Jaga Kedamaian untuk Masa Depan Anak


Di pengujung tahun 2016, ada banyak kejadian yang menjadi catatan kelam dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan hanya di Indonesia, namun juga terjadi di negara adidaya, Amerika Serikat (AS), yang selama ini sangat menjunjung tinggi keberagaman dan kesetaraan.

Masih ingat beberapa waktu lalu, di media sosial sempat ramai perang opini tentang kasus dugaan penistaan agama yang meningkatkan isu sensitif perbedaan agama di tanah air. Di AS, juga terjadi banyak kerusuhan dan unjuk rasa menolak terpilihnya presiden Donald Trump yang dianggap memiliki pandangan represif terhadap kaum minoritas. Di Samarinda,juga terjadi pelemparan bom molotov di gereja Oikumene oleh sekelompok pria yang menggunakan atribut agama tertentu. Di San Diego State University (AS) juga beberapa wanita di wilayah lain di AS, terjadi perenggutan kerudung dan perampokan terhadap wanita muslim oleh sekelompok pria disinyalir pendukung presiden AS terpilih. Semua kejadian tersebut, membuat kita sedih karena ketenangan masyarakat terusik oleh isu perbedaan yang kian meruncing.

Kendati demikian, di AS juga Indonesia, kini juga bermunculan gerakan anti kekerasan dan anti perpecahan. Di Amerika Serikat, ada kampanye penyematan “peniti” di dada sebagai aksi solidaritas menolak sweeping minoritas dan perlakuan tidak adil akibat isu SARA. Di Tampa-Florida, umat Kristen dan Muslim mengadakan
acara bertema “Loving Your Muslim Neighbor” (mari mencintai tetangga muslim) setelah terpilihnya presiden AS yang baru. Di Los Angeles (AS) saat umat muslim menjalankan salat Jumat di tengah aksi kebencian yang merebak, sekelompok anggota komunitas Kristen dan Yahudi (agama mayoritas di AS) melindungi umat muslim sepanjang ibadah berlangsung.

Tak jauh berbeda, di Indonesia seperti di bulan Juli 2016, di kabupaten Alor, NTT, umat Kristen dan Muslim sudah lama terbiasa bergotong royong mendirikan masjid dan gereja. Di Malang, setiap kali jemaah Masjid Agung Jami Kota Malang menggelar ibadah salat Idulfi tri, Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat
(GPIB) Immanuel yang bersebelahan memberikan sebagian halamannya untuk melaksanakan ibadah. Demikian pula, saat GPIB Immanuel mengadakan ibadah Natal 2015 yang bersamaan dengan digelarnya salat Jumat, mereka memohon izin dahulu kepada takmir masjid apabila ibadah tersebut mengganggu ibadah di masjid.

Dan jika digali lebih dalam, akan ada lebih banyak lagi cerita serupa yang terungkap. Ya, sejak dahulu nenek moyang kita dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi keramahtamahan dan toleransi. Oleh karena itu, sebelum kita larut dalam penyesalan atas keadaan yang semakin buruk, tak ada salahnya kita pupuk kembali kekayaan budaya ini pada anak-anak yang kelak menjadi generasi penerus bangsa ini.

Berikut saran dari psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi.Psi, untuk menanam bibit-bibit perdamaian.

- It’s ok to be different
Satu hal yang perlu ditanamkan pada anak adalah ia perlu tahu bahwa
berbeda itu bukan masalah. Ingat, toleransi akan diuji ketika kita menemui sesuatu yang berbeda dengan apa yang ada di diri kita. Oleh karena itu, untuk menanamkan sikap toleransi pada anak, mereka perlu diajarkan bahwa setiap orang dapat memiliki cirinya masing-masing. Saat anak melihat ada temannya yang berambut keriting, bermata sipit, atau berkulit gelap, beritahukan bahwa mereka berbeda namun sebenarnya mereka asyik juga diajak bermain.

“Satu hal lagi, toleransi paling baik diajarkan melalui contoh orangtuanya. Sebagai contoh, anak akan melihat bagaimana kita memperlakukan tetangga kita yang berbeda keyakinan. Atau, anak juga akan belajar ketika orangtuanya memiliki teman yang berbeda-beda,”
ujar Vera.

- Jangan membeda-bedakan orang lain di depan anak
Tanpa kita sadari, kita menanam sikap membeda-bedakan dari perilaku seharihari maupun hal-hal sepele. Coba ingat-ingat kembali, pernahkah kita mengomentari begini, “Ih, si anu matanya sipit sekali ya?” atau “ah, dia kan orang suku anu, makanya begitu…”, dan sejenisnya. Komentar sekecil apa pun yang berbau perbedaan fisik dan SARA (suku-agama ras-antar golongan) dapat membuat anak kelak menjadi pelaku rasis atau anti-SARA.

- Be nice to everybody
Jangan bosan-bosan untuk mengingatkan anak bahwa ia harus
menghargai atau menghormati semua orang yang ditemuinya tanpa memandang perbedaan SARA. “Pokoknya, be nice to everybody,” pesan Vera.

- Filter tayangan berita
Saat anak melihat berita atau tayangan yang mengandung unsur SARA atau kebencian terhadap kelompok tertentu, jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Diskusikan dengan tindakan apa yang sebenarnya lebih bijak dilakukan dari apa yang dilihatnya di layar televisi. “Bila perlu, hindarkan anak menonton tayangan atau berita sejenis itu,” pesan Vera.

Baca juga:
Kenalkan Anak Perbedaan Suku Sesuai Usia
 

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia