Hukuman Efektif Untuk Anak

Bagi sebagian anak, tatapan tertentu atau teguran dari orang tua sudah bisa menjadi sinyal untuk segera kembali berperilaku baik. Tapi namanya anak-anak, terkadang tatapan dan peringatan dari orangtua sudah tidak mempan. Kalau sudah begitu, mungkin Mama-Papa perlu menerapkan hukuman buatnya. Ketika Anda menerapkannya dengan tepat, hukuman bisa menghilangkan atau mengurangi perilaku negatif anak.

Namun, jika terlalu sering atau terlalu berat justru akan ‘membahayakan’ perkembangan mental anak. Selain itu, hukuman yang sama bisa efektif pada satu anak tapi tidak mempan sama sekali pada anak lainnya.

Nah, sebaiknya, teknik mendisiplinkan atau menghukum anak yang Anda pilih disesuaikan dengan jenis perilaku negatif apa yang dilakukan anak, usianya, temperamennya dan juga gaya pengasuhan Anda. Bentuk hukuman juga lebih baik merupakan hasil kesepakatan sebelumnya antara Mama-Papa dan anak. Bahkan, anak-anak usia pra-remaja sudah bisa dilibatkan dalam memilih dan menentukan ‘ganjaran’ apa yang akan mereka terima sebagai konsekuensi perilaku tertentu.

Beberapa teknik menghukum berikut ini direkomendasikan oleh asosiasi dokter spesialis anak Amerika Serikat, perkumpulan psikiater anak dan remaja di Amerika Serikat dan asosiasi kesehatan mental Amerika Serikat:

1.    Mengapresiasi perilaku baik. Hukuman yang efektif adalah hukuman yang makin jarang diperlukan. Kalau pun sampai dihukum, harusnya Ia memahami bahwa perilakunya salah dan tidak boleh diulang. Jadi, lebih baik mendorongnya mematuhi peraturan Anda daripada sampai harus menghukumnya.

Memperhatikan dan mengapresiasi saat anak berperilaku seperti yang Anda harapkan adalah cara terbaik mendorong anak Anda untuk terus bersikap baik. Anda bisa mengucapkan terima kasih sebagai apresiasi tiap kali Ia bersikap baik sesuai aturan. Jadi, pastikan saja anak merasa Anda memperhatikannya saat ia berperilaku positif, dan mudah-mudahan Ia akan mengulang perilaku positif tersebut.

2.    Konsekuensi natural. Anak tidak menuruti aturan an Anda membiarkan Ia mengalami konsekuensi dari perilakunya itu. Jadi tak perlu ada ‘ceramah’ lagi dan anak tidak bisa menyalahkan Anda atas konsekuensi yang diterimanya. Misalnya, anak Anda tidak membereskan CD video games yang berserakan di sofa di depan televisi, lalu Papanya tidak sengaja menduduki salah satu CD sampai patah. Biarkan saja anak tidak lagi bisa memainkan video games tersebut.

Teknik ini lebih cocok diterapkan saat anak ‘tidak mendengarkan’ peringatan atau alasan Anda menerapkan aturan. Namun demikian, pastikan juga bahwa konsekuensi yang akan dialami anak tak berbahaya baginya ya, Ma.

3.    Konsekuensi logis. Teknik ini mirip dengan konsekuensi natural, tapi Anda yang menetapkan konsekuensinya dan menjelaskannya pada anak. Konsekuensi harus langsung terkait dengan perilakunya. Misalnya jika anak-anak Anda terus saja berebut mainan dan tidak mau bergantian, maka Mama dan Papa akan mengambil mainan tersebut sehingga tidak bisa dimainkan lagi.

4.    Pelarangan atau pencabutan hak istimewa. Bagi anak yang sudah lebih besar, Anda bisa menerapkan pelarangan atau pencabutan hak istimewa sebagai bentuk hukuman. Cara ini lebih efektif jika pelarangan itu kurang-lebih berkaitan dengan perilaku salah yang ia buat, dan hal yang dilarang merupakan sesuatu yang sangat disenangi anak. Misalnya, jika anak Anda menolak mengerjakan PRnya dengan alasan mengantuk.

Anda bisa menyuruhnya ke kamar dan tidur, serta melarangnya menonton TV, bermain video games, menggunakan gadget atau membaca buku. Atau pra remaja Anda pulang terlambat tanpa memberitahu Mama-Papa saat pergi dengan teman-temannya, Anda bisa melarangnya pergi dengan teman-teman selama seminggu, misalnya.

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia