnya, berlinang air mata, setelah dimarahi oleh mamanya. Raut wajahnya begitu memelas. Saat itu saya berkomentar dalam hati, "Aduh, mamanya pasti sudah kelewatan." Tapi setelah itu, saya malah membuat 'reality show' dengan berteriak ketika memergoki Kafka melakukan hal yang tidak saya suka.

Berkali-kali marah, berteriak, dan kemudian menyesal, sepertinya bukan cara efektif untuk membuat anak mengerti bahwa kita tidak menyukai perbuatannya. Hal ini ditekankan Patty Dow, pembicara dalam sebuah parent workshop bertema "How to Master Positive Discipline Strategies” yang diselenggarakan di Montclair Community Pre-K, Montclair, New Jersey. Menurut Patty, wajar jika kita merasa marah ketika suatu hari memergoki si kecil sedang asyik menggiling play dough di atas karpet.  “Tapi, jangan menakuti anak dengan teriakan Anda, atau menghakiminya, karena ia justru akan membela diri dan tidak belajar dari kesalahannya.”

Solusi Patty: Jangan memarahi anak karena tindakannya tersebut. Cukup jelaskan situasi yang sedang Anda lihat dengan bahasa deskriptif yang mudah dimengerti oleh anak. Contoh, daripada mengatakan "Kenapa kamu suka sekali mengganggu adikmu?", katakan saja "Mama melihat kamu belum memakai kaus kaki dan sepatumu." Dengan begini, Anda mengganti kalimat yang bernada menyalahkan dengan penegasan mengenai hal yang Anda ingin mereka lakukan.

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia