8 Gaya Mengurus Anak Khas Indonesia


Suatu sore, Mbak Tini, asisten saya di rumah, melontarkan pertanyaan yang membuat telinga saya berdiri, “Adek (si bungsu) sudah mandi beneran? Kok, mukanya nggak pakai bedak?” Munculnya kembali hukum ‘sudah mandi = pakai bedak’ itu langsung mengingatkan saya dengan masa kecil.

Tiap sore, anak-anak kecil berkerumun di pojokan kampung, serba wangi oleh sabun mandi, namun wajah cemong berkat bedak putih yang dioleskan dalam porsi sangat dermawan. Tidak berhenti di sana, benak saya pun keluyuran bernostalgia, kepada minyak telon, selendang batik, aneka aturan. Segala macam peranti dan strategi mengurus anak yang disebut jadul, tetapi jangan-jangan sebetulnya mesti kita lestarikan. Karena semua itu, ‘Indonesia banget’. Berikut ini hasil obrolan penulis dengan  tiga mama Indonesia yang menikah dengan pria WNA dan menetap di luar negeri.

1. Minyak Telon
Ini adalah produk perawatan anak dan bayi yang paling umum bagi ibu-ibu di Indonesia, sejak zaman dahulu. Kata telon sendiri berasal dari bahasa Jawa telu (tiga), mengacu kepada jumlah bahan pembuatnya: minyak adas, kayu putih, dan minyak kelapa sebagai pelarut. Seiring perkembangan zaman, fungsi pelarut kadang diganti dengan minyak-minyak yang lebih ‘gaya’, seperti lavender atau zaitun.

Kolaborasi fungsi ketiga minyak itu memberikan sensasi hangat ketika dioleskan pada kulit, karena memperlebar pembuluh darah, sehingga aliran darah lebih cepat. Wanginya pun khas, memunculkan efek aromaterapi yang menenangkan anak-anak, juga sang ibu. Kegiatan mengoleskan minyak pada bayi disertai pijatan lembut juga diyakini menambah kedekatan emosional bayi dengan orang yang merawatnya. Begitu banyak manfaat yang dikandungnya, tak heran bila minyak telon identik dengan bayi/anak Indonesia. Sampai muncul konotasi bau bayi =
bau minyak telon.

Sebetulnya, seberapa penting, sih, peran minyak telon? Beberapa dokter anak menyatakan, pemakaian minyak telon setelah mandi memang bermanfaat. Walaupun mandi dengan air hangat, setelah keluar dari air, bayi cenderung merasa dingin. Minyak telon membantu tubuh bayi tetap hangat. Itu berarti bayi bebas dari keharusan membakar energi untuk menghangatkan tubuh, sehingga dapat menghemat energinya demi fungsi lain. Minyak telon cukup dioleskan sewajarnya saja di dada, perut atau punggung. Hindari mengoleskannya pada tangan bayi, karena bayi suka memasukkan tangan ke dalam mulut.

Kathy Kimpton, yang menikahi pria Australia, mengaku bahwa minyak telon, bedong (swaddle cloth) dan sarung tangan kaki bayi; adalah must have item yang dibekalkan oleh keluarganya dari Indonesia. Kathy menggunakan semua perlengkapan itu bukan sekadar mengikuti perintah orang tua, melainkan karena terbukti bermanfaat bagi bayi. “Di Australia, perawat kesehatan bayi juga menganjurkan pemakaian bedong, karena memberikan rasa nyaman dan aman kepada bayi, seperti ketika mereka berada dalam rahim,” ujarnya.

Sedangkan Iin P. Cox. yang tinggal di Amerika, tidak mengoleskan minyak telon karena kulit anaknya sensitif. Namun, dia rajin memanfaatkan ramuan alami khas Indonesia untuk obat atau perawatan. Misalnya, boreh minyak dan bawang merah untuk mengusir masuk angin.

2. Bedak seusai mandi
Fungsi bedak menurut deskripsi Mbak Tini adalah agar kulit halus, wangi, dan penanda status sudah mandi. Tetapi, apa sebetulnya kegunaan bedak pada kulit anak? Fungsi utamanya adalah mengurangi keringat (anak merasa segar dan nyaman), mencegah ruam, dan sebagai pelicin permukaan kulit agar tidak lekas lecet. Karena itu, sebaiknya bedak memang hanya dioleskan pada permukaan kulit. Penggunaan bedak pada alat kelamin tidak disarankan karena berisiko menimbulkan iritasi dan infeksi pada vagina. Membubuhkan bedak ketika kulit tengah berkeringat juga kurang baik, karena dapat menyebabkan biang keringat. Alih-alih menggunakan spons, lebih baik bila kita mengoleskan bedak dengan tangan, supaya ada bonus efek sentuhan yang menenangkan dan mempererat hubungan ibu dan anak.

3. ‘Penitipan Anak’ termurah di dunia
Tinggal di Indonesia yang serba guyub penuh kekeluargaan, sering memunculkan keluhan tentang tak ada privacy karena pembantu yang penuh rasa ingin tahu, para tante yang terlalu ikut campur, ibu yang stok omelannya tak pernah habis, mertua yang mengawasi cara kita memperlakukan cucunya (= anak kita) dengan tatapan setajam elang.

Asal tahu saja, Ma, seharusnya kita mensyukuri kehadiran rombongan ‘pengganggu’ itu. Tanpa mereka, para ibu bekerja pasti harus membawa anak mereka ke kantor, lantaran fasilitas penitipan anak masih belum marak di Indonesia. Yang lebih ekstrem, ketika si kakak mendadak opname di rumah sakit, misalnya, untunglah ada nenek yang bisa mengurus si adik di rumah. Barangkali memang tidak seprofesional staf daycare sungguhan. Namun akui lah, keluarga dan kawan dekat adalah support system yang luar biasa penyayang dan fleksibel bagi kita dan anak-anak. Drama-drama yang menyertai? Anggap saja itu sebagai tanda jasa yang harus kita bayar.

4. Gendongan kain batik
Saya punya memori khusus tentang selendang batik Nini (nenek) yang ‘sakti’. Tiap kali si sulung rewel waktu bayi, dan tak mempan oleh apa pun, maka keluarlah senjata rahasia itu: selendang batik. Entah kenapa, begitu digendong dengan kain batik, si sulung jadi tenang. Padahal, apa, sih, kehebatan sehelai kain itu, dibandingkan aneka macam alat gendongan bayi modern yang punya 1001 fungsi dan pengaturan posisi? Pertama, tentu saja faktor kenyamanan. Kain yang tipis sejuk, mudah dibentuk dan tidak licin, dapat ‘membungkus’ tubuh anak dengan nyaman.Posisi tubuh anak dalam gendongan yang melekat pada tubuh mamanya, membuat anak lebih tenang, karena dia dapat mendengar detak jantung mama.

Kedua, praktis dan hemat. Seiring dengan pertumbuhan anak, posisi dan cara menggendong pun dapat diubah, dengan menggunakan kain yang sama. Bahkan kain selendang bisa berubah fungsi jadi selimut atau alas tidur. Yang mesti diwaspadai adalah apabila penggendong belum bisa mengenakan dan memasangnya dengan benar. Gendongan harus betul-betul terkunci agar aman. Berat tubuh anak yang menekan hanya sebelah bahu juga kadang menjadi kendala. Bila salah posisi, efek terbesarnya bukan pada tubuh bayi, melainkan penggendong, yakni
risiko sakit punggung atau pinggul.

“Saya memilih kain batik untuk menggendong Rya, karena ringan, praktis, bisa dilipat kecil. Jauh lebih mudah dibawa, dibandingkan stroller atau carrier lain,” jelas Iin. “Ibu-ibu di sini jadi tertarik dan suka minta diajari cara menggendong anak pakai kain batik.”

Ngomong-ngomong, sekarang muncul banyak varian motif modern, bahkan gambar kartun, untuk kain/ selendang gendongan, yang sering disebut cukin ini. Sebetulnya, selendang batik untuk menggendong anak memiliki motif khusus, yang dimaksudkan sebagai doa. Misalnya, motif serupa hujan pada batik Jawa, yang mengharapkan kesuburan dan kesejahteraan. Begitu pun gambar merak atau bunga yang cantik, serta
naga yang gagah.

5. “Tangan manis, dong, Sayang”
Eh, kasih mainannya pakai tangan yang bagus, dong!” Kalimat itu acap terdengar di sini. Kebiasaan mengutamakan tangan kanan pun ternyata sangat khas Indonesia. Sebetulnya, dari mana asal muasal diskriminasi tangan kiri di Indonesia? Konon, karena kita memiliki kebiasaan (maaf) cebok atau melakukan hal-hal ‘kotor’ lain dengan tangan kiri, maka tangan kanan relatif lebih bersih, dan dipandang layak bersinggungan dengan orang lain.

Dari sisi tinjauan bahasa, kata kiri juga sering berkonotasi kepada sesuatu yang kurang baik. Artefak dari masa lalu hingga benda-benda modern pun memosisikan tangan kanan sebagai yang lebih utama. Misal, patung raja memegang keris dengan tangan kanan, posisi tombol pada kamera, dll. Bagaimana pun, secara umum tangan kanan memang relatif lebih terampil.

Di banyak negara Barat, tangan kanan dan kiri dianggap sederajat. Namun, demi etika di Indonesia, Kathy dan Pungky membiasakan anak-anak menggunakan tangan kanan saat menerima atau memberikan sesuatu. Untuk itu, tidak hanya kepada anak, kepada suami pun mereka harus memberikan alasan yang tepat.

“Saat kami di Indonesia, saya perlihatkan kepada anak-anak tentang budaya toilet yang asli. Itu cukup menjelaskan kenapa sebaiknya pakai tangan kanan. Hasilnya cukup ampuh!” tutur Kathy. Kendati demikian, Kathy juga menekankan untuk tidak melecehkan orang yang tangan kanannya kurang terampil. Suaminya sendiri pernah di-bully lantaran kidal. Bila anak kidal, tidak perlu memaksakan semua tugas kepada tangan kanan hanya untuk alasan kepantasan. Cukup memenuhi tugas-tugas kesopanan saja, seperti salaman atau
mengulurkan barang. Tangan kanan maupun kiri sama baik, dan memiliki fungsi masing-masing.

6. Makan disuapi dan penuh perjuangan
Pemandangan para ibu atau pengasuh yang berkumpul di jalan kompleks sore-sore, masing-masing membawa piring di tangan, dan sibuk berteriak, "Haaakk..., haaakk," sambil berusaha menyuapkan makanan kepada anak asuh mereka, masih sering kita temui hingga kini. Anak-anak yang lebih kecil biasanya digendong untuk mempermudah proses menyuapi.

Tahukah Mama bahwa kebiasaan ini pun ‘Indonesia banget’? Perasaan khawatir anak tidak cukup makan adalah dorongan terbesar budaya menyuapi. Bila acara makan sembari bermain atau melakukan hal-hal lain, diharapkan mulut-mulut mungil itu akan lebih cepat mengunyah suapan demi suapan, dengan sadar maupun tidak.

Padahal, sebetulnya kegiatan ini cukup berisiko pada anak, yaitu kemungkinan tersedak, muntah, atau mengemut, lupa mengunyah karena terlalu banyak distraksi. Idealnya, kegiatan makan dilakukan dengan duduk menghadap meja. Gendongan pun dapat diganti dengan high chair atau seat booster. Pun, sesuai umur, anak dapat dilatih makan sendiri. Sebagai orang tua, sangat wajar bila kita khawatir anak kurang asupan gizi, dan akhirnya memilih jalan pintas menyuapi atau memaksa ia makan, selama apa pun proses makan itu berlangsung. Tetapi sebenarnya, sesekali membiarkan anak merasakan lapar pun boleh dilakukan.

Berlawanan dengan kebiasaan menyuapi, masyarakat Prancis terkenal bersikap tegas terkait budaya makan. Pungky Utami yang bersuamikan orang Prancis merasakan sendiri ‘seni’ tersebut, saat berusaha membiasakannya kepada anak. Selama kegiatan makan berlangsung, anak duduk
rapi di kursinya, makan sendiri semua yang dihidangkan dengan tenang. Bila anak menolak makan, mereka dibiarkan lapar sampai waktu makan berikut, agar dapat menghargai makanan.

Acara makan bukan sekadar memenuhi kebutuhan perut, melainkan juga simbol kebersamaan. Memang tidak mudah. Toh, Pungky tidak berjuang sendirian. “Kalau mengikuti pola urus anak ala Prancis, itu berarti bapaknya harus terlibat. Jadi, bapak punya porsi tugas yang sama dengan ibu,” ujarnya.

7. Budaya salim
Jika Thailand punya salam ‘sawasdhee’ (mengatupkan tangan di depan dada), orang Jepang membungkukkan tubuh, orang Eropa cipika-cipiki; maka orang Indonesia punya salim. Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak memunculkan deskripsi kata ‘salim’ terkait kegiatan memberikan salam atau greeting.

Tetapi orang Indonesia pada umumnya tahu apa itu salim, yaitu berjabat tangan, lalu menempelkan punggung tangan ke dahi, hidung, bibir, atau pipi, untuk menunjukkan penghormatan kepada orang yang lebih tua. Diduga, kebiasaan itu berasal dari budaya sungkem, namun belum ditemukan referensi jelas.

Baik Kathy, Pungky, maupun Iin mengajarkannya kepada anak. Bagi Iin, penting bahwa Rya selalu ingat dan mengenal baik budaya Indonesia. “Jadi tidak hanya salim, melainkan juga sopan santun sehari-hari lain, seperti lepas sepatu/ sandal ketika masuk rumah,” ujarnya. Jabat tangan sendiri adalah bahasa tubuh yang relatif umum. Tambahan mengecup tanganlah yang menjadikannya unik.

Di Barat, pria pun kadang mengecup tangan wanita, untuk menunjukkan penghormatan. Mungkin karena itu pula, orang Barat cukup memahami kebiasaan ini. Bahkan, ketika kami tinggal di Tokyo, guru si sulung yang berasal dari Amerika menunjukkan apresiasinya tatkala melihat anak kami salim kepada ayah-ibunya. Memang ada kekhawatiran soal higienitas. Karena itu, saya tidak menganjurkan anak mengecup tangan. Sebagai ganti, mereka cukup menyentuhkan ke dahi atau pipi. Itu sudah patut untuk melestarikan salim yang khas Indonesia.

8. Tidur dikeloni
Kelon, menurut definisi kamus, adalah memeluk dengan kasih sayang sambil berbaring supaya tidur. Ini salah satu strategi mujarab untuk lekas menidurkan anak dan menjaga ia tetap pulas. Kenapa anak Indonesia terbiasa dikeloni? Konon, karena biasanya rumah di Indonesia dihuni banyak keluarga, maka anak harus menempati satu tempat tidur bersama orang tua. Berbeda dengan di Amerika, misalnya, yang sejak bayi anak dibiasakan tidur sendiri di kamar terpisah. Tujuannya agar lekas mandiri dan memiliki pola tidur baik.

Setiap hal tentu saja ada pro dan kontra. Kelon bisa memudahkan mama segera menyusui dan menenangkan bayi saat terbangun. Anak juga merasa nyaman dekat mamanya. Namun, orang tua punya PR ‘menyapih’ mereka kelak, selain kehilangan waktu berdua suami-istri. Menurut Iin, kebanyakan kawan dan keluarganya di Amerika awalnya kurang menyetujui Rya tidur bersama orang tua, karena anak di sana tidur mandiri sejak umur 6 bulan. Namun mereka akhirnya mengerti setelah Iin menjelaskan alasannya.

“Justru sekarang banyak dokter atau pakar anak merekomendasikan co-sleeping, terbukti secara psikologis membantu pertumbuhan mental anak,” pungkasnya. Sebaliknya, Pungky memilih cara Prancis dalam menidurkan anak; alias tidur terpisah. Dampak positifnya, ia dapat beristirahat dengan baik, anak bisa tidur mandiri dan biasa teratur. Toh, Pungky tidak terlalu kejam. Kalau malam-malam si kecil terbangun dan menyelinap masuk ke kamarnya, kadang dia dan suami membiarkan. Pungky menambahkan, keluarganya memang menggabungkan cara
Indonesia dan Prancis untuk mengurus anak. Yang lebih prinsip yang didahulukan.

Bila orang tua terlalu khawatir anak bakal manja karena kelon, bisa saja mengambil jalan tengah. Misal, menunggui atau mengeloni anak hingga tidur, baru ditinggalkan tidur sendiri di kamarnya. Atau, alternatif lain, tidur sekamar, tetapi berbeda tempat tidur. (foto: dok. parenting)

 





Follow Us

angket

Most Popular

Instagram Newsfeed

@parentingindonesia