6 Tip Negosiasi dengan Anak


Tahukah Anda bahwa taktik negosiasi bisa diterapkan dalam menghadapi anak, terutama ketika mulai menginjak masa pra-sekolah? Dengan negosiasi, Anda bisa menciptakan batas, sekaligus memberi anak-anak ruang kebebasan. Dan cara itu terbukti akan membuat mereka lebih happy. Lynne Griffin, penulis buku Negotiation Generation, mengatakan, negosiasi adalah usaha untuk menemukan jalan tengah, membangun batasan, tetapi juga membuat mereka tumbuh. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Barry Elms, penulis buku Because I Said So: A Guide to Negotiating with Children and Grown Ups. Menurut Barry, dalam bisnis dan politik, seorang negosiator ulung mampu membangun otoritas, sekaligus menjaga hubungan baik dengan lawan politiknya. Tak ada yang mau jadi “musuh” di mata anak-anak, bukan? Berikut ini adalah taktik negosiasi tingkat tinggi dari para praktisi, yang bisa Anda terapkan di rumah.

1. Jangan Berharap Harus Menang
“Negosiasi bukanlah tentang win win,” tegas Deborah Kolb, penulis buku Everyday Negotiation: Navigating the Hidden Agenda of Bargaining. Namanya negosiasi, tidak bisa semua pihak sama-sama menang. Tetap saja, harus ada yang dikorbankan dari kedua pihak, jika ingin mencapai kata sepakat. Terlebih lagi, yang dihadapi adalah anak usia prasekolah. Tidak akan bisa kata sepakat itu diperoleh begitu saja, tanpa ada “perlawanan”dan hujan pertanyaan dari mereka. “Kesediaan mendengar, dan menuruti (sedikit) kemauannya, tidak akan membuat Anda menjadi mama penurut, kok. Sebaliknya, itu berarti Anda adalah ‘mama cerdas.’

”Menurut psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo, M.Psi, usia 1,5 sampai 4 tahun memang merupakan masa-masa anak mengembangkan autonomy, ingin mencoba segala sesuatu sesuai kehendaknya sendiri, maunya membatasi intervensi dari luar seperti aturan dan larangan. Anak jadi seolah susah diatur, apa yang dilarang malah dilakukan. Untuk itu, memang perlu kesabaran ekstra dalam menghadapi anak di masa perkembangan itu. “Autonomy adalah aspek yang bagus dikembangkan di dalam diri anak agar kelak ia bisa mandiri dalam mengambil keputusan dan percaya diri. Sebaiknya, potensi ini jangan dimatikan dengan menekan anak. Kreatiflah dalam bernegosiasi, jangan terpaku pada satu cara saja,” saran Vera.

2. Jadwalkan Sesi Khusus
Pernahkah Anda masuk ke ruang direksi dan dengan menggebu-gebu Anda meminta kenaikan gaji? Ketika negosiasi dilakukan dengan emosi, akan sangat mudah ditebak hasilnya: Menemui kegagalan. Kiat dari Dennis Cohen, pengacara di Suffolk County, Long Island, New York, AS, kunci keberhasilannya dalam bernegosiasi adalah persiapan. “Saya mencurahkan waktu khusus mengumpulkan fakta sebanyak mungkin yang diperlukan,” katanya. Dan, ketika saat diskusi tiba, Dennis sudah punya segenap amunisi tentang kelemahan dan kekuatan pihaknya, sekaligus pihak lawan. “Dengan begitu, saya yakin, saya berada di posisi yang kuat,” tutur Dennis.

Yang perlu diingat, negosiasi jam tidur dengan anak supaya ia tertib tidur pada pukul 20.00, bukanlah ketika jam menunjukkan pukul 19.59. Saat paling efektif adalah pada siang harinya. Dengan begitu, anak punya waktu untuk memproses emosinya. Anda pun bisa menegaskan bahwa aturan itu berlaku setiap hari. Seperti kata Lynne Griffin, Anda harus menunjukkan kemauan Anda berkompromi, dengan bilang, “Oke, boleh nonton videonya sekali lagi. Sisanya bisa ditonton besok.”

Tentu, cara ini tidak cukup dilakukan hanya sekali. Seperti rekaman yang bisa diputar ulang, begitulah menghadapi anak-anak, perlu sedikit kecerewetan dan ketelatenan untuk mengingatkan tentang aturan yang akan Anda terapkan. Dan, di belakangnya perlu ada penjelasan (yang kadang kala bisa panjang) kenapa harus ada aturan semacam itu. “Coba, kalau kamu melek sampai larut malam, besoknya bangun kesiangan, dan jadi tidak segar bangunnya,” misalnya.

Dengan cara seperti ini, bonusnya, mereka akan belajar cara berinteraksi dengan temannya. “Negosiasi mengajarkan anak bahwa ada opini lain yang harus diperhitungkan, selain opini mereka,” kata Alan Kazdin, Ph.D, profesor psikologi dan psikiatri anak dari Yale University. “Si prasekolah pada akhirnya akan menggunakan strategi yang digunakan oleh orang tuanya dengan teman-temannya, calon bisnis dan rekan kerjanya di masa mendatang,” jelas Alan.

3. Berikan Alternatif
Cari tahu apa sebenarnya yang disukai pihak lawan. Dengan begitu, mereka akan merasa Anda mengakomodir keinginan mereka, dan pegang kendali. Misalnya, ketika ingin menyuruh mereka mandi, katakan, ‘Mau mandinya bawa mainan yang mana, gelas atau botol?’ Atau, ‘Mau makan pakai piring hijau atau piring merah?’ Tentukan pilihan sesuai dengan situasi dan kondisi di rumah supaya anak juga tak semena-mena memilih, misalnya ketika menawarkan menu makanan, sesuaikan dengan persediaan yang ada di rumah,” jelas psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia ini.

Alternatifnya, menurut Vera, bisa juga menggunakan pengalihan perhatian. Misalnya, anak tidak mau mandi diberi tahu bahwa di depan rumah
ada banyak temannya sedang main. Ketika anak tertarik, ajak ia mandi dahulu dengan dalih supaya bisa ikutan main bersama temannya.

4. Hindari Kata ‘Jangan’
Suatu kali, Merry (3,5) ingin seperti kakaknya Fara (9), boleh bersepeda di jalan raya, main ke rumah tetangga, goreng telur atau masak kue sendiri. Tentu, akan sulit dipahami si prasekolah, jika dijawab, “Kamu masih kecil, mana bisa masak sendiri? Kakak bisa bikin kue pakai oven baru umur 9. Adik, kan, belum,” “Jangan dekat-dekat kompor,” “Jangan main di jalan raya!” dan sebagainya.

Cara berkomunikasi dengan mereka, saran Vera, yang perlu diperhatikan: Hindari kalimat negatif yang mengandung kata “jangan!” Selain mereka sedang anti-dilarang, anak juga masih sulit menyimpulkan bentuk kalimat negatif. Misalnya, jika Mama mengatakan, “Jangan lari!”maksudnya, kan, “Jalan,” tetapi anak sulit menangkap maksud itu. Jadi, sebaiknya langsung pada perilaku yang diharapkan, seperti, “Jalan saja,” sebagai pengganti “Jangan lari!”

5. Biarkan Anak yang Memutuskan
Kiat dari Craig Wynett, Vice President Procter & Gamble, “Anda perlu membuat solusi seolah-olah datang dari pihak lain. Tak ada seorang pun yang senang di fait a comply oleh pihak lain.” Daripada Anda ngomel-ngomel sibuk kasih perintah, instruksi yang satu arah, larangan, yang ujung-ujungnya pasti berakhir manyun lebar bibirnya, deraian air mata, atau bahkan histeria, cobalah sekarang dibalik. Anda cukup melontarkan pertanyaan kepada anak. Misalnya, anak susah diminta break bermain Angry Bird di iPad-nya, katakan, “Bagaimana kalau kita bermain piano saja daripada main game?””Kamu sudah pernah mencoba menggambar dinosaurus?” “Bukannya kamu punya puzzle Angry Bird? Kamu bisa menyusunnya?”

Begitu juga, ketika anak meminta hadiah yang tidak-tidak, minta beli mainan yang tidak Anda approve, misalnya. Daripada memberi jawaban dengan kalimat abstrak yang belum bisa dicerna anak, seperti, “Wah, kalau mainan yang itu kemahalan, sayang.” Ada baiknya, memberikan kesan seolah mainan yang ia minta adalah benda yang tak terjangkau bagi Anda. “Begini, Sayang, hari ini Mama tidak punya uang sebanyak itu. Menurutmu, enaknya kita ngapain, ya?” Lantas, jika anak menyebut, ia ingin bermain air, jawablah, “Oke, kamu boleh main air, tetapi habis itu, kita baca buku, yuk?”

6. Buka Telinga
Daripada mulut Anda terus-terusan ngomong, berhematlah bicara. Sekarang dibalik, telinga yang “berbicara”. Ngomongnya cukup sedikit saja. Tahukah Mama, pada saat lebih banyak mendengar, di situlah kita sebenarnya membangun trust dan menurunkan pagar pembatas. Barry Elms menulis, “Jangan pernah memulai negosiasi dengan penawaran atau permintaan. Pertama-tama, bangunlah fakta dan perjelas posisi masing-masing pihak. Negosiator yang baik bisa menebak apa yang sedang dipikirkan oleh orang lain dan mampu menawarkan solusinya.”

Sementara itu, untuk “melucuti senjata” pihak lawan, Stefanie Shaeffer, General Counsel dan Director Imperial Toy, pemenang reality show The Apprentice season 6, ia melontarkan pertanyaan, “Anda maunya apa?” Stefanie selalu berusaha melihat sisi positif dari keinginan pihak lain dan mengakomodasinya.

Suatu hari Sabtu, Mama Arkana (5,5) menjadwalkan main bareng teman sekolahnya, Samantha (5), di kebun binatang Ragunan. Mereka berdua masih ingin lama bermain karena jarang mereka bisa berlarian-larian dengan teman, dan melihat makhluk-makhluk lucu yang biasanya hanya dilihat di layar televisi. Jika anak keukeuh tak mau berpisah dengan temannya, Mama bisa mengatakan, “Kan, nanti di sekolah bisa main bareng lagi.” Ajak anak berpisah dengan saling berpelukan atau cium pipi, lalu jangan lupa tersenyum. Mungkin, berat bagi anak menghadapi situasi semacam ini, akan tetapi, yang tidak boleh dilewatkan adalah tetap menjaga keterikatan emosional. Itu juga salah satu kunci taktik negosiasi.

Ficky Yusrini, jurnalis, mama seorang anak. Tulisan diadaptasi
dari artikel Let’s Make A Deal, oleh Ted Spiker.

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia