Dampak Membeda-bedakan Anak Laki-laki dan Perempuan bagi Tumbuh Kembangnya




“Anak laki-laki kan kuat, nggak boleh nangis!”,
“Anak perempuan harus lembut, dong.”
“Laki-laki, kok, mau belajar masak, sih?”
“Ini perempuan, kok, mainnya robot-robotan?”
 
Kalau boleh jujur, pernah tidak mengatakan satu dari sekian contoh tadi? Disadari atau tidak, kita sering membeda-bedakan antara anak laki-laki dan perempuan hanya karena kita sudah terbiasa dibesarkan dan tumbuh dengan pemikiran-pemikiran tersebut.
 
Laki-laki harus kuat dan tidak boleh masak serta perempuan harus lembut serta tidak pantas bermain robot-robotan adalah salah satu bentuk stereotip gender yang paling kita kenal luas. Stereotip gender sendiri adalah peran yang dibentuk oleh masyarakat luas serta dipercayai harus berlaku demikian.
 
Padahal, apa yang salah dengan anak laki-laki yang belajar memasak? Memasak adalah salah satu kemampuan dasar yang harus dikuasai setiap orang, kan? Apa salahnya juga bila laki-laki menangis? Mereka berhak menyadari dan mengekspresikan emosinya. Demikian pula dengan anak perempuan. Menyatakan pendapat saja sudah dianggap agresif dan dituntut untuk selalu lembut. Lagipula tak ada yang salah juga dengan bermain robot bagi anak perempuan, kan?
 
Stereotip seperti itu memang sudah mendarah daging dan dianggap lumrah dalam masyarakat kita.  Jayneen Sanders, seorang penulis yang berfokus pada anak-anak dan advokat kesetaraan gender dalam bukunya No Difference Between Us mengungkapkan bahwa stereotip gender memiliki peran penting dalam membentuk persepsi pada anak-anak tentang bagaimana seharusnya menjadi laki-laki atau perempuan. Secara umum praktik membeda-bedakan anak berdasar jenis kelamin yang stereotipikal ini akan membuat anak fokus pada 'mana yang seharusnya mereka' dan 'mana yang seharusnya tidak mereka'.

Menurutnya, stereotip gender bisa melekat bahkan sejak usia anak-anak. Anak-anak usia 2-6 tahun akan banyak belajar stereotip tentang mainan dan kegiatan yang terkait dengan jenis kelamin. Misalnya boneka untuk anak-anak dan mobil-mobilan untuk laki-laki. Anak-anak usia 7-10 tahun mulai mengaitkan sifat atau kualitas tertentu pada laki-laki dan perempuan seperti laki-laki itu kuat, sementara perempuan lebih lemah.

Ada beberapa dampak bagi tumbuh kembang anak ketika mereka terus tumbuh di lingkungan yang stereotipikal seperti ini, antara lain :
  • Membatasi pilihan anak
Karena stereotip gender yang telajur melekat, anak laki-laki akan menolak keras warna merah muda atau toska. “Laki-laki itu, ya, pilih hitam” bisa saja menjadi slogan. Sementara itu, anak perempuan juga hanya akan fokus pada warna-warna merah muda atau pastel. Mengapa tidak membuat mereka bebas memilih?
 
  • Membatasi kreativitas dan imajinasi anak
Karena stereotip  yang bias, anak perempuan yang bermain mobil-mobilan akan dianggap tidak wajar. Begitu juga sebaliknya ketika anak laki-laki bermain boneka. Padahal, ketika bermain justru kreativitas mereka berkembang. Imajinasi mereka akan lebih luas apabila mereka memiliki pengalaman permainan yang variatif.
 
  • Menghambat tumbuh kembang anak
Sering kali anak perempuan utamanya punya stereotip sebagai pribadi yang lembut dan anteng. Karenanya, dianggap tidak baik apabila mereka main kejar-kejaran atau aktivitas lain di luar ruangan yang mengutamakan fisik. Hal ini akan membuat kesempatan mereka untuk melatih kemampuan motorik kasarnya terhambat.
 
  • Anak tidak bisa memahami emosinya
Kita juga sering kali mengatakan pada anak laki-laki bahwa, “Laki-laki nggak boleh nangis, dong.” Memang kenapa bila anak laki-laki menangis? Apakah mereka tidak boleh memiliki emosi sedih? Stereotip gender yang demikian akan membuat mereka kacau dalam memahami emosinya sendiri. Padahal, kemampuan mengenali emosi adalah hal yang sangat penting dalam perkembangan anak-anak.
 
  • Membatasi pilihan cita-cita anak
Akan menjadi aneh ketika ada seorang anak perempuan yang ingin menjadi pemadam kebakaran, karena mayoritas petugas pemadam kebakaran adalah laki-laki. Hal yang sama juga terjadi pada anak laki-laki yang ingin menjadi perawat, karena mayoritas perawat adalah perempuan. Stereotip gender seringkali mengajarkan anak tentang keterampilan yang harus mereka miliki dan menjadi apa mereka seharusnya di masa depan. Bukankah sebaiknya kita membuka semua kemungkinan selebar mungkin untuk cita-cita anak?
 
  • Tumbuh Jadi Tukang Bully
Rebecca Bigler, Ph.D, profesor Developmental Psychology dari Pennsylvania State University, AS mengatakan bahwa anak-anak yang hidup dengan stereotip gender akan lebih mudah membuat labelling. Mereka akan mengaitkan gender dengan kelebihan dan kekurangan tertentu. Misalnya label bahwa laki-laki kuat dan bisa melakukan pekerjaan berat.
 
Hal ini bisa mendorong mereka melakukan olok-olokan atau bahkan bully pada perempuan yang dilabeli sebagai si lemah. Hal ini juga akan berlaku sebaliknya ketika ada anak laki-laki yang tidak bisa mengerjakan pekerjaan berat, maka ia juga bisa diolok-olok karena kelemahannya tersebut.
 
Baca juga:
6 Nilai yang Harus Ditanamkan pada Anak Laki-laki
Anak Laki-laki Penyuka Pink, Perlukah Khawatir?
5 Langkah Membesarkan Anak Perempuan Pemberani
Anak Perempuan Suka Mainan Laki-laki?
Pertemanan Anak Perempuan dan Laki-Laki
 
 
LTF
FOTO: FREEPIK

 


Topic

#polapengasuhananak #tumbuhkembanganak

 





Video

Lindungi Anak dari Kejahatan Pedofilia


Polling

Dampak Membeda-bedakan Anak Laki-laki dan Perempuan bagi Tumbuh Kembangnya

Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia