3 Perangkap Parenting Paling Umum


 

Setelah menjadi orang tua, Anda mungkin menyadari bahwa ini adalah pekerjaan terberat yang hadir di dalam kehidupan Anda. Mengasuh anak bukan hanya soal mencari uang untuk memenuhi kebutuhannya, memberinya makan dengan asupan-asupan terbaik, atau menyekolahkannya di tempat paling favorit serta mahal. Tidak. Mengasuh anak-anak lebih sulit dari itu.


Hampir setiap hari, peran Anda sebagai orang tua akan diisi dengan belajar. Ya, belajar mengenalinya, belajar memahami keinginannya, belajar berkompromi dan membuat kesepakatan.


Banyak juga orang tua yang mengeluhkan bahwa hal yang paling sulit dari semua itu adalah mendisiplinkan anak atau mengarahkan anak kepada perilaku-perilaku baik yang kita harapkan. Matthew H. Rouse, Ph.D., MSW, psikolog klinis di New York, AS, mengatakan bahwa walau parenting nampaknya sudah menjadi praktik sehari-hari, akan tetapi masih banyak kesalahan yang mungkin tidak sengaja dilakukan orang tua. Ia mengibaratkan kesalahan-kesalahan tersebut sebagai pasir hisap, Anda terhisap sedikit demi sedikit sampai Anda terjebak.


Apa saja bentuk-bentuk perangkap yang bisa menjadi pasir hisap bagi para orang tua tersebut?

1. Perangkap Volume yang Meningkat

Ketika Anda menolak permintaan anak-anak berdasarkan kesepakatan atau aturan yang sudah dibuat, mereka bisa saja menanggapi dengan merengek, memohon, atau bahkan mengamuk. Volumenya yang meningkat pada akhirnya membuat Anda lelah dan akhirnya mengalah. Anda menyerah untuk berpegang teguh pada kesepakatan awal dan menuruti si kecil untuk membuatnya menghentikan rengekan itu.


Percayalah bahwa memang tidak mudah untuk menenangkan si kecil dan mengarahkannya untuk tetap mengikuti kesepakatan atau aturan. Akan tetapi, Matthew mengingatkan bahwa dengan selalu menuruti permintaannya ketika volumenya mulai meningkat, anak-anak Anda akan belajar bahwa caranya mendapatkan keinginannya adalah dengan selalu menjadi lebih keras, mengamuk lebih kencang, lebih banyak merengek, lebih banyak menangis. "Pembelajaran ini meningkatkan kemungkinan bahwa lain kali ia menemukan jawaban tidak dan frustrasi, ia kemungkinan besar akan mencoba strategi yang sama lagi," ujarnya.


Perangkap ini juga bisa terjadi dalam kasus lain. Misal, saat Anda meminta anak-anak mandi, namun mereka tetap tak bergerak karena masih main. Pada akhirnya, setelah beberapa menit, Anda akan meningkatkan volume suara untuk pertama kalinya dan kedua kalinya. Hingga, di ke tiga kalinya saat volume terdengar semakin meningkat dan terlihat marah, barulah anak-anak meninggalkan mainannya dan berlari ke arah Anda. 


"Mereka tahu bahwa mereka tidak benar-benar harus bergerak sampai Anda menaikkan suara Anda," ujar Matthew. Perangkap ini membuat mereka belajar bahwa saat pertama kali Anda mengatakan sesuatu, hal itu tidak terlalu penting. Mereka bisa meyakini bahwa Mama atau Papanya tidak bersungguh-sungguh kecuali mereka berteriak.


2. Perangkap Fase

Perangkap lain yang membuat orang tua jatuh ke dalam pasir hisap adalah ketika membenarkan semua perilaku bermasalah anak dengan pikiran, "Ohh, ya, tidak apa. Wajar, ini memang fasenya dia begitu". 


Misal, saat ia merebut mainan anak lain atau memukul temannya di play date. Anda mungkin saja terjebak pada pikiran bahwa memang saat ini fase perkembangan si kecil belum memungkinkan untuk berkomunikasi dengan baik dengan temannya. Di samping itu, Anda mungkin juga meyakini bahwa memukul adalah fase yang akan berlalu. Akhirnya, Anda pun mengabaikan perilakunya dan tidak berusaha mengatasinya. 


Anda mungkin tak melihat apa yang dilakukan anak Anda sebagai perilaku agresif. Walaupun semua fase itu akan lewat, akan tetapi Matthew mengatakan bahwa cara Anda dan orang lain menanggapinya mungkin menjadi kunci seberapa cepat hal itu hilang.


Menurut Matthew, jika anak-anak menguji batas-batas orang di sekitar mereka, dan tidak ada yang mengintervensi, mereka belajar bahwa perilaku negatif semacam ini dapat diterima, atau bahkan menarik perhatian. Jika hal itu diajarkan sejak kecil, semakin mudah bagi mereka untuk menerimanya. "Semakin sulit untuk dibatalkan seiring bertambahnya usia anak," imbuhnya.


3. Perangkap Kambing Hitam

Ada kalanya, anak-anak tak bisa diajak bekerja sama. Akan tetapi, ada kalanya juga orang tua terjebak menjadikan anaknya sebagai kambing hitam. Misal, si kecil tak kunjung segera bersiap-siap saat Anda akan menitipkannya ke rumah neneknya karena harus menghadiri rapat. Anda kemudian mengatakan, "Mama bilang, kamu harus cepat siap-siap. Kalau seperti ini, jadinya terlambat. Ini rapat yang penting sekali untuk Mama. Gara-gara kamu lambat, Mama bisa kena masalah."


Matthew mengatakan bahwa nada-nada seperti itu dari orang tua berarti menafsirkan perilaku anak sebagai sesuatu yang dilakukan dengan sengaja untuk mengganggu atau membebani Anda. Padahal, mereka mungkin belum punya kemampuan untuk mengikuti permintaan Anda dengan baik. Bahayanya perangkap ini adalah Anda menjadikan anak Anda sebagai kambing hitam atas masalah yang harus Anda hadapi.


Akhirnya, mungkin anak tersebut mengalami kesulitan secara emosional, atau tidak memiliki strategi mengatasi masalah yang berkembang dengan baik untuk mengatasi kecemasan. Di samping itu, ia juga memiliki kecemasan untuk melakukan apa pun karena khawatir berdampak buruk pada orang tuanya. Sebab, pada dasarnya, anak-anak selalu ingin menyenangkan orang tuanya.

 

Baca juga:

Saat Hendak Marah Pada Anak, Lakukan 3M

Wajib Tahu! Batasan Saat Marah pada Anak

Jangan Marah Salah Momen, Ma!

3 Fase Perkembangan Anak Prasekolah

 

 

(LELA LATIFA)

FOTO: FREEPIK

 

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia