Anak Bisa Jadi Korban Bully di Rumah


Terkadang orang tua sengaja atau tidak sengaja menjadi pem-bully atau perundung bagi anaknya. Bully, yang biasanya berupa ancaman, intimidasi bahkan kekerasan, orang tua lakukan untuk mengontrol anak agar mengikuti kemauannya. Persoalan akademik atau pendidikan memang sering mendorong orang tua di Asia bersikap keras terhadap anaknya. “Penyebabnya, karena patokan di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, umumnya memang pada nilai akademik.

Nilai yang bagus, apalagi dari sekolah terbaik, dipercaya bisa mengantarkan anak memasuki dunia pekerjaan yang terbaik dan sukses. Inilah yang membuat para orang tua Asia terlihat lebih keras daripada para orang tua dari belahan barat,” kata Rosdiana Setyaningrum Tarigan M.Psi, MHPEd, psikolog anak dari Rumah Sakit Pluit. Akibatnya, tekanan orang tua agar anak bisa berprestasi dalam belajar pun tinggi. Satu sisi, tuntutan ini memacu anak berprestasi. Tapi, di sisi lain, menurut Rosdiana, akan membuat anak stres dan depresi hingga memilih mengakhiri hidupnya. Di Jepang, misalnya, sudah sering terdengar anak-anak memilih bunuh diri karena gagal dalam urusan studi.

Selain Jepang, Korea selatan dan Cina juga akhir-akhir ini disorot. Data di Kementerian Pendidikan di negara Kpop itu menunjukkan, sepanjang tahun 2009 – tahun 2014, ada 878 kasus siswa bunuh diri. Pada tahun 2014, angkanya bahkan mencapai 118 anak! Jadi, Korea Selatan tercatat memiliki angka bunuh diri pada usia anak-anak tertinggi dari 34 negara anggota Organisasi untuk Pembangunan dan Kerja Sama Ekonomi (OECD). Sementara di negara tirai bambu, kebijakan memiliki anak hanya 1 juga memacu orang tua menjadi begitu ambisius agar anak semata wayangnya berhasil dalam pendidikan.

Selain masalah pendidikan, Rosdiana menuturkan, orang tua cenderung juga keras bila bicara soal disiplin. “Ia ingin anaknya berlaku dan bersikap seperti standar yang diinginkannya. Jika tidak, kekerasan pun terjadi atas nama penegakan disiplin.”

Cara mendidik anak yang bernuansa bully ini sudah menjadi perhatian Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak). Pasalnya, menurut Ketua Komnas Anak, Arist Merdeka Sirait, di Indonesia pun korban mulai berjatuhan, bahkan sudah dikategorikan darurat. Lantaran kasus bunuh diri di di kalangan anak Indonesia terus meningkat. Tahun 2014 saja, Arist menyebutkan, ada sebanyak 89 anak meninggal sia-sia karena kasus bunuh diri.

Sembilan kasus pada anak usia 5 – 10 tahun, 39 kasus pada rentang usia 12 - 15 tahun, dan 27 kasus pada usia 15 tahun. “Anak memilih mengakhiri hidup karena tak tahan pada bimbingan oang tua yang mengedepankan teriakan dan marah-marah,“ ujarnya. Tapi, apakah ini berarti orang tua Asia lebih mem-bully dari orang tua dari belahan barat? “Jawabannya: Tidak juga! Yang dipandang barat sebagai bully belum tentu oleh Asia. Begitu juga sebaliknya.

Orang barat yang  anaknya tak boleh melanjutkan makan jika bertingkah tak sopan saat makan malam mungkin dipandang Asia kejam dibandingkan bila memarahi anak.” Rosdiana juga menggarisbawahi, perlu berhati-hati mencap orang tua pem-bully. Bisa jadi, orang tua tersebut tak tahu bahwa perlakuan mereka terhadap anak sebagai bullying. Mengingat, sewaktu kecil mereka diperlakukan seperti itu oleh orang tuanya.

Cerita Ina, misalnya. “Jika Dinda tak mau belajar, tangan saya gatal mencubitnya. Jujur, saya tak merasa perbuatan ini salah. Dulu, ibu saya sering mencubit saya kalau malas belajar. Dan, saya tak merasa di-bully ibu,” ujar Ina. “Tapi, suatu malam, saat Dinda tertidur, saya melihat bekas cubitan yang saya lakukan. Baru tersadar betapa jahatnya saya,” ujarnya lagi.


Topic

#MentalMerdeka

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia