3 Cara Ini Latih Anak Hargai Perbedaan Pendapat


Bagaimana kalau anak tumbuh menjadi pribadi yang gemar menghakimi dan merasa benar sendiri? Bagaimana kalau ia selalu memiliki ekspektasi bahwa orang lain harus mengikuti standar yang dia anut?

Kenalkan beragam sudut pandang
Meskipun kedengarannya terlalu serius, menyiapkan anak agar tumbuh menjadi pribadi yang tidak gampang manghakimi ternyata sangatlah krusial. Tak percaya? Bayangkan ribut-ribut oleh mereka yang saling merasa benar sendiri di media sosial. Nah, jengah, kan, melihatnya. Belum lagi kalau ribut-ribut itu akhirnya dibuntuti dengan fitnah dan tindakan kekerasan cuma karena ingin menang sendiri. Seram, kan?

Psikolog Nessi Purnomo menyarankan agar orang tua mengenalkan beragam sudut pandang kepada anak-anak sedini mungkin, mulai dari hal-hal mendasar yang kasat mata, seperti soal berpakaian. Perlu dijelaskan kepada anak bahwa sebuah keputusan terjadi bukan karena hanya satu alasan. “Contohnya, memakai hijab. Bisa jadi keputusan itu diambil bukan karena keinginan si pemakai, tetapi karena paksaan entah dari sanak-saudara atau tekanan lingkungan masyarakat. Bisa juga karena ada kesadaran bahwa keputusan berhijab itu dilakukan sebagai bentuk keimanan.

Ada banyak alasan yang melatarbelakangi sebuah keputusan. Nah, karena kita tidak tahu persis apa alasan tersebut, maka kita pun tak perlu menghakimi. Misalnya, menghakimi bahwa orang yang berhijab itu sok suci, munafik. Atau justru menuduh bahwa mereka termasuk golongan yang tidak bisa membuat keputusan sendiri,” papar Nessi.

Mengenalkan konteks pada sebuah permasalahan merupakan jalan terbaik mengajarkan anak untuk tak lekas berburuk sangka. Dengan bahasa sederhana ketika anak berkomentar menghakimi, Mama bisa bilang, “Kita, kan, tidak tahu alasan dia melakukan itu, Nak, kecuali kita tanyakan langsung kepada orang itu dan dia mau memberi tahu alasannya. Tetapi kalau kita harus menanyakan latar belakang dari setiap pilihan orang lain, ya, sibuk sekali nanti hidup kita.”

Intinya, mengingatkan anak bahwa sebagai orang yang melihat dari luar, kita tak punya pemahaman cukup untuk membuat sebuah pernyataan yang menghakimi. Ajarkan anak ketika melihat seseorang bertindak-tanduk berbeda dengan dirinya adalah hal biasa. “Coba jelaskan si kecil bahwa ketika melihat sesuatu, kita harus selalu punya pemikiran bahwa sesuatu itu terjadi bukan karena satu alasan saja, tetapi karena banyak alasan yang kita tak tahu pasti,” ujar Nessi.

Jangan halangi anak berpendapat
Meskipun untuk urusan menghakimi Mama harus terus mengarahkan anak agar tak keterusan, bukan berarti anak tak boleh berpendapat. Yang harus Mama tekankan adalah ketika berpendapat, sang anak harus memikirkan apakah pendapat itu akan mengganggu atau menyakiti orang lain. “Jadi, kalau anak punya sikap, dan sikap itu diyakini betul, ya, sangat bagus. Sebaiknya sikap itu justru dipegang teguh. Tetapi, ajarkan juga anak untuk tidak memaksakan orang lain harus punya sikap yang sama,” jelas Nessi.

Selalu ingatkan anak bahwa orang lain bisa jadi berada dalam situasi dan konteks yang berbeda dengan diri kita. Jadi, jangan sampai kita ribut-ribut: “Ih, orang itu, kok, bajunya kebuka banget, sih?” Jelaskan kepada anak bahwa orang lain punya pilihan hidup sendiri, dan kita tak berhak menghakimi keputusan mereka. Ajak anak melihat bahwa kita tidak bertanggung jawab atas pilihan hidup orang lain. “Nak, kita, kan, nggak beliin dia baju. Dia juga bukan anak Mama, bukan adik atau kakakmu, jadi nggak perlu komentar terlalu banyak. Kalau kamu punya pendapat, tentu saja boleh, tetapi sebaiknya dipikir dahulu. Kalau dia sakit hati mendengar pendapat kamu gimana? Apalagi, kalau orang yang kamu komentari buruk itu misalnya teman baik, jangan-jangan nanti hubungan pertemanan bisa terganggu. Sayang, kan, hanya karena kita tidak bisa manahan diri dari komentar yang menghakimi.”

Mengapa urusan mengemukakan pendapat dengan ekstra hati-hati itu perlu? Sejatinya, sejak dini anak-anak memang harus dibiasakan untuk berhati-hati dalam berkomentar. Apalagi saat ini, cepat atau lambat anak-anak akan terlibat dalam dunia media sosial. Dengan cakupan yang luas, dampak sebuah komentar di media sosial bisa sangat luas. Salah-salah berkomentar, si anak bisa memancing cyber bully. “Yang harus orang tua tekankan kepada anak-anak adalah ketika mengemukakan pendapat, selalu pikirkan dahulu berulang kali. Pikirkan bagaimana efek pendapat itu, tak hanya pada diri sendiri tetapi juga pada orang lain,” jelas Nessi.

Mama dan Papa, berikan contoh
Yang menjadi penentu utama anak dalam bersikap sebenarnya bagaimana orang tua memberikan contoh nyata dalam melihat sebuah persoalan. Nah, coba Mama ingat-ingat. Sekarang lagi ramai-ramainya jelang pilkada DKI, apakah ada komentar-komentar ‘asal’ dan menghakimi dari Mama dan Papa? Bisa jadi Mama dan Papa pendukung Ahok, misalnya, sementara tetangga sebelah rumah justru anti-Ahok.

Atau justru Mama pendukung Ahok hingga bergabung dengan gerakan Teman Ahok, sementara Papa paling sebal kalau melihat wajah Ahok muncul di layar televisi. Bagaimana cara Mama dan Papa bersikap? Perbedaan pandangan tentu saja bukan masalah. Menjadi masalah, ketika Mama dan Papa bertengkar, lantas membawa perbedaan pandangan politik ke tataran personal. “Padahal, seharusnya orang tua yang berbeda pandangan bisa mengkompromikan—bukan dalam pengertian salah satu harus mengikut yang lain, tapi bahwa mereka bisa menghargai
pendapat masing-masing.”

Perbedaan pandangan dalam keluarga yang disikapi dengan bijak bisa menjadi sarana belajar yang sangat baik untuk anak. Mama dan Papa bisa menunjukkan, perbedaan pandangan mereka memiliki latar belakang dan alasan. “Jelaskan bahwa Mama suka Ahok karena begini-begini... sementara Papa tidak suka karena beberapa alasan. Justru anak akan melihat bahwa orang itu boleh berbeda pendapat, bahkan dengan orang yang kita cintai pun boleh berbeda pendapat, termasuk mempertahankan pendapat tersebut. Yang tidak boleh adalah menyerang orang lain,” jelas Nessi.

Berbeda dengan kultur Barat yang mengutamakan hak individual, di Indonesia yang merupakan masyarakat ‘paguyuban’, norma sosial sangat berpengaruh. Meskipun hak pribadi juga sama dihormati di Indonesia, sering kali urusan menghakimi pun dipengaruhi oleh kultur masyarakat yang belum tentu adil. Misalnya, perempuan sering dihakimi dalam cara berpakaian atau membawa diri. Namun, lagi-lagi semua itu tergantung upaya orang tua dalam mendidik anak untuk tidak gampang menghakimi.

Kalau dari awal orang tua membentuk anak untuk percaya kepada mereka danmenjadi pihak yang bisa dijadikan sumber atas berbagai macam persoalan, anak pun bisa nyaman bercerita. Pondasi ini menjadi modal bagi orang tua untuk membentuk anak menjadi pribadi yang tidak suka menghakimi. (foto: 123rf)

Baca juga: Beda Pendapat Soal Menerapkan Disiplin Anak

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia