5 Langkah Agar Tak Menumbuhkan Tukang Bully




Pembahasan soal perundungan (bullying) sering kali muncul ketika sudah jatuh korban. Menurut psikolog klinis sekaligus aktivis anti-perundungan serta penulis buku Why Children Bully, Hanlie Muliani, M.Psi, perundungan merupakan salah satu stresor utama anak-anak. Artinya, banyak kasus perundungan yang telah menelan korban, sekalipun bukan dalam bentuk fisik. Artinya, ini juga bisa dilakukan secara verbal, di dunia nyata maupun online.
 
Hanlie menekankan bahwa untuk mengatasi perundungan, kita tidak hanya bisa mengajarkan apa yang harus dilakukan seorang anak ketika mengalaminya, tetapi juga bagaimana mencegah seorang anak agar tidak menjadi pelaku perundungan atau 'tukang bully'. Sebab, jumlah pelaku perundungan tentu lebih banyak daripada jumlah korban lantaran salah satu sifat perundungan adalah masif atau masal.
 
Untuk itu, Hanlie menyebut bahwa untuk mencegah perundungan, penting bagi orang tua untuk menjaga anak-anaknya agar tidak sampai tumbuh menjadi pelaku perundungan. Hanlie menyarankan beberapa hal berikut kepada para orang tua:
 

1. Menjadi Panutan
“Orang tua harus menjadi role model empati dan welas asih dulu untuk anak-anak,” ujar Hanlie. Artinya, sedari kecil, anak-anak harus ditumbuhkan rasa empatinya. Orang tua perlu mencontohkan bagaimana memahami orang lain dan mengerti kesulitan mereka.
 
Selain memberi contoh nyata, hal ini bisa dilakukan dengan cara sering-sering mengajak mereka berdialog, misalnya dengan bertanya, “Kamu lihat anak-anak yang berdagang tisu di lampu merah itu? Kira-kira apa, ya, yang mereka rasakan sekarang?”
 
Dengan sering mengajak mereka bercakap-cakap seperti ini, kemampuan mereka untuk membaca dan memahami perasan orang lain akan terlatih.
 
Hal yang sama juga bisa Anda lakukan ketika Anda melihat atau mendengar langsung ada seorang teman anak yang diolok-olok dengan julukan seperti gendut, hitam, atau sipit.” Alih-alih berdiam diri atau ikut memanggilnya dengan panggilan yang sama, sebaiknya orang tua mengajak anaknya berdialog tentang mengapa teman tersebut diperlakukan demikian.
 
Anda bisa memberinya pertanyaan berikut, “Kira-kira apa, ya, yang dia rasakan kalau dipanggil seperti itu? Kalau kamu diperlakukan begitu, apakah kamu suka?” Pertanyaan seperti ini dapat membuka matanya untuk lebih empati dan tidak ikut melakukannya.
 

2. Stop Membanding-bandingkan Anak
“Hal utama dari perundungan adalah rasa iri,” ungkap Hanlie. Perundungan bisa berasal dari perasaan terancam saat ada anak lain yang tampak lebih menonjol sehingga berpotensi mengalahkan pelaku. Akhirnya, pelaku akan sebisa mungkin berupaya menjatuhkan anak tersebut.
 
Oleh karenanya, perasan ini juga tidak boleh dipupuk sejak dari rumah. Selalu terima anak apa adanya dan hindari membanding-bandingkannya dengan anak lain. Tujuannya adalah agar ia tak terbiasa memiliki perasaan terancam. Orang tua harus mendorong anak-anak untuk menjadi diri mereka sendiri yang lebih baik dari hari ke hari.
 

3. Bantu Mereka Terima Perbedaan
Salah satu hal yang menjadi bahan perundungan, menurut Hanlie adalah perbedaan. Oleh karenanya, Hanlie menyarankan agar orang tua selalu mengedukasi perbedaan, mulai dari suku, agama, ras, bentuk tubuh, hingga minat seorang anak. “Sering kali anak laki-laki yang tidak bisa olahraga jadi bahan bullying. Padahal, dia secara akademik menonjol. Jadi anak-anak perlu tahu tentang minat orang beda-beda. Ketika berbeda, bukan artinya mereka layak untuk disingkirkan,” tuturnya.
 

4. Membangun Kedekatan
“Bukan karena kita orang tua kandungnya, maka otomatis kita akan punya kedekatan dengan anak,” ucap Hanlie. Ia berpendapat bahwa kedekatan orang tua dan anak harus dibangun. Kedekatan orang tua dengan anak membuat mereka merasa diterima dan memiliki perhatian. Ini akan menghindarkan mereka dari upaya mencari perhatian dengan cara yang salah, seperti melakukan perundungan.
 

5. Aktif Berkomunikasi
Orang tua harus menjadi figur yang nyaman untuk bercerita, sehingga anak merasa tidak dihakimi, disalahkan, atau dikotbahi. Hal ini membuat anak mau bercerita bila ada masalah di luar rumah. “Dengan sering berkomunikasi, perilaku anak jadi lebih bisa terobservasi. Akhirnya, orang tua juga jadi tidak kecolongan,” pungkas Hanlie. 


LELA LATIFA
FOTO: FREEPIK

 

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia