Benarkah Anak-Anak Sekarang Lebih Kebal COVID-19?

benarkah anak-anak kebal COVID-19?


COVID-19 pada anak-anak kerap kali dianggap ringan, apalagi banyak anak yang terinfeksi menunjukkan gejala ringan atau tidak muncul gejala apa pun. Bahkan, beberapa waktu lalu, dilansir dari Detik Health, Pandu Riono, seorang epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) mengatakan bahwa sebagian besar anak di Indonesia sudah memiliki kekebalan terhadap COVID-19.
 
Hal tersebut yang membuat Pandu yakin pembelajaran tatap muka (PTM) tetap bisa dijalankan, di tengah merebaknya varian Omicron. "Sebagian besar anak Indonesia, 70 persen, walaupun belum PTM sudah terinfeksi, sudah kebal. Nanti divaksinasi sambil sekolah jalan, akan semakin kebal, dan lebih bisa belajar di tempat (di sekolah)," ujar Pandu, ditulis di Detik Health.
 
Baca juga: 43 Sekolah di Jakarta Tutup Karena COVID-19, Ini Anjuran IDAI soal PTM
 
Anak Bukan Angka
Pendapat lain disampaikan oleh dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K), Ketua Umum PP IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia). Intinya, kita tidak semestinya menganggap remeh COVID-19 pada anak-anak dan mengabaikan keselamatan mereka. Anak-anak tetap bisa tertular dan menularkan COVID-19.
 
Lebih jauh ia menjelaskan bahwa kerap kali terjadi salah kaprah saat berbicara mengenai infeksi COVID-19 pada anak. “Di awal, kita berasumsi bahwa anak itu kebal, kalau kena nggak ada gejala. Tapi makin ke sini kita makin belajar. Pertama, anak bisa tertular dan menularkan. Ada banyak penelitian yang menyebutkan bahwa penyebaran virus pada anak terutama melalui saluran cerna itu bisa lebih lama. Sehingga concern- nya bukan hanya pada si anak, tapi keluarga yang tinggal serumah. Di Indonesia banyak yang tinggal 3 generasi, ada kakek-nenek, orang tua, dan anak. Ketika anak pulang, dia lebih berisiko menulari orang-orang yang lebih rentan (di sekitarnya),” kata dr. Piprim.
 
Dokter ahli kardiologi anak dari RSCM/FKUI tersebut mengatakan bahwa untuk anak-anak, kita tidak bisa menganggap sesederhana ini: 70% itu sebagian besar kebal, cuma sedikit yang tidak kebal, ayo masuk (PTM) saja! “Kan, nggak bisa begitu. Kalau kebetulan yang 30% masuk sekolah semua sama-sama, dia akan menjadi titik lemah, jika dia tidak kebal, ada komorbid, sakit kronik. Ini sangat berbahaya buat anak itu. Dan, bagi kami, anak itu bukan semata persentase. Bagi orang tuanya, anak adalah segalanya. Nggak bisa kita abaikan dengan sudut pandang kesehatan masyarakat semata,” papar dr. Piprim.
 
Karena itu, dalam memberikan rekomendasi, dr. Piprim mengatakan bahwa memang IDAI terkesan sangat hati-hati dan konservatif. “Karena bagi kami, kesehatan anak-anak itu menjadi prioritas lebih dulu dibandingkan yang lain-lain,” tuturnya. Baca juga: 13 Rekomendasi Terbaru IDAI Soal Vaksin COVID-19 pada Anak 6-11 Tahun

 
Menanggapi pendapat bahwa vaksinasi tidak dipakai sebagai syarat untuk anak PTM, dr. Piprim menegaskan bahwa IDAI sulit menerimanya. “Karena kami tidak mau coba-coba, ingin bermain aman. Buat anakkok, coba-coba!” Dengan demikian, pemberian vaksinasi lengkap kepada anak sangat penting, untuk menjadi salah satu tameng mereka, selain menerapkan protokol kesehatan dengan baik dan benar. 
 
Baca juga: Haruskah Anak PAUD dan TK Mengikuti PTM?
 
Waspada Komplikasi Pascainfeksi COVID-19
Salah satu alasan kita tidak boleh meremehkan anak-anak dalam pandemi ini, disampaikan dr. Piprim, berdasarkan laporan dari beberapa negara, proporsi anak yang dirawat di rumah sakit akibat terinfeksi COVID-19 varian Omicron lebih banyak dibandingkan varian-varian sebelumnya. Anak juga potensial mengalami komplikasi berat, yaitu MIS-C (Multisystem Inflammatory Syndrome in Children), yang terkait dengan COVID-19 dan komplikasi Long COVID sebagaimana orang dewasa.
 
“Jadi, walaupun proporsinya sedikit, dan sering dikatakan anak, sih, (gejalanya) ringan jika terinfeksi COVID-19, ada sebagian yang bisa mengalami MIS-C dan Long COVID. Kondisi pasien kasihan sekali. Saya di bagian kardiologi anak, anak-anak dengan MIS-C kontraksi jantungnya sangat lemah. Anak bisa mengalami gagal jantung,” papar dr. Piprim, pada webinar, 14/01/2022.
 
Memang gejala infeksi akut bisa ringan. Tapi kita harus tahu bahwa pada anak, bukan hanya pada saat infeksi akut saja yang perlu diperhatikan. Ada beberapa kondisi pada saat infeksi akut gejalanya ringan atau tanpa gejala, tapi dalam kurun waktu 2-6 minggu kemudian timbul gejala peradangan hebat. “Baru kemudian timbul demam, ruam-ruam, benjolan di leher, kondisi shock, beberapa muntah-muntah. Ini namanya MIS-C. Karena itu, kami advokasi dari awal untuk berhati-hati. Karena kalau MIS-C bisa dideteksi dan ditangani dengan cepat, itu hampir tidak ada gejala sisa. Kesembuhannya hampir 100%. Tapi seandainya kita tidak tahu status anak ini pernah terinfeksi atau tidak, lalu ternyata timbul gejala seperti tadi dan missed (tidak ditangani), maka bisa mengalami gangguan yang sifatnya bahkan menetap,” papar dr. Piprim.
 
Baca juga:
Siapkan Anak untuk Vaksin COVID-19 untuk Anak 6-11 Tahun
Klaster Sekolah Meningkat, Apa Saja Gejala COVID-19 yang Paling Sering Muncul pada Anak
Hasil Survei: 60,7% Orang Tua Khawatir Risiko COVID-19 Bila Anak Masuk Sekolah
Serba-Serbi Vaksin Booster yang Dimulai 12 Januari
 
Grc
Foto: FREEPIK

 


Topic

#usiasekolah #kesehatananak #pendidikan #vaksinasi #PTM

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia