Beragam Mispersepsi Mengenai Pendidikan Seks




Di masyarakat kita, seksualitas menjadi hal yang masih tabu untuk dibicarakan. Hal ini juga berlaku untuk pendidikan seks bagi anak. Masih banyak orang tua yang canggung atau merasa tidak perlu membahasnya dengan dalih, “Ah, belum waktunya. Mereka masih kecil,” atau, “Nanti mereka juga akan tahu sendiri.”
 
Zoya Amirin, M.Psi., FIAS., sexual psychologist sekaligus seksolog klinis mengamini hal tersebut. Ia mengakui bahwa masih banyak mispersepsi mengenai pendidikan seks. Ia mengatakan, “Edukasi seks itu bukan tutorial senggama.”
 
Menurutnya, topik seksualitas justru perlu diperkenalkan sejak usia dini agar anak-anak teredukasi dengan baik. Zoya memaparkan hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2020, bahwa 33% anak laki-laki melakukan hubungan seks pertamanya dengan pekerja seks. “Kalau anak tidak belajar (pendidikan seks) dari orang tua, lalu mereka pertama kali ‘belajar’ dari orang lain seperti dari pekerja seks ini bagaimana?” ujarnya.
 
Untuk itu, orang tua harus menjadi ‘buku’ pertama anak mengenai seksualitas. Orang tua benar-benar perlu terinformasi dan teredukasi dengan baik mengenai pendidikan seks ini sebelum mengedukasi anak-anaknya. Sayangnya, masih banyak mispersepsi mengenai pendidikan seks dan seks itu sendiri, yang dalam beberapa kasus justru membuat orang tua batal melakukannya, antara lain:
 

Pendidikan Seks Harus Menunggu Anak Sudah Cukup Umur
Yang membingungkan dari sini adalah pada usia berapa anak dianggap ‘cukup umur’. Bila yang dianggap cukup umur adalah sudah menginjak batas usia minimal boleh menikah sesuai Undang-Undang yakni 19 tahun, maka hal tersebut akan sangat terlambat.
 
Pendidikan seks bisa diajarkan sedini mungkin, bahkan sejak anak masih bayi, dengan cara selalu menyebut nama asli dari genitalianya, bukan dengan nama lain, seperti ‘burung’, ‘didi’, ‘pepes’, atau ‘apem’. “Juga jangan menyebutnya kemaluan. Karena tidak ada yang memalukan,” ujar Zoya.
 
Di samping itu, orang tua juga perlu mengucapkan kata ‘permisi’, tiap ingin membersihkan area privat anak. Dengan begitu, sejak masih sangat kecil pun, anak akan paham bahwa orang tua mereka menghargai area privat mereka dengan selalu meminta izin. Ketika semakin bertambah usia, orang tua bisa mengajarkan dan memperagakan area-area yang hanya boleh disentuh oleh anak sendiri dan sentuhan seperti apa tidak boleh dilakukan orang lain pada mereka. Semakin dini anak-anak mendapat pendidikan seks, semakin mungkin mereka bisa menjaga diri dari kejahatan seksualitas.
 

Pendidikan Seks Hanya Membahas Penis dan Vagina
Pendidikan seks memiliki spektrum yang luas. Di dalamnya tidak hanya dijelaskan mengenai genitalia, yakni penis dan vagina saja, melainkan juga bagaimana cara merawatnya, maupun perubahan apa yang akan dihadapi anak ketika mereka mengalami pubertas beserta konsekuensinya. Pendidikan seks mengajarkan anak untuk mengenali anatomi tubuhnya sendiri, otoritas tubuhnya, serta membuat keputusan yang bijak sesuai dengan perkembangan psikoseksualnya.
 

Pendidikan Seks Sama dengan Pelajaran Biologi
Di dalam pendidikan seks memang dibahas mengenai reproduksi yang menjadi bagian dari pelajaran biologi. Namun, di dalam pendidikan seks, materi tersebut tidak bisa menjadi sangat sederhana. Sehingga, ketika anak sudah mendapatkan materi reproduksi di sekolah, bukan berarti mereka sudah tidak butuh pendidikan seks.
 
Zoya mengatakan, “Biologi mengajarkan reproduksi, tapi biologi tidak mengajarkan cara mengambil keputusan. Biologi tidak mengajarkan tentang membuat batasan. Biologi tidak mengajarkan tentang hubungan yang sehat.”
 

Pendidikan Seks Mendorong Anak-anak Berhubungan Seks
Menurut Advocates for Youth, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan seksualitas, pencegahan HIV dan penyakit menular seksual di Washington DC, AS, salah satu kecurigaan orang tua terhadap pendidikan seks adalah bahwa materi ini menormalisasi hubungan seks bahkan di luar pernikahan. Padahal, di dalam pendidikan seks, anak-anak diajarkan mengenai kondisi kesehatan reproduksi, yang mana perempuan yang melahirkan di bawah 19 tahun memiliki kemungkinan yang tinggi untuk terkena kanker serviks, risiko penyakit menular seksual, juga kesiapan psikologis mereka.
 
Salah satu prinsip dalam pendidikan seks yang dipaparkan oleh Zoya yakni abstinence atau pantang, bahkan mengajarkan anak-anak untuk menunda berhubungan seksual sebelum menikah. Bahkan, menurut studi yang dilakukan oleh WHO, pengenalan mengenai kontrasepsi dalam pendidikan seks juga tidak meningkatkan aktivitas seksual atau mengarahkan remaja untuk terlibat hubungan seks pada usia dini. Justru, pendidikan seks dianggap bisa menunda inisiasi anak untuk melakukannya.
 

Pendidikan Seks Tidak Sesuai dengan Moral Kita
Justru pendidikan seks sangat mempertimbangkan moralitas dan tidak mengesampingkan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat kita. Pendidikan seks mendukung pendekatan, bahwa semua orang berhak mendapatkan edukasi tepat mengenai seksualitasnya. Bahkan, pendidikan seks juga mengemukakan nilai-nilai seperti penghormatan terhadap area privat orang lain dan bertanggung jawab untuk tidak menjadikan orang lain sebagai objek.
 
Pendidikan seks juga menjunjung prinsip kesetaraan, yang artinya di dalam hubungan seks dibutuhkan persetujuan satu sama lain. Hal ini penting sebagai dasar hubungan pernikahan yang sehat kelak, bahwa tidak boleh ada unsur pemaksaan dalam berhubungan seks sekalipun sudah menikah.
 

Pendidikan Seks Berguna untuk Mendisiplinkan Anak Perempuan
Di dalam masyarakat yang patriarkis, perempuan sering kali diposisikan sebagai objek. Bila ada kejahatan seksual, sering kali yang disalahkan adalah baju perempuan, jam ia keluar malam, atau karena ia berjalan sendirian. Di dalam skenario ini, perempuan sering digambarkan sebagai pihak yang memunculkan dorongan seksual laki-laki. Akhirnya, hal tersebut memunculkan gagasan bahwa anak perempuan harus bisa mendisiplinkan diri agar tidak mengundang kejahatan seksual.
 
Di samping itu, anak perempuan juga diharapkan bisa mendisiplinkan diri agar tidak hamil di luar nikah. Gagasan tersebut sering kali absen memandang perempuan sebagai korban dan bahwa laki-laki atau pelaku lah yang harusnya bertanggung jawab mendisiplinkan dirinya sendiri: pikiran dan nafsunya. Mereka juga harus mendisiplinkan diri untuk tidak menghamili perempuan di luar pernikahan atau dengan paksaan (no consent).
 
Pendidikan seks tidak berurusan menjadi polisi moral yang bertugas mendisiplinkan. Akan tetapi, pendekatan pendidikan seks yang komprehensif memberikan pandangan tanpa bias gender, bahwa masing-masing orang, baik laki-laki maupun orang lain bertanggung jawab dengan dorongan seksualitasnya masing-masing. Di samping itu, ditegaskan pula bila baik perempuan dan laki-laki mengalami kejahatan seksual, maka bukan mereka yang bersalah.
 
Lela Latifa

Foto: Shutterstock
 

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia