Makanan Sebagai Pelarian

Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2003, dimuat dalam Eating Behaviours, 122 orang dewasa ditanya mengenai kebiasaan makannya dan kenangan mereka soal aturan makan di keluarga saat masih kecil. Mereka yang orangtuanya menggunakan makanan sebagai reward alias sebagai alat untuk mengontrol perilaku, lebih besar kemungkinannya untuk ‘terlalu menikmati’ makanan tertentu.

Bukan berarti perilaku di atas pasti disebabkan oleh penggunaan makanan sebagai hadiah dan hukuman saat Anda kecil sih. Beberapa penelitian memang menunjukkan ada keterkaitan tapi bukan selalu merupakan sebab-akibat. Intinya, hal itu membuat kita berpikir soal bagaimana anak mengasosiasikan makanan. Apakah hanya sebagai sumber nutrisi dan pengganjal perut saat lapar, sebagai hadiah saat berperilaku positif atau berhasil melakukan sesuatu, sebagai pelipur lara? Semakin sering orang tua menggunakan makanan sebagai alat untuk mengontrol perilaku si kecil, maka semakin besar kemungkinan si kecil terbiasa makan di saat tidak lapar.

Tapi, bukan berarti Mama sama sekali tak boleh memberi hadiah makanan pada anak. Menurut dr. Grace Judio-Kahl, M.Sc, M.H, CHt, Konsultan Berat Badan dari Shape-Up Indonesia, orangtua boleh saja menawari anaknya makanan sebagai reward asal sesuai konteks, misalnya nih, si kecil merengek minta pulang padahal Anda masih perlu berbelanja di supermarket. Menawarinya eskrim yang juga dijual di supermarket itu jika ia mau menunggu sampai Anda selesai belanja tentu tak akan serta merta ‘merusak’ pandangannya soal makanan. “Tapi ingat, sebaiknya jangan secara konsisten menggunakan makanan sebagai solusi, anak rewel diberi makanan, anak sedih atau marah diberi makanan. Memang itu akan membuat anak berhenti rewel, tapi makanan hanya jadi solusi sementara. Orangtua sebaiknya membantu anak belajar problem solving, kalau anak marah bagaimana mengendalikan rasa marah dan mengatasi penyebab marah, bukan langsung memberikan makanan kesukaan anak agar ia tenang,” jelasnya.

Mama pernah dengar istilah emotional eating? Itu adalah saat orang menggunakan makanan sebagai cara untuk mengatasi perasaan tidak enak. Hampir semua orang pernah melakukannya, menghabiskan sekantung keripik kentang saat bosan, atau makan semangkuk es krim untuk menenangkan diri saat sedang kesal. Nggak papa sih dilakukan sekali-sekali, tapi kalau sering, apalagi kalau tidak disadari, emotional eating akan mempengaruhi berat badan dan kesehatan.

Pola emotional eating biasanya ‘dipelajari’. Seorang anak yang selalu diberi cokelat setiap kali mencapai keberhasilan saat dewasa akan memandang cokelat sebagai reward setiap kali ia atau orang lain berhasil melakukan sesuatu. Anak yang selalu diberi kue atau camilan lain saat rewel akan belajar mengartikan kue dan camilan sebagai sumber rasa nyaman. Saat dewasa, ia akan cenderung kembali ke kenangan akan rasa nyaman tersebut dengan cara yang sama, yaitu makan kue atau ngemil, jadi makan bukan karena lapar tapi karena butuh rasa nyaman.
Emotional eating biasanya terjadi karena kurangnya kemampuan memecahkan masalah. Jadi makanan adalah pelariannya, karena memberikan rasa nyaman. Tapi sama seperti anak kecil yang diberi reward makanan, itu hanyalah solusi temporer, tidak akan mengatasi masalah sebenarnya, kenapa kita merasa sedih, kenapa kita merasa kesal, dan sebagainya,” lanjut dr. Grace.

Photo: Getty Images

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia